Luka yang Tak Pernah Terhapus

Aku buat cerpen ini sebelum aku sekolah di MIBS

2024-11-22 01:50:01 - So fifie

Di sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh hutan, hiduplah seorang gadis bernama Nira. Ia adalah anak tunggal dari seorang ayah yang sangat ia cintai, Pak Josep. Dari kecil, Nira selalu merasa istimewa berada di samping sosok ayah yang penuh perhatian dan kasih sayang. Setiap sore, mereka akan bermain di tengah ladang, melukis impian di cakrawala.

Namun, kebahagiaan itu mendadak sirna ketika Nira berusia sepuluh tahun. Suatu pagi, setelah mengucapkan selamat tinggal kepada ayahnya yang pergi bekerja dengan senyum lebar, Nira pulang dari sekolah untuk menemukan rumahnya sepi. Detak jantungnya semakin cepat, ia merasa ada yang tidak beres. Ternyata, ayahnya mengalami kecelakaan saat bekerja dan tidak pernah pulang lagi.

Hancur berkeping-keping, Nira merasa seperti dunia di sekelilingnya runtuh. Kenangan bersama ayah terus menghantuinya. Di malam-malam yang panjang dan kelam, ia terjaga, merindukan tawa dan cerita-cerita manis yang biasa diucapkan ayahnya sebelum tidur. Satu tahun berlalu, tetapi rasa sakit ditinggalkan ayahnya masih tersisa. Tak ada yang bisa menggantikan sosok kuat itu dalam hidupnya.

Ibunya, Ibu Lila, mencoba yang terbaik untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan Pak Josep. Namun, tidak ada yang bisa mengisi ruang yang tersisa di hati Nira. Ia selalu merindukan sesi bercerita tentang bintang dan mimpi-mimpi di malam hari. Ibu Lila berusaha menciptakan suasana hangat, tetapi setiap senyum yang terukir di wajah Nira tampak seperti sebuah topeng.

Suatu malam, saat bulan purnama bersinar cerah, Nira berdiri di depan jendela. Ia teringat kenangan indah bersama ayahnya, seperti saat mereka berdansa di ladang sambil menari mengikuti irama angin. Dia ingin merasakan pelukan ayahnya, mendengar suara lembutnya yang menghibur. Rasa rindu itu mengaduk-aduk perasaannya. Nira merasakan betapa kosongnya hidup tanpa kehadiran sosok yang selalu bisa membuat segalanya terasa lebih baik.

Dari waktu ke waktu, Nira berjuang untuk bertahan. Ia mulai melakukan hal-hal yang ayahnya suka: berkebun, melukis, dan menulis. Namun, setiap kali ia meraih pensil atau kuas, semua yang ia buat terasa hampa. Lukisannya hanyalah bayang-bayang yang tidak pernah mencerminkan keceriaan yang diciptakan Pak Josep. Hidupnya menjadi seperti lukisan tanpa warna.

Satu tahun kemudian, saat Nira merayakan ulang tahunnya yang keenam belas, Ibu Lila memberi sebuah buku catatan kosong. "Ini untukmu, Nak. Isi dengan apa saja yang ada dalam hatimu," ujarnya dengan harapan. Nira hanya tersenyum tipis dan menerima hadiah itu. Setiap halaman kosong di hadapannya seolah menuntut untuk diisi, tetapi kata-kata tak kunjung datang. Dia tidak tahu harus mulai dari mana.

Malam-malam itu Nira menghabiskan waktu dengan harapan. Berulang kali, ia menulis tentang rasa sakit, kerinduan, dan segala memori indah yang tinggal dalam ingatannya. Namun, semakin dalam ia menulis, semakin terasa perih lukanya. Ia merasa tersakiti oleh setiap kata yang ditulisnya, semua itu hanya menambah penderitaannya. Meski semua catatannya penuh dengan air mata, ia tidak pernah berani menunjukkan isi hati kepada ibunya.

Di sekolah, Nira berusaha bersosialisasi dengan teman-teman, tetapi kebahagiaan mereka hanya mengingatkannya pada kekosongan dalam hidupnya. Ia berusaha tersenyum, tetapi senyum itu tidak pernah tulus. Rasa sakit dari kehilangan ayahnya terus membayangi setiap langkahnya. Berulang kali ia bermimpi, berharap bisa berbicara dengan ayahnya sekali lagi, memberinya pelukan hangat dan kata-kata penyemangat.

