Aku Bersama Elmyra.

Tugas Bahasa Indonesia

2023-11-21 13:35:19 - Afra Septi Kania

Besok pagi, umurku genap 21 tahun. Aku memiliki harapan banyak di hari ulang tahunku. Bukan, aku tidak ingin pesta perayaan atau hadiah mewah. Yang aku sangat inginkan hanyalah tetap sehat dan melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk orang di sekitarku. Setelah aku ingat-ingat kembali, ternyata aku sudah menjadi relawan dan tinggal di negeri ini selama 6 bulan. Negeri yang membuatku tidak pernah tenang ketika tidur. Serangan udara yang tak ada hentinya, itu semua di luar kendaliku. Namun, keputusan menjadi relawan di sini, sudah aku mantapkan, bahkan ketika aku masih berusia 16 tahun.

Beberapa bulan ini aku sering menghabiskan waktu bersama gadis kecil yang berusia 9 tahun. Elmyra namanya. Matanya sangat cantik dan bersinar. Bulu matanya juga lentik, hidungnya mancung, kulitnya putih bersih, dan dia adalah anak yang berbakat.

“Kak Aqila! Kak Aqila!” suaranya yang sangat kukenal. Elmyra berlari ingin menghampiriku yang baru saja keluar dari ruang guru. Karena aku menjadi bagian di bidang pendidikan, jadi wajar saja bila aku sering keluar masuk ruangan tersebut.

“Hati-hati, tidak perlu lari seperti itu!” ujarku cukup keras agar Elmyra bisa mendengarnya. Kini dia sudah ada di hadapanku, tangan kanannya memegang tangan kananku. Napasnya masih tersengal karena berlari. Matanya yang bersinar itu menatapku. Lalu aku melirik kertas yang ada di genggaman tangan kirinya.

“Apakah Elmyra ingin menunjukkan hasil gambaran yang tadi?” tanyaku meyakinkan.

“Benar, aku ingin menunjukkan ini kepada Kakak!” dia tersenyum sembari memberi kertas itu kepadaku. Dengan senang hati aku menerimanya. Terlihat di sana ada gambar sosok Elmyra memakan sepotong semangka bersama ibunya yang sedang mengandung duduk di samping ayahnya.

“Masya Allah, bagus sekali gambarnya!” aku mengusap-usap rambutnya dengan bangga. Tidak pernah aku berpikir akan bertemu anak usia 9 tahun dengan bakat menggambar seperti Elmyra. Meskipun keadaan di sini serba terbatas, Elmyra bisa dengan semangat menekuni hobinya itu. Memang, jika dilihat-lihat, gambarnya perlu diperbaiki dan diberi warna. Namun itu bukan masalah besar menurutku.

“Bagaimana keadaan ibumu sekarang? Sudah hampir 2 minggu aku belum mengunjungi beliau.” 

“Ibu baik-baik saja di rumah. Tapi semakin hari perut ibu semakin membesar, Kak. Terkadang Ibu merasa kesakitan juga.” Elmyra berkata seakan-akan isi perut ibunya sangat menakutkan. Aku terkekeh pelan mendengar itu.

“Itu hal wajar Elmyra. Itu tandanya adikmu sudah tumbuh semakin besar dan mungkin beberapa hari lagi dia sudah siap untuk bertemu denganmu.”

“Apakah Kakak juga memiliki adik sepertiku?”

“Iya, aku juga memiliki adik, tapi adikku sudah besar, sekarang dia sudah berusia 14 tahun. Besok jika ada kesempatan, akan kutunjukkan padamu.”

***

Malam ini, seperti malam-malam biasanya. Aku menuju ke gedung di samping bangunan tempat aku menjadi relawan. Kami menyebutnya rumah belajar. Di rumah belajar, aku, Elmyra, dan anak-anak lain bertemu untuk pertama kali. Lokasi gedung tempatku tinggal sangat strategis. Tak sampai 500 meter dari gedung ini, aku sudah bisa menemukan rumah sakit asal negeriku yang masih aktif beroperasi. Selain teman relawan di bidang pendidikan, aku banyak menemukan orang yang asalnya sama denganku di rumah sakit tersebut. Tiga bulan pertama di negeri ini, aku juga sering membantu di rumah sakit itu. Namun, kini aku sudah disibukkan dengan tugasku di rumah belajar.

