Warm Maroon Hue

Cinta itu merah, hangat, dan kejam.

2024-11-29 08:07:42 - Hayzalia

Katakanlah, memang tidak semudah itu menjalani takdir kehidupan yang mana kita tidak bisa menebak arahnya, tapi kita setidaknya diberi cukup kecerdasan untuk memilih sudut pandang yang akan kita gunakan untuk melihat dunia dan segala kekejamannya. Ternyata hal itu cukup membantu bagi seorang anak lusuh yang saat itu terduduk di atas reruntuhan di tengah keributan orang-orang. Helai rambut pirang dan pipi imutnya telah memerah oleh darah, turut membasahi pakaian ibunya yang mendekapnya erat. Namun entah bagaimana, seulas senyum menghiasi bibir mungil anak tersebut. 

Senyumnya terasa ganjil, mengingat tak ada satupun hal untuk disenyumi kala tentara Nazi sudah merangsek masuk ke Budapest dan siap menodongkan timah panas pada penduduk tak bersalah. Ataukah anak itu memang sudah gila?

Tidak, ia tidak gila. Ia hanya tahu bahwa pelukan ibunya adalah hal yang ia nantikan sejak lama dan ia bahagia karenanya, tidak peduli apa yang terjadi. Dunianya adalah tentang ia dan ibunya, tidak kurang tidak lebih. 

Setidaknya itu yang ia pikirkan sebelum semuanya berakhir tragis, namun mungkin menjadi akhir yang sangat indah baginya. 

***

1938, Reims, Timur Laut Prancis. 


“Ferenc, Agnes, aku pulang!”

Telinga Ferenc, seorang anak yang belum genap tiga tahun lantas berdiri. Sebuah suara yang telah ia nanti-nantikan akhirnya terbit diiringi masuknya sosok berbaju pastor ke ruang tamu rumah keluarga Dubois. Pelukan hangat menyambut sosok tersebut. 


“Ah, jagoan kecilku. Bagaimana harimu? Mana Anya?” Tanya sang pastor.


“Anya di belakang, sedang memasak makan malam untuk kita!” Jawab Ferenc dengan semangat. 


Pastor tersebut menggendong Ferenc ke kamarnya lalu berganti baju menjadi pakaian yang lebih santai. Ia segera menuju ke meja makan, yang sudah terhidang Ossobuco favoritnya. Wanita yang memasaknya turut bergabung ke meja tak lama setelah itu. 

“Ah, kau memang yang terbaik, Agnes. Kau selalu menemukan cara untuk membuatku mengenang Italia saat liburan bulan lalu,” Ujarnya sambil mengecup kening sang istri. Sang istri tersenyum.


Keluarga Dubois pun makan malam diselingi cerita-cerita hari ini. Mereka jelas adalah keluarga yang sempurna, dan Ferenc adalah pembawa berkahnya. Seakan tak ada yang dapat menghancurkan kesempurnaan keluarga kaya di Reims itu.

***

1940, Budapest, Hungaria. 


Krieeetttt!


Pintu rumah tua tersebut berderit sangat nyaring saat membuka, seakan menyambut kedatangan keluarga Dubois di sana. Refleks Ferenc terbatuk-batuk sejak debu kasar langsung menyeruak begitu ia bernapas di dalam ruangan rumah tua itu. 


“Wala! Rumah ini akan menjadi tempat tinggal kita, Ferenc sayang. agar aku tak perlu jauh-jauh dari orangtuaku, dari Nagymama-mu. Kita akan sering mengunjungi mereka, ya, sayang? Aku ingin merawat mereka sebaik mereka membesarkanku dulu.” 


Agnes mencium kening Ferenc lembut, yang masih terlihat kurang nyaman dengan lingkungan yang kelak akan menjadi saksi bisu pertumbuhannya. Ia menatap intens ornamen lampu yang berdebu, tangga yang lapuk, serta patung naga yang tampak menyeramkan di ujung ruangan. Ia bergidik sendiri melihatnya. Namun, ia tak bisa melawan keinginan Anya-nya yang meminta untuk pindah ke Budapest, kota kelahirannya, agar ia bisa merawat orangtuanya yang mulai sakit-sakitan dengan baik. 


