Rindu Kau Rangkai

Amsterdam tengah bersemi, namun Jepara menantiku untuk membuka pintu tersembunyinya selama ini.

2023-11-21 12:04:06 - Nagita Puspa

Amsterdam tengah bersemi namun, suratmu tak kuterima lagi. Bagaimana kabarmu Kartini? Perjuanganku di Eropa tetap berlanjut, esok hari aku akan berangkat ke tanahmu. Segala keperluan telah kubeli di Damrak bahkan kuperbarui koper hijau lumutku dengan polesan semir. 

Pieter tetap menungguku di kamarnya sembari melipat surat terakhir yang kamu kirimkan ke Amsterdam. Terkadang aku bingung dengan tingkahnya, seperti hari ini ia marah kepadaku perkara perjalanan ini.

Katanya, “Kenapa mendadak sekali?” 

Lalu kujawab, “Aku hanya rindu Kartini.” 

Dengan muka merah dia sengit menyentak, “Kamu akan pergi sendiri?” Tentu kamu dapat menebak bagaimana akhirnya. Ia memintaku membelikannya oliebollen jika aku ingin ia memaafkanku, padahal tak terbesit sekalipun aku ingin meminta maaf padanya. Ia memang tidak berubah, tetap konyol. 

Tanpa henti Pieter mengoceh selama perjalanan menuju Pelabuhan Rotterdam. Awalnya kami sangat menikmati perjalanan hingga kulihat jarum jam tanganku menunjukkan keberangkatan kapal kurang dari 30 menit. Mendadak aku berteriak, membuat Pieter menekan pedal gas mobilnya berkecepatan maksimum. Sesampainya di Pelabuhan aku berlari ke ujung dermaga menumpahkan apa yang kutahan selama 10 menit perjalanan, di belakangku Pieter mengelus punggungku membantuku untuk segera merasa lega.

“Maafkan aku Estella.” Tak kuhiraukan apa yang ia katakan, lelah aku merasakan perutku yang kram. Ia menyodorkan teh hangat yang entah dari mana ia dapatkan. Pieter menyangga tubuhku selama aku meminum teh hangat itu.

Lima menit kemudian, energiku berhasil kembali lagi segera aku berjalan menuju kapal hitam bercerobong besar itu. Namun, Pieter menahanku, “Ingat aku tetap di Amsterdam, aku menunggumu!” Penuh keyakinan aku menjawab, “Iya, aku akan kembali untukmu.”

Rindu Kau Rangkai, itulah judul tulisanku kali ini. Kubawa memori ingatanku merangkai setiap kata pada tulisan ini. Saat itu aku menemukan surat yang berisi keinginanmu mengenai sahabat pena. Sebagai aktivis wanita Eropa aku tertarik dengan tulisanmu, perempuan asing lima tahun lebih muda dariku, pemilik pemikiran hebat. Iklan tulisan itu diterbitkan oleh De Hollandsche Lelie pada edisi 15 Maret 1899. Perkiraanku surat balasan pertama sudah kamu terima karena dua bulan selanjutnya aku menerima surat keduamu “Panggil saja aku Kartini-itu namaku.” Dengan penuh teguh namamu meninggalkan embel-embel kebangsawanannya. 

Kamu memintaku untuk selalu menggunakan aku-kamu dalam surat-surat kita, kamu menentang gelar bangsawan yang menempel pada jiwamu. Setiap suratmu memiliki kisah berdasar kehidupan Jepara di bawah feodalisme. Masa pingit yang dimulai sejak umur 12 tahun meninggalkan bekas luka yang cukup dalam, namun begitu demi bukti bakti kepada Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat membuatmu rela mendekam di dalam bangunan mengikat hak terbangmu. Eropa yang bebas seakan ingin membawa paksa dirimu dari tanah Hindia. Aku cukup terheran dengan budayamu, meninggikan laki-laki merendahkan perempuan seakan kain kotor sebagai lap kaki. 