 Aku belum tidur, aku masih memandangi kertas hasil gambaran Elmyra. Kemudian aku berniat untuk membuat hal sama. Aku ingin menggambar semangka seperti yang digambar oleh Elmyra, namun belum sampai tanganku meraih pensil dan kertas. Nada dering teleponku berbunyi. Itu panggilan dari keluargaku yang masih tinggal di tanah airku. Tanpa pikir panjang, aku langsung menjawab telepon itu dan mengucapkan salam. Terdengar suara ibu dan ayahku di seberang sana. Mereka menjawab salamku. Aku tersenyum. Setelah bertanya-tanya kabar dan keadaan, ibuku mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Ibuku selalu saja ingat hari ulang tahunku. Meski aku sudah berkepala dua, namun di sana ibuku sedang menyiapkan bahan masakan untuk membuat nasi kuning besok, mensyukuri ulang tahunku yang ke-21 dengan berbagi kepada saudara dan para tetanggaku. Aku bersyukur bisa menjadi anak dari ibu dan ayahku. 

“Selamat ulang tahun ya, Nak. Semoga kamu panjang umur dan diberi kesehatan. Diberikan kemudahan dan dilancarkan segala sesuatunya. Diberikan umur yang berkah, ilmu yang manfaat dan kemuliaan di dunia maupun di akhirat. Maaf Nak, Ibu belum bisa memberikan yang terbaik untuk kamu Nak, belum bisa memberikan kebahagiaan untuk kamu dan adikmu. Ibu sudah berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk kamu. Ibu sangat bahagia memiliki kamu di hidup Ibu, Ibu berharap semoga kamu selalu menjadi anak yang Sholihah, ibu meridaimu Nak.”

Kira-kira seperti itulah pesan yang disampaikan oleh ibuku melalui telepon. Aku masih belum menyangka bahwa besok pagi aku sudah berumur 21 tahun. Aku masih merasa menjadi gadis cilik anak kesayangan Ibu. Beberapa menit bercakap-cakap dengan ayah ibuku, aku sempat menanyakan keadaan adikku, namun kata ayah, dia sedang sibuk mengerjakan tugas sekolahnya. Akhirnya ibuku mengucapkan salam dan menutup pembicaraan. Setelah itu, aku menaruh kembali ponsel genggamku ke dalam saku baju. Aku berniat langsung tidur, tidur bersama rasa rindu yang amat berat terhadap keluargaku di sana.

Belum genap aku menutup mataku. Suara ledakan terdengar sangat kencang. Ledakan kali ini berbeda dari malam yang lain. Ledakan kali ini benar-benar memecah keheningan malam dan berhasil membuat satu gedung bergetar hingga semua orang langsung bangkit dari posisinya, keluar bangunan beramai-ramai. Seperti suara petasan yang dinyalakan ketika malam tahun baru, suara ledakan itu tak ada hentinya. Bangunan mulai tumbang satu persatu. Tangisan menjadi-jadi terdengar seperti orkestra yang bersanding dengan musik memekakkan dari ledakan itu. Sayangnya itu bukan pertunjukan indah yang bisa dinikmati, justru sebaliknya, dan rumah belajar kami terbakar. Bukan rumah belajar kami yang diberi ledakan, melainkan rumah sakit itu dan gedung-gedung di sekitarnya yang terkena ledakan. Cepat atau lambat api dari rumah belajar pasti akan merambat hingga di gedung tempat tinggalku.

Aku berlari mengambil barang-barang yang masih perlu kubawa. Sudah tidak ada suara ledakan-ledakan seperti tadi, tapi kondisi di sini amat sangat buruk. Beberapa detik sebelum api menyelimuti gedung tempatku tinggal, aku berhasil membawa beberapa barang pentingku. Agar tetap aman aku menaruhnya di tas ranselku. Semua orang terlihat kacau. Aku tidak tau ada berapa korban luka atas ledakan-ledakan tadi dan aku berusaha berlari menjauh wilayah itu, menuju rumah Elmyra. Hanya itu yang ada di pikiranku saat ini.

