Tragedi Bintaro I
Kecelakaan antara dua kereta.
2023-07-21 19:50:40 - RAILION
Tabrakan kereta api Bintaro 1987 atau yang dikenal dengan nama 'Tragedi Bintaro I' merupakan kecelakaan tragis yang melibatkan dua kereta api di daerah Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan, pada tanggal 19 Oktober 1987 yang merupakan musibah terburuk dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia. Kejadian ini juga menarik perhatian publik dunia.
Dalam kecelakaan ini, rangkaian kereta api Patas Merak yang berangkat dari Stasiun Kebayoran (KA 220) bertabrakan dengan kereta api Lokal Rangkas yang berangkat dari Stasiun Sudimara (KA 225). Kejadian ini tercatat sebagai salah satu kecelakaan terburuk dalam sejarah transportasi di Indonesia dengan korban tewas sebanyak 139 orang dan 254 orang lainnya mengalami luka berat. Evakuasi penumpang kereta api menjadi sebuah tantangan karena parahnya tabrakan yang terjadi.
Investigasi setelah kejadian menunjukkan adanya kelalaian petugas Stasiun Sudimara yang memberikan sinyal aman untuk kereta api dari arah Rangkasbitung, padahal belum ada pernyataan aman dari Stasiun Kebayoran. Hal ini dilakukan karena tidak ada jalur yang kosong di Stasiun Sudimara.
Kronologi.
Versi PJKA.
KA 225 ditarik oleh lokomotif BB306 16 dengan masinis Slamet Suradio, asisten masinis Soleh, dan kondektur Adung Syafei. Sedangkan KA 220 ditarik oleh lokomotif BB303 16 dan dikemudikan oleh Amung Sunarya, dengan asistennya, Mujiono.
Susunan rangkaian KA ini menurut laporan akhir PJKA terdiri dari:
KERETA 225: BB306 16 + K3-65626 + K3-65654 + K3-65639 + K3-65604 + K3-65656 + K3-65648 + K3-64611
KA 220: BB303 16 + KB3-65601 + K3-66505 + K3-66501 + K3-64528 + K3-64541 + K3-64519 + K3-64506
Berdasarkan gapeka yang berlaku saat itu, KA 225 dijadwalkan tiba di Stasiun Sudimara pada pukul 06.40 untuk bersilang dengan KA 220 pada pukul 06.49. Pada kenyataannya, KA 225 terlambat 5 menit. Pada saat itu, emplasemen tiga jalur di Stasiun Sudimara telah ditafsirkan sebagai 'penuh' dan 'tidak dapat menerima kereta yang melintas' karena:
jalur 1 dalam kondisi buruk dan hanya digunakan untuk lewat dan penyimpanan;
jalur 2 berisi kereta barang 1035;
jalur 3 berisi kereta api 225 yang sedang berhenti.
Karena Stasiun Sudimara tidak dapat lagi menerima kereta api persilangan, maka KA 225 harus meninggalkan Stasiun Sudimara dan berhenti di stasiun berikutnya, yaitu Kebayoran, padahal jalurnya masih tunggal dan tidak ada pemberhentian di antaranya. Sesuai dengan peraturan resmi, petugas operator kereta api (PPKA) Sudimara harus
menghubungi PPKA Kebayoran untuk meminta izin pemindahan titik persilangan; dan
mengirimkan surat Pemindahan Tempat Persilangan (PTP) yang harus diserahkan langsung kepada masinis dan kondektur KA 225.
Sayangnya, surat PTP tersebut dikirimkan tanpa melalui izin dari PPKA Kebayoran. Bahkan, PTP tersebut dikirimkan tidak sesuai prosedur karena diserahkan melalui petugas pelayanan kereta api (PLKA) dan kemudian diserahkan kepada masinis dan kondektur KA 225. Baru setelah itu, PPKA Sudimara menelepon PPKA Kebayoran (Mad Ali) untuk meminta izin pemindahan tempat perlintasan. Mad Ali menjawab, “Gampang saja, nanti diatur. Pagi itu, ada pergantian PPKA dari shift malam ke shift pagi. Saat serah terima shift, Mad Ali yang merupakan PPKA shift malam memberitahukan kepada PPKA shift pagi (Umriyadi) bahwa KA 251, 225, dan 1035 belum tiba di Stasiun Kebayoran. KA 251 sedang dalam perjalanan menuju Kebayoran untuk bersilang dengan KA 220.
Ketika KA 251 berhenti di Kebayoran, Umriyadi meminta izin untuk memberangkatkan KA 220. Namun, Djamhari menjawab, “Tunggu saya, saya sedang sibuk! Menurut prosedur yang ada, Djamhari seharusnya menyatakan bahwa ia menolak memberikan izin keberangkatan KA 220 dan memberitahukan bahwa ada kereta lain yang harus diberangkatkan dari Sudimara ke Kebayoran sesuai jadwal.