Saat kamu menceritakan ayahmu berpaham banyak istri tentu berlawanan dengan penolakanmu terhadap poligami membuatku berkesimpulan bahwa kamu membenci lelaki pada zamanmu. Surat selanjutnya meyakinkan spekulasi bahwa kamu benar-benar membenci laki-laki Jawa, ibu yang seharusnya dijunjung tinggi dalam rumah tangga diperlakukan layaknya babu wajib memanggil anaknya dengan sebutan 'ndoro' karena sistem kasta keji itu. Ayahmu yang berpangkat Bupati memiliki dua istri dan sebagian anaknya perempuan. Dalam suratmu kamu menyatakan bahwa keluargamu sangat menyayangi anak perempuannya namun berlaku seenaknya kepada pasangan hidupnya. Hanya perempuan darah bangsawan yang layak duduk di atas kursi. Selain itu, tidak diizinkan mengaku sebagai istri. 

Kartini yang dikenal kuda liar sebab cara tertawamu yang melawan tata krama Jawa dengan mengusahakan ide modernmu mengkritik adat pembatas bangsamu. Perempuan haruslah berjalan pelan, berbicara dengan nada rendah sampai angin malam tidak mendengarnya, menunduk sujud di depan kaki laki-laki, jiwa bebasmu terjerat adat gila itu Kartini. Hanya lewat tulisan kamu dapat meniti asamu ke dunia.

Bupati pertama Hindia yang mengundang guru ke rumah untuk anak-anaknya ternyata ayah laki-laki yang harus kamu hormati itu, setidaknya aku cukup lega karena warisan kakekmu diberlakukan kembali oleh ayahmu untukmu dan saudara-saudaramu. Bahkan Kartono kakak laki-lakimu berhasil mengukir namanya dalam sejarah dunia, Kartono sangat cerdas. 

Mungkin akhir 1899 kamu menemukan bagian kisah cintamu berupa catatan penggambaran hal terindah ketika senyum tercetak pada wajah kekasihmu. Sampai sekarang tidak aku ketahui siapa lelaki beruntung yang mampu membuat Kartini meneteskan tinta sastra indah itu. Beberapa kali kuterka siapa lelaki itu lewat surat-surat pada tanganku. Namun, hanya nama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan Kartono yang bertandang dalam tulisanmu. 

Masih di tahun yang sama surat mengenai agama nenek moyangmu yang tak kupahami sama sekali. Islam, Al-Qur’an, dan Bahasa Arab kamu berfokus pada tiga hal itu yang terasa asing untukku. Cukup lama bagi seorang keturunan Yahudi untuk memahami apa yang kamu maksud karena agamamu tidak diajarkan di dalam agamaku. Setelah aku mendapati pesan keinginanmu memahami makna kitab agamamu aku menyadari bahwa apa yang diajarkan guru-guru agamamu hanya sebatas menuntun gerak mulut tanpa ada yang menguasai bahasa yang digunakan dalam kitab Al-Qur’an ujungnya tetap sama, pendidikan kamu menginginkannya. 

Tahun 1900 kejengkelanmu semakin terungkap melalui surat berisi suasana kediktatoran pemerintah Hindia Belanda terutama sikap para tamu yang tidak tahu diri. Bahkan status pribumi akan kalah jika sudah menghadapi darah Belanda. Kesempatan memajukan diri secara layak hanya dapat diwakili rakyat bendera tiga warna sehingga menutup celah cahaya bagi rakyat sederhana negerimu. Kartini tokoh perempuan yang erat kaitannya dengan kelemahan berani membagi ilmu kepada rakyat kekurangan. Membangun rumah ilmu di daerahmu untuk menghadirkan kembali titik hujan kemarau.

Ceritamu mengejek laki-laki yang menangis karena jatuh acap kali ibunya berkata, “Cih, anak laki-laki menangis tiada malu, seperti anak perempuan.” Maksud yang kutangkap bahwa sedari kecil kalian diajarkan posisi lemah perempuan dibanding laki-laki. Itulah cikal bakal kekuasaan laki-laki mengatur apa yang ia inginkan termasuk kehidupan perempuan yang terikat dengannya. 