Ibu Elmyra membukakan pintu untukku. Wajahnya terlihat sangat khawatir, namun aku berkata bahwa aku tidak apa-apa, walaupun ekspresiku sepertinya tidak terlihat begitu meyakinkan. Beliau hendak mengambilkanku segelas air minum untuk menenangkanku. Tapi aku menolak, aku mengerti beliau juga kesusahan untuk berjalan ke sana kemari dengan kondisi perut yang membesar. Untungnya rumah ini jauh dari ledakan-ledakan yang terjadi. Jadi, setidaknya aku bisa merasa aman sesaat di sini.

Aku menanyakan kabar kandungan beliau. Jika menurut perkiraan dokter, adik Elmyra akan lahir minggu depan. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana perasaan beliau jika mengetahui bahwa rumah sakit di daerah rumah belajar sudah hancur. Sungguh keterlaluan negara sebelah hingga melempar rudal ke rumah sakit!

Aku tak kuasa menahan tangis, linang air matakupun terjatuh tatkala aku mengingat bahwa ayah Elmyra sudah tidak ada lagi di sisi keluarga kecil ini. Elmyra yang masih berumur 9 tahun, dia sangat kuat menghadapi kehidupan seperti ini. Aku merasa malu, dibandingkan Elmyra dosa yang telah aku perbuat pasti jauh lebih banyak, namun Elmyra dengan segala sikap baiknya, dia mampu menjalani hari-hari yang tak semestinya didapatkan oleh anak seumurannya di luar sana. Ibu Elmyra ikut terisak di sebelahku, aku memeluknya. Sungguh mulia sekali orang-orang pilihan Allah ini. 

Setelah bercengkerama sebentar denganku, Ibu Elmyra meminjamkan selimutnya untukku.

“Pakailah ini, aku sudah biasa tidak memakai selimut.”

Tak bisa ditolak, aku menerimanya. Malam ini Aku memutuskan untuk tidur sejenak di rumah Elmyra sebelum besok pagi aku harus mengurus kerusakan yang ada di rumah belajar.

***

Aku membuka mataku. Sadar bahwa aku masih diberi kesempatan hari ini oleh Allah untuk menjalani kewajibanku sebagai umat muslim. Aku bersyukur pagi ini umurku genap 21 tahun. Tanpa berpikir panjang aku segera melaksanakan salat subuh. Aku membayangkan orang tuaku yang hari ini akan sibuk membuat nasi kuning untuk mensyukuri bertambahnya umurku. Aku membayangkan bagaimana doa orang-orang di rumah untukku hari ini. Aku membayangkan adikku yang kesal karena disuruh ke sana-kemari mengantarkan nasi kuning kepada orang sekitar. Sejujurnya, aku juga ingin pulang.

Elmyra menyapaku saat aku bersiap mengambil air wudhu.

“Kak Aqila sekarang bagaimana keadaan rumah belajar?” ujarnya merasa sedih.

“Aku belum tahu pastinya, namun sudah jelas bahwa kita sudah tidak bisa belajar di sana lagi untuk saat ini, Ra. Doakan saja semoga tidak ada korban jiwa dengan ledakan tadi malam, ya.” jelasku dengan senyum menghibur.

“Tentu, Kak. Tentu aku akan berdoa seperti itu! Aku berdoa seperti itu setiap hari!”

“Tetap istiqamah dan bersabar ya, Ra. Sekarang ayo kita salat subuh bersama.”

Setelah melakukan salat subuh, aku bersiap mengambil ranselku dan berpamitan dengan Elmyra dan ibunya. Aku akan menuju ke daerah rumah belajar untuk mengeceknya. Mungkin dengan berjalan kaki lagi. Karena aku harus menghemat uang walau nanti ada kendaraan lewat yang siap mengantarku ke sana. 

“Makanlah terlebih dahulu Aqila, tapi maaf aku hanya mampu menyediakan ini untukmu.”

“Tidak perlu repot-repot, Bu. Simpanlah itu untuk Elmyra. Beberapa hari ke depan mungkin kita akan mengalami krisis air bersih dan pangan. Sudah tidak ada lagi posko sembako dan rumah sakit yang dekat dari sini, Bu”

“Tak masalah, aku dan Elmyra masih menyimpan beberapa untuk ke depannya. Ambillah ini, pastikan perutmu tidak kosong sebelum kau melakukan aktivitas hari ini.”