“Kita mulai awal yang baru disini, ya? Aku yakin kamu pasti kerasan, Ferenc.”

***

Ferenc jelas harus kembali beradaptasi dengan lingkungan barunya, yang berbeda bahasa, berbeda kebiasaan pula. Apu-nya pun pindah kerja ke Katedral Budapest yang ternyata setelah Ferenc kunjungi seminggu pasca kepindahan mereka, menurutnya itu tidak terlalu buruk. Ia mulai menemukan cara menikmati hidupnya diluar Reims, di luar udara Prancis yang selama ini ia hirup. 


Mungkin ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang baik, pikir anak berumur lima tahun tersebut.


–Atau sesuatu yang buruk? 

***

Pagi itu, suasana cerah menyelimuti Kota Budapest yang asri. Burung-burung bernyanyi dengan riang. Ferenc membuka jendela kamarnya di lantai dua, turut merasakan angin pagi membelainya lembut. Anak itu pun turun ke lantai satu untuk menyapa kedua orangtuanya, berharap keduanya akan menyapanya kembali dengan semangat yang sama. 


Namun entah mengapa, rasanya ruang keluarga lebih sunyi dari yang ada di pikiran Ferenc. 


Apu-nya terduduk di sofa coklat ruang tengah, tak mengucap sepatah kata pun saat Ferenc tersenyum padanya. Sepertinya Anya-nya tengah menyiapkan sarapan di dapur mereka dibantu beberapa pelayan. Ferenc yang merasa canggung memilih untuk langsung memeluk Apu-nya, mengikuti teladan ‘kontes tidak bicara’ Apu-nya barusan. Sang Apu akhirnya luluh dan tersenyum, mengelus rambut pirang Ferenc. 


“Apu hari ini tidak berangkat bekerja? Kan masih hari kerja. Aku juga setelah ini berangkat sekolah, Apu,” Tanya Ferenc. 


“Aku sedang lelah, fya. Sepertinya keadaan katedral sedang problematik, ditambah berita-berita gertakan soal Blok-Blok apalah itu. Tapi aku tidak apa-apa, Szerelem. Kau berangkatlah sekolah, pagi ini sedang cerah,” Jawab Apu Ferenc dengan lesu. 


“Tapi kan, pekerjaan Apu sangat mulia. Apu harus pantang menyerah, karena pasti banyak orang yang membutuhkan Apu! Apu disayang Tuhan dan orang-orang! Apu harus berangkat, ya? Szeretlek, Apu.” Kecupan mendarat di kening Apu oleh Ferenc. 


Sang Apu adalah pastor yang cukup luas jangkauan namanya. Katedral mana yang menolak dikunjungi oleh Thomas Dubois, sang Pastor Agung? Keuskupan Kota Budapest menempatkannya di katedral utama kota itu, Katedral Budapest, tepat setelah kepindahannya setengah tahun lalu. 


“Haha, baiklah, anakku. Apu akan membawa lebih banyak orang-orang ke jalan Tuhan. Terimakasih sudah mengingatkanku bahwa pekerjaanku bukan hanya sekadar pekerjaan semata, namun juga yang harus dilakukan sepenuh hati dan jiwa,” Balas Apu diselingi kekehan kecil. Ferenc kembali memeluk Apu-nya itu. 


“Sarapan sudah siap, Thomas, Ferenc! Segeralah makan lalu kembali ke rutinitas!” 


Sang Anya memanggil dari meja makan, disusul Ferenc yang digendong oleh Thomas. Semua tampak secerah langit Budapest hari itu bagi keluarga Dubois. 

***

“Anak-anak, tolong jangan berlarian, ya! Ayo kita ambil makanan dengan tertib!”