Dalam kondisi Djamhari yang kebingungan, KA 225 mulai dipenuhi penumpang, dan banyak yang naik ke lokomotif.
Setelah komunikasi antar-PPKA ditutup, Umriyadi justru memberangkatkan KA 220 pada pukul 06.50 dengan asumsi bahwa persilangan KA 225 masih akan berlangsung di Sudimara. Untuk meyakinkan, Umriyadi menelepon Djamhari bahwa KA 220 sudah berangkat dari Stasiun Kebayoran. Padahal, PTP sudah diberikan kepada masinis dan kondektur KA 225. Dengan kebingungan ini, Djamhari menyiasati masalah tersebut dengan menggeser KA 225 dari jalur 3 ke jalur 1 di Stasiun Sudimara. Akhirnya, Djamhari memerintahkan petugas harian stasiun untuk melakukan pemindahan tersebut. PPKA harus menuliskannya dalam laporan harian masinis dan menjelaskannya secara lisan.
Petugas yang diperintahkan Djamhari dengan sigap mengambil bendera merah dan selompret. Saat kereta akan diberangkatkan, masinis tidak dapat melihat semboyan yang diberikan, karena pandangannya terhalang oleh para penumpang. Sebelum petugas mencapai kereta yang berjarak sekitar 7m, tiba-tiba pada pukul 06:52, KA 225 mulai bergerak tanpa komando dari Selompret, dan petugas stasiun berusaha menghentikan KA 225 dengan Selompret namun usahanya sia-sia. Kondektur juga mencoba masuk ke dalam kereta namun tidak memerintahkan untuk berhenti.
Petugas stasiun melaporkan kepada Djamhari bahwa KA 225 telah berangkat tanpa izin. Djamhari dengan cepat memindahkan tuas sinyal masuk kereta api Kebayoran namun gagal menghentikan kereta api. Djamhari juga berlari di tengah rel sambil melambaikan bendera merah ke arah KA 225 namun gagal menghentikan kereta. Djamhari akhirnya kembali ke Stasiun Sudimara dalam keadaan pingsan.
Tiba-tiba masinis KA 225 terkejut melihat KA 220 di depannya. Meski sudah menarik tuas rem bahaya, tabrakan tidak dapat dihindari.[8] Tabrakan ini terjadi di tikungan S, km 17+252, pada pukul 07.05.[9] Total kerugian materiil yang diketahui berdasarkan laporan akhir PJKA adalah Rp1,9 miliar. Jumlah korban tewas sebanyak 139 orang[4] dengan 72 orang meninggal di tempat[2] dan sisanya meninggal dunia. Dari 139 korban tewas, 113 korban telah teridentifikasi. Sebanyak 254 orang terluka dengan 170 orang dirawat di rumah sakit dan 84 orang mengalami luka ringan.
Versi Slamet Suradio (masinis KA 225).
Berbeda dengan tuduhan di pengadilan dan laporan akhir PJKA bahwa masinis KA 225, Slamet Suradio, memberangkatkan KA-nya sendiri tanpa ijin, Slamet Suradio dengan tegas menyatakan bahwa ia hanya mengikuti instruksi dari PPKA Sudimara untuk menggunakan PTP. Bahkan Slamet Suradio berkali-kali menegaskan bahwa tuduhan tersebut adalah bohong belaka. Ia juga menegaskan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena ia merasa tidak melihat adanya mosi tidak percaya yang diterimanya.
Pada saat kejadian, Slamet Suradio juga meluruskan apa yang diberitakan di media, termasuk di surat kabar Pembaruan yang pertama kali membahas Tragedi Bintaro 1987 dengan menulis 'sopirnya loncat' di koran. Dia menjawab: 'Saya tidak bisa menggerakkan kaki saya, jadi saya merangkak melalui jendela. Dalam tabrakan tersebut, Slamet Suradio tergencet badan lokomotif dalam keadaan berdarah-darah dan digendong oleh seorang wanita dengan mobilnya ke rumah sakit. Sementara PTP masih memiliki noda darah, Slamet Suradio berhasil membuktikan kepada hakim bahwa dia tergencet dan tidak melompat, dan menuduh orang yang menulis berita itu sebagai 'pemfitnah'.
Pada Akhir Kejadian tersebut.
Dua lokomotif, BB303 16 (kereta 220) dan BB306 16 (kereta 225) mengalami kerusakan parah. Kerusakannya sangat parah; BB303 16 ditelan oleh kereta penumpang KB3-65601. K3-65626 (Kereta 225) juga mengalami kerusakan parah. Dua kereta di belakang kereta pertama, K3-66505 (KA 220) dan K3-65654 (KA 225) mengalami kerusakan ringan.
Informasi telah di ubah dari pada sebelum nya!!!.