Keajaiban Malam

2025-11-08 12:47:50 - Glexzcyy

Keajaiban Malam


Mentari mulai meleleh di ufuk barat digantikan dengan semburat cahaya sang rembulan. Adzan berkumandang dengan merdu, burung-burung kembali ke sangkar.

Ibu-ibu dengan mukena putihnya menasihati anak-anak yang berlarian dalam masjid, termasuk Ahmad. Anak itu menggerutu sebal lalu beranjak pergi ke pelataran masjid, malas mengikuti kegiatan belajar mengaji.

“Apa gunanya belajar mengaji? Tidak ada manfaatnya tuh”, ujarnya dengan kesal. Di dalam kubah megah nan indah, lantunan ayat-ayat Al-Qur’an dibaca oleh anak-anak kecil, tanggung, maupun yang sudah cukup besar.

Walau Ahmad terkenal sebagai anak yang bandelnya minta ampun, namun ia sebenarnya memiliki keingintahuan yang tinggi terhadap semua pertanyaan-pertanyaannya tersebut.

Pada suatu malam, ia berpikir dengan keras, kenapa orang tuanya menyuruhnya mengaji setiap sore setelah maghrib, padahal jelas-jelas Ahmad tidak suka, tidak minat dan tidak mau.


Dengan begitu, ia mulai bersikeras memikirkan ujung jawaban dari semua pertanyaannya tersebut. Namun ia menyerah, kedua kelopak matanya tak mau diajak bekerjasama. Walau sudah ia tahan-tahan, akan tetapi Ahmad tukang bandel, si anak yang sangat aktif tersebut, akhirnya terlelap juga dengan sebuah mimpi yang tak akan pernah terlupakan dan akan menjadi pengalaman yang tak tergantikan.

***

Gumpalan awan pekat nan buram memenuhi pandangan Ahmad, membuatnya sedikit pusing. Setelah awan pekat tersebut mulai hilang dan memudar, ia tersadar bahwa ia berada ditengah pasar. Pasar? Ya, pasar namun ada yang berbeda, pasar tersebut jauh seperti pasar yang pernah ia kunjungi. Ia mengernyitkan dahi berulang kali, Ahmad mulai melangkah.

“Srrrrt,” terdengar suara langkah kaki menginjak pasir. Pasir-? Ahmad mulai panik, ia menyusuri segala penjuru pasar tersebut dengan keringat bertetesan sebesar biji jagung.

‘Sangat panas’ itu yang ia rasakan saat ini. Namun, ia membuang jauh-jauh masalah yang tak terlalu penting itu, yang terpenting saat ini adalah di mana saat ini Ahmad berada. Ummi dan Abi ke mana? Walau dalam keadaan panik, ia masih terus berusaha untuk berpikir positif. Hingga pada titik terendah ia mulai merasa usahanya hanya menghasilkan kesia-siaan. Namun, pada titik tersebutlah datang seorang yang berjubah putih, wanginya bak wangi kasturi tiada tanding, jubahnya putih, bersih dan suci laksana jiwa yang belum tersentuh percikan-percikan duniawi.


Pria tersebut memegang erat pundak Ahmad seraya mengelusnya. Ahmad hanya bisa melongo dengan mata membesar bak bintang kejora di malam syahdu bersanding dengan bulan purnama. Syair-Syair penuh makna terlantun, Ahmad merasa sangat kagum, sorban terlilit dengan indah di kepalanya menunjukkan kewibawaannya. Ahmad menelan ludahnya sendiri, ia ingin berbicara, mengadu, ataupun protes namun mulutnya seakan terbungkam. Hanya untuk mengatur nafas sebentar saja sangat sulit bagaikan mengangkat batu seberat satu ton! Alhasil ia hanya bisa melihat pria tersebut dengan sebatas tatapan kekagumannya.

Hidung mancung, bulu mata lentik, ditambah dengan alis tebal khas orang-orang timur. Membuat seluruh wanita berteriak jika melihat paras menawannya.

Ahmad menelan ludah kesekian kali, berusaha keras mengatur napasnya.

”Al-Quran adalah pedoman utama bagi umat Islam, sebagai petunjuk dan penuntun jalan yang lurus,” gumaman kecil dari mulut sang pria membuyarkan tatapan Ahmad. 

“Kelak kaulah penerus yang akan menjaga kemurnian Al-Quran. Jika bukan kamu, maka siapa lagi?” pertanyaan itu seketika membungkam Ahmad, gerbang hatinya mulai terbuka dikit demi sedikit, “Kelak kau akan mengerti,” ia melepas tangannya dari pundak Ahmad kecil yang masih terus melongo.Tiba-tiba datang segumpal awan yang pekat dan buram. Punggung gagah pria tersebut mulai menjauh, semakin jauh dan akhirnya hilang di balik gumpalan awan tersebut. 

***

“KRINGGG,” jam beker milik Ahmad berbunyi nyaring, Ahmad bangun menatap sekitar. Ia terlihat begitu ngos-ngosan. Seperti baru saja dikejar badak berekor lima.


 Berlari-lari mencari Umminya. Ia takut Umminya akan hilang sama seperti di sana aduh di mana ya? Tiba-tiba Ahmad sendiri lupa tentang mimpinya tersebut, yang ia ingat hanya sepotong kalimat dari sang pria berjubah putih tersebut, “Al-Quran adalah pedoman utama bagi umat islam, sebagai petunjuk dan penuntun jalan yang lurus, kelak kaulah penerus yang akan menjaga kemurnian Al-Quran. Jika bukan, maka siapa lagi-?” kalimat demi kalimat terus terngiang-ngiang di benak Ahmad.

Ahmad mendekap dengan erat Umminya tersebut begitu menemukannya, menangis sesenggukan. Sementara Umminya heran sekaligus bingung terhadap buah hatinya itu yang bersikap tidak seperti biasanya. Ummi mencoba menenangkan Ahmad sembari mengelus lembut dada Ahmad. Setelah Ahmad mulai tenang, Ahmad mencoba mencerna apa yang terjadi kepadanya, Ummi yang tahu ada yang tidak beres terhadap anaknyapun bertanya dengan suara selembut sutra, “Nak ada apa, jika ada sesuatu yang mengganjal hati atau mengganggu pikiranmu berbagilah dengan Ummi. Ceritakan apa yang membuatmu merasa tidak nyaman.” Dengan begitu Ahmad langsung melaporkan seluruh kejadian tersebut. Runtut dari awal hingga akhir dan sedikit diberi bumbu-bumbu khas.

Ummi tersenyum simpul. Senyum simpul yang mengandung seribu arti namun bagi Ahmad kecil, itu hanya seperti senyum Ummi pada hari-hari biasa.

Waktu demi waktu telah berlalu, Ahmad tumbuh menjadi pemuda tanggung yang tangguh. Walaupun ia bekerja di jantung kota Berlin, itu tidak membuat Ahmad malas membaca dan belajar Al-Quran sama seperti dahulu. sekarang ia sudah berubah pikiran, ia meluruskan niatnya. Sepenggal kata yang cocok untuk menggambarkan keadaan Ahmad adalah “hidayah“. Ya, itulah yang didapat Ahmad setelah mimpi menakjubkan di tengah malam yang ajaib kala itu.


Amanat dari cerita ini adalah jangan malas belajar mengaji, sejatinya belajar adalah kunci utama mencapai mimpi, serta dapat menjadi modal awal untuk menjadi manusia yang berkualitas.

More Posts