Kisah Lysa: Putri (Cerpen)
Nantikan kisah-kisah lainnya!
2024-03-24 14:40:04 - ℤ𝕦𝕓𝕒𝕪𝕪𝕣~
“Jadi, kamu pilih aku atau Azli?” Fuza bertanya, mendesak. Ia menatapku, wajahnya terlihat samar di belakang panggung tempat kita bersiap-siap untuk tampil.
Gedung ini hampir sepenuhnya gelap, semua lampu sengaja dimatikan, menyisakan lampu sorot yang berjejer di atas sana. Hanya soal waktu, lampu-lampu itu akan menyala. Karena, sebentar lagi kelas 6 akan menampilkan sebuah drama untuk kelulusan mereka.
Aku menunduk, hening. Tubuh kita berdua berdiri terlihat samar di samping keramaian lalu-lalang teman kita yang sedang bersiap-siap.
“Ayolah, Lysa. Waktu kita tidak banyak, aku tidak ingin memendam perasaan ini lebih lama lagi.” Fuza menghela nafasnya, sudah lama sekali dia tidak memanggil nama asliku. Biasanya ia selalu memanggilku putri.
Aku masih menunduk, urusan ini rumit.
Tanpa kita berdua sadari, lampu sorot di atas sana sudah menyala. Pembawa acara kelas 6 sudah berdiri di depan panggung, disaksikan ratusan penonton.
“Fuza, Lysa, segera berbaris! Sebentar lagi kalian akan tampil!” Bu Guru sudah meneriaki kita berdua.
Fuza terdiam sejenak, lantas mengangguk pelan. Ia mulai berjalan menuju teman-teman lain yang sudah berbaris rapi, diikuti aku yang masih menunduk..
***
“Apa yang terjadi?” Aini bertanya pelan, berusaha memelankan suaranya agar tidak membangunkan teman yang sudah tertidur.
“Pada awalnya, aku nggak punya teman sama sekali..” Aku menatap ke luar jendela, bintang-bintang di atas sana bagaikan lampu-lampu sorot yang menerangi panggung. Suara burung hantu bersahut-sahutan terdengar hingga kamar ini. Kamar ini berada di lantai empat asrama putri, asrama putri termasuk salah satu gedung di sekolah baru ini. Ini sudah larut malam, dan kita berdua masih belum bisa tidur.
“Saat pertama kali aku masuk sekolah, aku selalu sendirian karena aku tidak pandai bergaul. Teman-temanku juga tidak menganggapku ada. Aku kesepian, aku merasa dunia ini terasa sangat sempit. Aku berusaha untuk bertahan, tapi aku tetap menangis dalam hati. Aku merasa, aku hanyalah menjadi pengganggu bagi teman-temanku..” Aku menghela nafas.
Aini terdiam. Yang selama ini ia kenal, aku adalah anak yang pandai bergaul, percaya diri, dan mudah tersenyum. Ia tidak menyangka, masa laluku akan seperti ini.
“Aku tau, kamu heran kan?” Aku bertanya pelan.
Aini mengangguk, tentu saja.
“Aku fikir, keseharianku akan terus seperti ini. Tapi saat aku kelas lima, aku pindah sekolah. Tidak ada yang berubah disana, aku tetap tidak mempunyai teman, setidaknya itulah yang kupikirkan. Hingga seminggu kemudian..”
Brak! Buku-buku yang kubawa terjatuh berserakan di tengah lorong sekolah, aku berusaha menjaga keseimbanganku. Aku disuruh membantu guruku, agar mengantarkan buku-buku ini ke ruang guru. Dan baru saja, ada seseorang yang menabrakku dari depan.
“Hei, kalau jalan lihat-lihat dong!” Orang yang menabrakku mendorongku, mendengus kesal. Lantas segera pergi, meninggalkanku yang sedikit meringis akibat terjatuh karena dorongannya tadi.
Aku menghela nafasku, padahal ia yang menabrakku. Seharusnya, aku yang marah kepadanya.
Sudahlah, aku harus segera membawa buku ini ke ruang guru. Aku berusaha berdiri, tertatih mengambil buku-buku yang berserakan.
“Kamu gapapa?” Ada seseorang yang ikut mengambil buku yang terjatuh, berusaha membantuku membawa buku-buku yang berserakan.
Gerakan tanganku terhenti. Siapa dia?
“Namaku Fuza, dari kelas sebelah.” Ia mengulurkan tangannya.
Aku sedikit kikuk, tidak terbiasa berbicara dengan orang yang tidak dekat denganku. Patah-patah menerima uluran tangannya.
“Nama kamu siapa?” Fuza bertanya.
“Lysa.” Aku menjawab pelan, sedikit menunduk.
“Kamu jarang bicara ya, Lysa? Mulai sekarang, aku panggil kamu putri ya? Putri Lysa? Kedengarannya bagus kan?” Fuza tersenyum dengan idenya sendiri, mengangguk senang.
“Ayo putri, sebentar lagi jam istirahat selesai. Kita harus segera membawa buku-buku ini ke ruang guru.” Fuza mengambil kembali sisa buku itu dengan semangat.
Sejak saat itu, aku mulai bisa berteman dengan teman-temanku. Dan tentu saja, kemana-mana aku selalu bersama Fuza.
***
“Bukannya habis ketemu si Fuza kamu jadi punya temen? Kenapa malah sedih gitu?” Aini menatapku heran.
Aku tertawa hambar, ini memang menyedihkan.
“Hampir setahun aku berteman dengan Fuza, kita selalu menghabiskan waktu bersama-sama. Tapi semuanya jadi rumit pas kenaikan kelas enam. Ada anak baru di kelasku. Dan sejak pertama kali aku lihat dia, ada perasaan-perasaan aneh yang bikin aku pengen liat dia terus. Namanya Azli.”
“Terus Fuza gimana?” Aini sedikit tidak sabaran denganku.
“Aku jarang sama dia sejak mulai temenan sama Azli.” Aku mulai menunduk, suaraku mulai bergetar kembali.
“Akhir kelas enam, aku baru tahu kalau nama perasaan itu perasaan suka. Dan sehari sebelum acara penampilan kelulusan, aku kasih tau ke Azli kalau aku suka dia–” Suaraku tersekat.
Aini meremas jarinya, ia menungguku melanjutkan.
“Azli menyukai orang lain. Dan besoknya aku baru tahu, kalau Fuza juga punya perasaan itu ke aku..” Aku masih menunduk, terisak pelan.
Aini menatapku, ia sudah mengerti garis besar ceritaku. Ia tahu keadaan yang serbasalah ketika Fuza memberitahukan perasaannya padaku. Ia sekarang tahu, kenapa aku tidak ingin dipanggil putri lagi.
Aku tidak ingin orang lain memanggilku putri, aku hanya ingin Fuza yang memanggilku begitu.