Suara guru muda bernama Laloula Stangos terdengar menggema di seluruh kelas. Murid-murid yang ia asuh, termasuk Ferenc, langsung berebutan untuk mengantri di depan loket pengambilan jatah makan siang. Murid yang sudah mendapatkan makan siangnya dipersilahkan duduk di lantai kelas bersama teman-teman mereka. 


Denting alat makan yang beradu dengan nampan terdengar. Anak-anak makan diselingi obrolan-obrolan khas mereka. Ferenc duduk di sebelah teman-temannya dengan tenang sembari memakan menu makan siangnya yang berupa sup kacang panas. Meski mayoritas teman-temannya berkebangsaan asli Hungaria, mereka tetap menerima keberadaan Ferenc dengan baik. Bahkan, mereka bersedia melambatkan percakapan mereka untuk memastikan Ferenc dapat mengikuti apa yang mereka bicarakan. Lambat laun, Ferenc mulai lancar berbahasa Hungaria dan dapat turut serta menyumbang obrolan sedikit demi sedikit ketika istirahat makan siang. 


Tidak lama, suara teriakan pecah dari luar ruangan. Suasana menjadi sunyi sejenak, penuh dengan asumsi-asumsi akan apa yang terjadi. Sang guru berpesan agar tidak ada anak yang keluar ruangan. Ia ingin memastikan keadaan terkendali. Namun, beberapa anak tetap berusaha untuk keluar ruangan, mencari tahu lebih lanjut. Tak berselang lima detik, seorang anak perempuan dengan pita merah berteriak histeris. 


“Ada kepul asap! Api! Terbakar!” 


Sontak terjadi keributan di ruangan itu. Tangisan mulai terdengar. Ferenc berupaya untuk tidak bereaksi, karena bahkan ia tidak tahu apa yang terjadi. Teman-temannya sudah mulai menjerit kesana-kemari. Satu menit, Laloula Stangos kembali dan menenangkan murid-muridnya. 


“Tenang, anak-anak! Kebakaran itu bukan dari gedung sekolah kita. Namun, kita harus tetap waspada, karena yang terbakar adalah katedral dekat sekolah kita, Katedral Budapest.” 


Dan itu adalah makan siang terakhir Ferenc sebelum semuanya menjadi runyam. 

***


“Cepat! Ambil lebih banyak air! Apinya mulai merembet!”

“Apakah masih ada korban? Monsieur, tolong sisir kembali daerah belakang katedral!”


Jeritan dan kepanikan melingkupi sekitar katedral yang sekarang telah separuh menghitam akibat kobaran api yang ganas. Orang-orang bergotong royong untuk memadamkan api. Ferenc, yang baru saja pulang sekolah, langsung merangsek diantara kerumunan itu tanpa mempedulikan tangan orang-orang dewasa yang berusaha menahannya. Matanya menangkap sosok yang tak asing bersimpuh, menutupi mukanya dengan sepuluh jari di rumput samping katedral:


Anya-nya. 


Ferenc yakin, Anya-nya sama takutnya sepertinya. Takut kalau terjadi sesuatu pada Apu kesayangannya. Ia berlari menghampiri Anya-nya, berusaha mengajaknya pergi dari daerah berbahaya tersebut. Kalaupun ia kehilangan Apu-nya, ia tak ingin pula kehilangan Anya-nya. 


Namun, diluar dugaan Ferenc, yang ia dapatkan justru tepisan kasar dari Anya-nya yang masih menangis meraung-raung menghadap katedral yang masih berbalut api. Ferenc tersungkur di atas rumput, masih tidak percaya akan apa yang dilakukan Anya yang selalu menyayanginya. Abu terus berhamburan dari bekas pembakaran katedral didepannya. 


Semoga itu bukan termasuk abu Apu-nya. 

***

Agnes Dubois yakin ini bukan mimpi, namun kalau ia bisa, ia ingin segera bangun saja untuk menghentikan mimpi buruk ini dan kembali ke dekapan suaminya.


Yang mungkin takkan pernah lagi bisa ia lakukan. 