Pada suatu hari, ketika Nira sedang berjalan pulang dari sekolah, ia melihat sekelompok anak kecil sedang bermain. Mereka tertawa riang, seolah tidak ada beban di dalam hati mereka. Rasa sakitnya kembali menyesak melihat kebahagiaan yang tidak bisa ia rasakan. Nira merasa hatinya teriris, seolah mengingatkan betapa banyak hal yang telah hilang darinya.

Dia duduk di bangku taman, mengeluarkan buku catatannya. Dengan air mata mengalir deras, Nira menulis sepenuh hati. Ia melukiskan rasa sakit yang telah menempati sudut-sudut gelap dalam dirinya. “Ayah,” tulisnya, “Kenapa kau pergi? Mengapa aku harus menjalani hidup ini tanpamu? Semua terasa kosong tanpa senyummu.”

Setiap kata yang ditulisnya menjadi obat untuk melawan rasa sakit yang tertahan. Ia menempatkan kenangan ayahnya dalam setiap barisan kalimat. Melalui tulisan-tulisannya, ia mulai memahami bahwa meskipun Pak Josep tidak lagi ada di dunia fisik, kenangan indahnya akan selalu hidup di dalam hati. Ia belajar bahwa merindukan orang yang telah tiada adalah bagian dari cinta, dan ia berhak untuk merasakan sakit itu.

Setelah beberapa bulan menulis, Nira memutuskan untuk mengumpulkan semua catatannya menjadi buku kecil. Ia menamainya "Luka yang Tak Terhapus". Buku itu menjadi tempat baginya untuk berduka dan merayakan cinta yang telah ditinggalkan. Rasa sakitnya masih ada, tetapi kali ini, ia merasa lebih kuat. Ia bisa mengenang ayahnya tanpa merasa terjebak dalam kesedihan yang dalam.

Suatu sore, ketika Nira dan Ibu Lila duduk bersama, ia mengajak ibunya untuk membaca beberapa halaman dari buku catatan itu. Ibu Lila terlebih dahulu mengira bahwa naskah itu hanya kumpulan kata tanpa makna, tetapi saat membaca, air mata keduanya tak terhindarkan. Ada rasa pengertian baru yang terbentuk di antara mereka. Melalui tulisan Nira, Ibu Lila melihat betapa dalamnya sakit yang dialami putrinya dan bagaimana kehilangan itu membentuknya.

“Nira, terima kasih telah berbagi ini. Ayahmu pasti bangga padamu,” ujar Ibu Lila sambil memegang erat tangan putrinya. Momen itu seperti menjembatani dua jiwa yang merindukan sosok yang sama. Nira merasa tak lagi sendirian dalam rasa sakitnya; ada cinta dan pengertian yang mengalir di antara mereka.

Dari hari itu, Nira berjanji padanya sendiri untuk terus menulis, tidak hanya tentang kesedihan, tetapi juga tentang keindahan, harapan, dan masa depan. Ia berusaha mengubah luka menjadi karya yang bermakna. Satu demi satu, ia menuliskan kenangan manis, menyalakan semangat baru dalam hatinya. Nira ingin menginspirasi orang lain, bahwa meskipun perpisahan ada, cinta yang tulus tidak pernah hilang.

Seiring berjalannya waktu, Nira mulai menemukan kepingan-kepingan kebahagiaan. Ia bergaul dengan teman-temannya, berbagi kisah dan melukis impiannya kembali. Nira menyadari, meskipun ayahnya tidak ada di sisinya secara fisik, kasih sayangnya terus menyala dalam setiap langkah hidupnya. Ia belajar untuk melepaskan beban di hati, menerima rasa sakit sebagai bagian dari perjalanan, dan mengizinkan kenangan manis untuk bersinar.

Dengan sabar dan ketekunan, Nira menggenggam harapan baru. Setiap tulisan, setiap lukisan, adalah pengingat bahwa meskipun ayahnya meninggalkan luka, cinta dan kenangan itu akan selalu bersamanya. Dan dengan cara itu, Nira menyadari bahwa kepergian Pak Josep bukanlah akhir, tetapi awal dari perjalanan baru untuk mengenang cinta dan mengatasi kehilangan.


More Posts