Kali ini aku juga tak mampu untuk menolak. Dari semalam sebenarnya aku belum makan karena kehabisan mendapat jatah dari gedung tempat tinggalku. Aku harus mengisi energi agar aku tidak tumbang. Agar aku bisa bermanfaat di hari ulang tahunku ini.

“Baiklah, Bu. Bagaimana jika kita makan bersama saja. Aku rindu rasanya makan bersama kalian. Aku akan memanggil Elmyra kemari, makan bersama.”

Ibu Elmyra tertawa kecil, beliau tersenyum menatapku yang sedang menuju memanggil Elmyra di kamar. Elmyra sedang membaca Al-Qur'an. Tak enak hati jika aku langsung memutus bacaannya begitu saja. Aku duduk di sampingnya mendengarkan lantunan ayat suci yang sedang dia baca. Bacaannya lancar, menurutku ini sangat lancar dibandingkan bacaan adikku di rumah yang sudah berumur 14 tahun itu. Elmyra tersadar jika aku menunggu di sampingnya. Ia segera menutup Al-Qur'annya setelah sampai pada lafaz di ayat terakhir.

“Ayo kita makan bersama. Ibumu sudah menunggu di luar.”

“Biar aku taruh Al-Qur'an ini dulu, Kak.” katanya seraya berdiri mengembalikan kitab suci itu pada bagian paling atas rak buku. Memang tak banyak buku yang dia miliki. Tapi ibunya mengajari dia untuk tetap menaruh buku-buku itu di rak. Karena ilmu yang ada di dalam buku itu harus disimpan dengan baik. Dan tak banyak anak di sini yang memiliki buku seperti yang dimiliki Elmyra. Jadi terkadang dia juga suka meminjamkan bukunya kepada temannya.

“Kau tau tidak, Ra, hari ini umurku sudah genap 21 tahun.”

Elmyra yang berjalan di sampingku menatapku sekilas, aku tersenyum kepadanya tapi dia langsung lari menuju ibunya.

“Ibu, hari ini kak Aqila sudah bertambah dewasa, ya?”

Ibu Elmyra terlihat kebingungan. Lalu aku berkata bahwa hari ini adalah hari kelahiranku, dan aku hari ini sudah genap berusia 21 tahun. Raut wajah ibu Elmyra berubah sangat bahagia setelah mendengar perkataanku. Beliau mengucapkan selamat dan berdoa untukku. Elmyra juga memberi beberapa harapan untukku ke depannya. Aku senang sekali bisa mengenal dua sosok ini. Sosok yang berhati lembut dan saling mengasihi satu sama lain.

Kami lalu makan bersama. Tak banyak yang kami makan. Kami hanya memakan satu potong roti dan segelas air putih. Tapi aku sudah merasa cukup dengan ini. Setelah makan, aku langsung membereskan meja makan dan membantu ibu Elmyra untuk bangkit dari duduknya. Ketika aku memegang tangannya, tib-tiba beliau merintih kesakitan. Perutnya sangat sakit, katanya. Aku sekali lagi kebingungan dan panik, tak tau apa yang harus kulakukan. Aku membantu beliau duduk kembali, namun beliau masih meringis kesakitan. Seperti sakit yang luar biasa. Tanpa pikir panjang aku langsung menelepon ambulans, berharap setidaknya ada yang menjawab agar aku dapat menentukan apa yang harus kulakukan.

Elmyra membantuku menenangkan ibunya. Ia menangis, merasa kasihan melihat ibunya kesakitan. Aku masih berusaha menelepon orang-orang yang dapat memberikan pertolongan. Akhirnya aku mendapatkan satu orang yang menjawab panggilanku. Namanya Zafran, temanku. Dia bekerja menjadi relawan di rumah sakit yang semalam terkena rudal, syukurnya dia masih selamat. Aku langsung menyampaikan situasiku sekarang. Dia mendengar penjelasan dariku dengan seksama, kurasa dia juga langsung sigap untuk mengambil kunci mobil ambulans. Aku mematikan telepon, berharap dia bisa segera ke sini dengan selamat. 