Suasana berkabung sangat kental terasa. Atmosfer seakan tak lagi melingkupi untuk memberikan rasa aman bagi wanita muda Hungaria itu. Helai demi helai kelopak mawar putih berjatuhan, tersapu angin yang sepertinya turut berduka. Hari itu amat cerah, namun pada kenyataannya, semuanya buram bagi keluarga Dubois di hari pemakaman kepala keluarganya.

Agnes tersedu di dekat peti mati Thomas. Tangisnya terdengar memilukan, menyayat hati semua yang menyaksikan. Hati seorang istri mana yang tak hancur mengetahui bahwa suaminya telah lebur bahkan sebelum proses kremasi? 


Agnes sepertinya melupakan bahwa ia masih memiliki satu titipan Thomas yang sekarang tengah tersungkur di depan foto keluarga Dubois, menatap dengan penuh harap kepada sosok Apu-nya di foto itu, bahwa ia masih ada disini untuk membantunya menenangkan Anya-nya.


Ia takut semuanya akan hancur lebih jauh meski ia masih memiliki Anya kesayangannya. 

***

1941, Budapest, Hungaria. 


“Anya…Selamat natal! Aku…aku sungguh berharap Anya menerima hadiah kecil ini…Szeretlek, Anya.” 


Dengan gaya malu-malu, Ferenc menyodorkan sesuatu dibungkus kertas mengkilap dihiasi pita kecil yang manis. Anya-nya, yang berada di seberang meja makan, tidak sekalipun menunjukkan gelagat antusias dari apa yang telah dilakukan anaknya. Meski ini natal, penampilan Agnes tidak ada bedanya dengan gayanya sehari-hari. Gaun yang tampak lusuh, kuku yang tidak terawat, rambut pirang mencuat kesana kemari tak terarah dan raut muka yang tampak tidak hidup. Kurang lebih seperti itulah gaya Agnes pasca kematian suaminya setahun silam. 


Ferenc masih tersenyum manis kepada Anya-nya meski orang yang ditatapnya tak memberikan respon yang serupa. Tanpa aba-aba, tangan Anya-nya melayang untuk menepis hadiah dari Ferenc di atas meja, membuatnya terpental ke lantai diiringi suara pecah. Tampak pecahan-pecahan yang sepertinya berasal dari sebuah cangkir mencuat di balik pita yang telah tidak beraturan. Ferenc menatap nanar hadiah pemberiannya diperlakukan sedemikian rupa, namun ia tetap berusaha menahan air matanya di depan Anya kesayangannya.  


“Oh…Anya tidak suka, ya? Maaf Anya, aku kemarin kesulitan menemukan cangkir yang bagus, karena para tentara sudah mulai berlalu lalang di jalan setiap pukul empat sore. Besok-besok, mungkin, akan aku belikan yang lebih bagus lagi ya, Anya? Maafkan aku, Anya.”


Dengan lesu, Ferenc berjalan meninggalkan Anya nya sendirian, memilih untuk melampiaskan emosinya di kamar. Agnes tampak tidak terganggu, lantas pergi mendatangi foto suaminya yang ia pajang berjejer-jejer di samping ranjangnya. Ia kembali tersungkur tak berdaya, memeluk salah satu bingkai, dan berbisik pelan,


“Andaikata anakmu tak menyuruhmu pergi hari itu, aku pasti masih bisa mengukir senyum yang sama di hadapannya tanpa kelabu yang kau tinggalkan seiring kepergianmu.”

***

1944, Budapest, Hungaria. 


DUARRRR!!!


Senyap di kamar Agnes membuatnya dapat mendengar dengan jelas suara keras dari antah-berantah itu. Walau warga Budapest seharusnya sudah terbiasa dengan suara semacam itu sekarang, Agnes tetap tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Instingnya mengatakan bahwa ia harus segera keluar dari Hungaria sebelum konvoi Nazi mengepung seluruh jalan keluar dari negara itu. 


