SEDEKAH BUMI "Apitan"
Budaya sedekah bumi di kabupaten Demak
2023-07-28 11:18:39 - Arjunas
Tradisi Apitan adalah tradisi sedekah bumi yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Demak setiap satu tahun sekali. Nama Apitan sebenarnya diambil dari nama bulan Apit, yaitu bulan sebelum Bulan Besar dalam penanggalan Jawa, atau bulan terlaksananya Hari Raya Idul Adha.
Oleh karena itu, tradisi Apitan sering dilakukan di antara dua hari raya besar, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Tanggal spesifik pelaksanaannya ditentukan secara musyawarah oleh Kepala Desa dan jajarannya, seperti moden, carik, kebayan, ketua RT dan RW, serta beberapa warga yang dianggap senior.
Tradisi Apitan memiliki tujuan dan makna yang dalam sekaligus religius, sebab tradisi ini adalah ungkapan rasa syukur yang dilakukan masyarakat Demak kepada Allah SWT atas hasil bumi yang telah diterima.
Prosesi Apitan biasanya dimulai dengan masyarakat yang datang berbondong-bondong ke Balai Desa dengan membawa makanan dan minuman. Semua makanan dan minuman itu akan disantap bersama setelah prosesi Apitan.
Acara selalu dimulai pada pagi hari, sekitar pukul 09.00 WIB. Pertama-tama akan ada sambutan dari Kepala Desa kemudian pertunjukkan wayang.
Acara inti biasanya dimulai pada sore hari, masyarakat akan berkumpul dan melakukan selamatan. Setelah itu makan bersama untuk mempererat tali silaturahmi.
Tradisi Apitan akan ditutup pada malam hari dengan pagelaran wayang kulit, ketoprak, atau kesenian lainnya. Tradisi Apitan juga biasanya diselenggarakan dengan khataman Al-Qur'an.
Dari daftar kegiatan Apitan, tampak tak ada yang keliru dan bertentangan dengan agama. Makanya tradisi ini terus dilakukan sebagai bentuk pelestarian budaya Jawa yang dimulai oleh Sunan Kalijaga.
Masyarakat Demak juga masih meyakini mitos terkait tradisi Apitan. Mitos tersebut merujuk pada kisah tentang bencana besar yang terjadi di desa pada masa lalu.
Bencana yang menghantui itu disebut pagebluk, istilah masyarakat Jawa untuk menyebut wabah penyakit. Ciri-ciri bencana pagebluk adalah banyaknya warga yang meninggal secara bersamaan dan terus menerus.
Konon pagebluk terjadi karena masyarakat tidak melakukan tradisi Apitan Wayangan. Oleh karena itu, masyarakat Demak yakin bahwa tradisi Apitan tidak boleh ditinggalkan.
Terima kasih....