Kuasa Sementara
Tugas Bahasa Indonesia (lagi)
2024-11-25 03:45:37 - ?
Kuasa Sementara
Muhammad Ghifari Wiramahdi
Mata Petala terbuka menjawab sinar mentari yang menyadarkan ruh dari istirahatnya. Perut yang lapar membujuknya keluar dari lelapnya menuju rimba, arena utama medan perburuan, sebelum itu ia mengajak sahabat karibnya, Sanmata untuk pergi berburu bersamanya. Mereka berdua pun pergi ke gerbang rimba, pohon cemara menyambut kami di rimba belantara. Dengan mata panah Petala siap memangsa, tak lama rusa bertanduk emas memancing mata Petala dan Sanmata, dengan cepat anak panah Petala melesat bertemu mata sang rusa dan membuatnya mati tak berdaya. “Rusa ini ternampak pelik,” ujar Sanmata. “Biarlah, kita makan saja,” jawab Petala dengan rasa lapar yang meronta-ronta, tak lama menunggu makanan dimasak oleh Sanmata dan disantap bersama.
Setelah makan, Petala dan Sanmata memandangi tanduk emas rusa itu dengan rasa penasaran. Mereka mengambil tanduk itu dan memandangi tulisan yang ada di sana, nampaknya tulisan itu terukir dengan menggunakan aksara Pegon “Tujuh langit takjub akannya” ucap Petala. Di sisi lain Sanmata membaca tanduk yang lainnya, “Tujuh lapis bumi lulut karenanya.” Sekejap mata mereka memiliki kemampuan luar biasa yang tak dimiliki manusia pada umumnya, Petala memiliki kemampuan mengendalikan cuaca dan angin, Sanmata memiliki kemampuan mengendalikan air dan tanah. Awalnya kemampuan ini tak berbahaya dan justru membuat persahabatan mereka semakin akrab hingga akhirnya Petala mulai membangkang dan rasa tamak mulai mengambil alih hatinya. Petala mengambil langkah yakin menuju Kerajaan Lantangan.
Guntur menyambar istana Kerajaan Lantangan membuat seisi istana panik karenanya. Raja Jayarancana yang bijaksana segera keluar melihat Petala mengobrak-abrik seisi negeri dengan penuh kegilaan. Raja memanggil seluruh prajurit pemanah untuk menyerangnya dari jauh namun Petala sudah menyadarinya dan membentuk perisai angin di sekelilingnya disusul petir yang menghabiskan seluruh prajurit hanya dalam sekejap mata. Raja yang nampak tak berdaya langsung tunduk ke hadapan Petala, “Jika ada hati yang terluka janganlah engkau membalasnya pada rakyat beta, balaslah pada beta.” Pinta Raja dengan penuh rasa memohon. Petala tertarik karena Raja yang dahulunya mengusirnya dan Sanmata sehingga mereka tinggal di tepi rimba belantara kini tunduk di hadapannya. “Jika itu pinta maka ada bayarannya. Aku, sang Petala yang agung meminta tuk serahkan kerajaan tuanku pada beta sekarang.” Tawar Petala, Raja yang telah pasrah hanya bisa mengangguk pasrah demi rakyatnya.
Petala memegang kuasa di Kerajaan Lantangan dengan kejam, seluruh aktivitas warga harus sesuai keinginan Petala, hukuman mati semakin ringan dijalankan bahkan sering kali terjadi tanpa sebab, kondisi negeri kini berubah seratus delapan puluh derajat. Penduduk negeri tertindas di bawah kepemimpinan Petala, mereka pun mencari orang yang mampu menghentikannya, satu persatu orang orang hebat takluk akan kekuatan Petala dan kekejaman semakin menjadi di negeri itu. Hingga akhirnya penduduk desa menemui salah satu orang yang konon kata sesepuh negeri ialah yang mampu menghentikan Petala, tak lain dan tak bukan ia adalah Sanmata, sahabat lama Petala yang menyembunyikan diri di rimba.
“Sanmata, kami butuh pertolonganmu.” Seru penduduk negeri, Sanmata menyambut penduduk negeri dengan rasa penuh keheranan, penduduk negeri pun menjelaskan apa yang sudah terjadi di negeri mereka, Sanmata mendengarkan dengan seksama kekejaman Petala di negeri mereka. Sanmata mengambil sikap, ia segera pergi ke Istana Kerajaan Lantangan dengan penuh rasa marah akan kelakuan sahabat lamanya. Sanmata menemui Petala di singgasananya, “Petala kini tak lagi sama.” Begitulah ucapan salam Sanmata. Petala yang memahami maksud kehadirannya langsung berkata, “Jika darah yang kau mau maka kemarilah.”
Pertarungan sengit tak terelakkan terjadi di halaman istana dengan mereka berdua saling bertarung adu kekuatan; guntur Petala ditangkis oleh gundukan tanah Sanmata, serangan balik dilakukan dengan kendali air yang memecah fokus Petala, saat ia lengah Sanmata membanting Petala dengan sangat kuat hingga membentuk kawah lebar di tanah, Sanmata membentuk segel tanah yang tak mampu terpecahkan, “Ini adalah segelku, tak ada yang mampu menembusnya kecuali waktu.” ucap Sanmata mengunci segel yang telah ia buat. Sorak kagum penduduk negeri memenuhi istana akan kemampuan Sanmata yang luar biasa, Raja Jayarancana dan sesepuh negeri datang dan menyerahkan kekuasaan kepada Sanmata, “Semoga negeri ini damai di bawah kekuasaanmu,” lantik sesepuh sembari menyerahkan mahkota pada Sanmata. Kondisi negeri aman damai hingga keturunan Sanmata melanjutkan kekuasaan di sana, selama seratus tahun negeri aman damai tanpa ada gangguan.
Seratus tahun penantian telah pun usai, segel Petala telah rusak dan ia telah keluar dari kediaman seratus tahunnya. “Mana Sanmata?! Beta ingin tunjuk balas!” ucapnya setelah keluar dari segel. Ia bergerak pesat menuju istana dan mencari Sanmata, ia menemukan sanmata sedang terbaring lemas di kediamannya menikmati masa tuanya, kelengahan Sanmata membuat ia tewas di tangan Petala dalam sekejap mata, Petala pergi ke hadapan rakyat di taman kerajaan dan melakukan pembantaian yang teramat kejam. Satu persatu warga dihabisinya dengan kilat yang menyambar tanpa ampun, bahkan tumbuhan dan hewan turut menjadi targetnya sehingga tak menyisakan satupun makhluk yang masih bernyawa, kini hanya Petala yang tersisa.
Amarah menyisakan sesal, Petala melihat seluruh kerajaan telah hancur nan porak poranda karena kekuatannya, sesal yang amat dalam telah dirasakannya. “Aduhai bodohnya aku, seandainya aku tak gegabah dan tamak niscaya tak akan seburuk ini.” Sesal Petala, Ia hanya bisa terbaring kaku melihat semua yang telah terjadi di hadapannya. Ia pergi ke kediamannya yang lama dan melihat tanduk emas yang dulu ditemukannya kini tergeletak di meja tua bermandikan debu “Andai bukan karena silau yang kau beri niscaya tak akan beta terjerumus ke jurang penyesalan duniawi.” Petala semakin menyesal. Tetapi penyesalan kini tiada lagi gunanya, nasi telah menjadi bubur, semuanya telah berlalu dan tak ada yang bisa diubah, Petala hanya bisa terbaring lemas di rumah lama miliknya dan Sanmata sembari menanti ajal menjemputnya.