Agnes langsung membereskan barang-barang pentingnya, berniat untuk sementara mengungsi ke rumah mertuanya di Paris. Semua barang yang ada di rumahnya ia tinggalkan, hanya beberapa helai pakaian dan persediaan yang mampu dibawanya. Ia pun keluar tergesa dari rumahnya, meski ia merasa ada yang ganjil. Persis ketika ia menatap foto keluarga di ruang tengah, ia tersadar apa yang selama ini ia lupakan. 


Ferenc Dubois adalah anaknya dan seharusnya masih hidup pada saat itu. 


Sudah berapa tahun lewat sejak ia terakhir memberikan kasih sayangnya pada darah dagingnya itu? Sudah berapa tahun lewat sejak ia memperhatikan keberadaan anak tersebut di rumah? Segalanya terasa membingungkan bagi Agnes sekarang. 

Sebelum ia sadari, ia sudah bergerak ke depan kamar Ferenc dan membuka pintunya. Namun, yang tampak hanya kamar tidur kosong tak berpenghuni. Barang Ferenc masih sempurna pada tempatnya. 


Ganjil, ganjil, ganjil, semua terasa ganjil sekarang. 


Rasanya Agnes ingin menangis, mengadukan semua ke suaminya. Ia tak paham apa yang terjadi. Kemana Ferenc? Apakah ada sesuatu yang ia lewatkan? 


DOR! DOR! DOR!


Belum selesai ia berpikir, mendadak terdengar suara kokangan senjata api mendekat. Ia terpaksa berlari keluar rumah dan mencoba menemukan suaka baru di tengah-tengah kekacauan invasi dari serdadu berseragam merah berlambang tersebut. 


Semua sekacau pikirannya sekarang. 


Agnes berlari bersama puluhan warga lainnya, menjauh dari pusat serangan. Ia berlari menuju reruntuhan Katedral Budapest yang sampai sekarang belum dibangun kembali. Sebelum ia selesai menarik nafas demi dirinya yang terengah-engah, hatinya kembali dihancurkan dengan pemandangan di depannya. 


Ferenc ada diantara reruntuhan itu, bersimbah darah sambil bersimpuh ke arah reruntuhan altar. 


Segera Agnes berlari tanpa peduli orang-orang di sekitarnya yang menatap aneh. Ia menangis, menjerit ketika melihat anaknya dalam kondisi seperti itu. Terlambat sudah ia menyadari bahwa darah daging yang selama ini ia abaikan karena kesalahan yang tak dibuatnya, tak akan pernah luntur rasa cintanya pada Anya-nya hingga nafas terakhir ia hembuskan.

***

Sebenarnya, apa yang terjadi? 


Beberapa jam sebelum penyerangan terjadi, Ferenc, anak sembilan tahun keluarga Dubois, diam-diam pergi ke reruntuhan Katedral Budapest, bersimpuh di reruntuhan untuk berdoa. Lima tahun bukanlah waktu yang sedikit ketika itu menjadi durasi Anya-nya dalam mengabaikannya, tak menganggapnya ada, tak menganggapnya sebagai anaknya. Mau bagaimanapun, Ferenc masih mencintainya sepenuh hati. Ia berbisik melantunkan doa dengan harapan sisa reruntuhan itu membantunya untuk menyampaikan pesan putus asanya kepada Tuhan. 


Tuhan sepertinya amat merindukan Ferenc hingga Ia ingin anak ini menuntaskan perjuangannya untuk mencintai wanita yang telah melahirkannya walau tak pernah dianggap ada. 


Sebelum Ferenc sadar, sebuah timah panas menembus pelipisnya. 


Ia membeku. Semuanya terlalu cepat untuk diproses. Tiba-tiba saja ia terkapar, tiba-tiba saja ia melihat sesosok wanita dari kejauhan mendekatinya, tiba-tiba saja ia telah dipeluk oleh…


Anya-nya. 


Ya, Tuhan memang baik. Tuhan sangat baik. 


Senyum tulus itu terbit, sebelum ia akhirnya terpaksa meninggalkan semuanya, termasuk Anya-nya yang menangis meminta kesempatan kedua untuknya.










More Posts