Butuh sekitar 7 menit menunggu, aku masih berada di samping ibu Elmyra, berusaha menenangkannya. Sementara itu, Elmyra dengan sigap menjalankan perintahku. Aku menyuruh dia untuk membawa sepasang baju ganti untuk ibunya dan dia. Aku takut ada hal yang tidak diinginkan, membuat kami harus tinggal di rumah sakit agak lama. Setibanya mobil ambulans yang dari tadi aku tunggu, aku langsung sigap membantu ibu Elmyra berdiri. Zafran mengetuk pintu, izin masuk, dia membantu menggendong ibu Elmyra. Aku membuka pintu mobil ambulans bagian belakang.

Kami sudah siap. Aku, Elmyra dan ibunya berada di bagian belakang ambulance, sedangkan Zafran bagian depan. Dia mulai menjalankan ambulans, kami terpisah oleh sekat di antara bagian depan dan belakang ambulans, namun ada jendela kecil di tengah sekat itu. Ibu Elmyra masih meringis kesakitan, keringatnya dingin dan wajahnya mulai memucat. Aku menggenggam tangannya yang sedang berbaring di atas brankar depanku, Elmyra ada di sisinya juga. Elmyra dengan erat menggenggam tangan ibunya, seolah-olah tak ingin ibunya pergi. Tangisnya tanpa suara hatiku perih, andai aku bisa membantu mereka semaksimal mungkin. Oh Allah, aku ingin keluarga ini bahagia dunia dan akhirat. 

“Kau akan membawa kami ke mana?” tanyaku pada Zafran yang sedang fokus menyetir.

“Ke rumah sakit As-Syifa” jawabnya. Kami sering berdialog dengan bahasa tanah air kami, kami juga dari yayasan volunter yang sama. Bedanya, aku baru 6 bulan di sini sedangkan Zafran sudah 1 tahun. Selain itu, usia kami tidak jauh berbeda.

“Berada di daerah mana itu?” aku jarang mendengar nama rumah sakit itu.

“Daerah tepi kota, jadi jaraknya lumayan jauh. Mungkin memakan waktu hingga 40 menit. Itupun sekarang sedang penuh, karena ledakan dari rumah sakit kita semalam banyak korban jiwa dan luka-luka.”

“Itu terlalu lama Zafran, tidak adakah tempat pertolongan yang lebih dekat?”

Aku tahu, Zafran pasti memberikan solusi terbaik untuk situasi seperti ini, tapi aku sangat khawatir dengan keadaan ibu Elmyra sekarang.

“Tidak ada. Selama perjalanan ke tempatmu, aku sudah menghubungi beberapa temanku. Jawaban mereka sama, hanya rumah sakit As-Syifa yang memungkinkan untuk ibu hamil dengan prediksi dokter melahirkan minggu depan.”

Pikiranku semakin kacau, untungnya Elmyra dan ibunya tidak dapat mengerti isi percakapanku dengan Zafran. Aku takut membuat mereka semakin panik.

“Berdoalah terus Aqila. Ledakan yang ditujukan ke kawasan medis dan rakyat sipil seperti semalam, aku yakin, mereka tak hanya melempar rudal sekali dua kali. Tetaplah tenangkan dirimu dan juga ibu serta anak itu.”

Zafran mencoba menenangkanku. Aku menahan air mataku yang tiba-tiba sudah tak bisa kubendung. Aku mencoba menarik napas dan mengeluarkannya perlahan. Perih sekali untukku dihadapkan dengan situasi seperti ini, di hari aku ingin bahagia.

Suara ledakan.

Lagi-lagi aku mendengar suara bangunan roboh.

Elmyra semakin erat menggenggam tangan ibunya. Suara tangisnya kini bisa kudengar.

Aku tak tahu persis kerusakan yang terjadi di luar mobil ambulans, tapi aku yakin kali ini benar-benar lebih parah dari pada biasanya. Aku membaca doa berkali-kali agar kami semua dilindungi. Aku berusaha tenang, tiba-tiba ponsel genggamku berbunyi, tangan kiriku berusaha mengambilnya dari sakuku. Ternyata ibuku menelepon, jemariku bergerak mengangkat panggilan dari sosok yang telah melahirkanku di dunia ini. Namun tanpa ada aba-aba, sebuah rudal mengenai mobil kami. Setelah itu gelap. Tidak ada yang selamat. Hanya orang gila yang menjadikan mobil ambulans sebagai sasaran rudalnya.


-tamat-

More Posts