“Jangan benci ayahku, karena aku mencintainya!” Jika kita bersama kamu akan mendengar kerasnya tawaku. Itu konyol Kartini sangat konyol, kamu menerima kandang buatannya lalu dengan tegas kamu menyatakan kamu mencintai penyanderamu. Seakan kelelawar tuli terbang saat malam hari, aku tidak setuju dengan tulisanmu kali ini. Kita kosong sampai 1903 kamu menikah dengan sekali lagi, atas pilihan ayahmu.

Kamu menolak Kartini itu dirimu, ujung mudamu ketika 24 tahun dipinang seorang Bupati Rembang duda tiga kali. Namanya K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat berani sekali paham poligami itu ikut andil dalam nasibmu. Sesuai tradisi ikatan pernikahan hanya dapat terikat jika kastanya seimbang, kamu dan dia berdarah biru namun kalian tidak sesuai. Seorang wanita modern rela menikah dengan seorang duda hanya karena status dan permintaan mendiang istri ketiganya, tidak adil Kartini. Layaknya Roro Jonggrang yang meminta Bandung Bondowoso membangun 100 candi semalam dalam kisahmu Bandung Bondowoso mampu menuruti syarat Roro Jonggrang. Tepat tanggal 12 November tahun 1903 statusmu telah berubah menjadi istri bupati Rembang.

Untuk kedua kalinya kamu membuatku lega, syarat untuk melanjutkan profesi gurumu disetujui suami dudamu. Kabarmu mendirikan Organisasi Bumiputera membuatku bangga Kartini, itu surat terakhirmu. Tiada aku mendapat kabarmu lagi membuatku memutuskan untuk bertandang ke rumahmu. Sisa dua hari lagi kapal ini sampai ke dermaga negerimu, tolong tunggu kedatanganku. 

Satu tangan melambai ke arahku Ny. Abendanon aku mengenalnya, aku belum bercerita kepadamu bahwa sebelum aku berangkat telah kukirim surat kepada Ny. Abendanon. Kamu ingat bagaimana kamu memperkenalkan teman-teman Eropamu? Aku teringat dengan wanita ini yang selalu memberikan pertimbangan untuk mengambil langkahmu. Walaupun tetap terbatas namun aku yakin Ny. Abendanon berguna untukmu. 

“Bagaimana perjalananmu Stella?”

“Aku menikmati angin lautnya.”

“Syukurlah, aku lega mendengarnya.”

Ny.Abendanon menuntun diriku melangkah menuju mobil VW hitam milik suaminya,

“Halo Stella, perutmu aman?” setengah terperanjat aku mendengar suara Jarques Henrij Abendanon berkacamata hitam dari dalam mobil klasik itu. 

“Yang kurasakan makanan kapal itu mengisi perutku,” candaku kepadanya. Jalanan Jepara cukup ramai aku menyukai kotamu Kartini. 

“Letakkan barang-barangmu di rumah kami dulu, ya Stella.”

“Setelah itu bawa aku kepada Kartini!” Tanpa menjawab, pasangan suami istri Abendanon langsung memasukkan seluruh barang-barangku. Awalnya aku mengajak pasangan itu untuk segera mengantarku bertemu dengan Kartini. Namun, mereka menyuruhku untuk istirahat beberapa jam, aku menurut sebab tak enak hati dengan tuan rumah. Hingga sore hari akhirnya mereka mengantarku. 

“Stella, kota kami mengalami banyak pemberontakan.”

“Terlihat dari beberapa daerah yang rusak, aku pikir itu hanya rusak karena hujan tetapi setelah kuperhatikan terdapat bekas tembakan,” sudah kutebak Nyonya ini akan berbasa-basi mengenai pemerintahan. Sedari surat-suratmu tahun 1889 kamu menceritakan pemberontakan pribumi kepada bawahan Hindia Belanda. Melihat kondisi kotamu tidak begitu membuatku terkejut berkat surat-suratmu. 

“Mari Stella,” ajak Ny. Abendanon dengan sopan kepadaku.

“Apa ini? Rembang segelap ini?” bingung dengan suasana yang begitu sepi nan gelap aku bertanya kepada pasangan itu.

“Ikuti kami dulu, nanti kamu akan paham.” 

Kami bertiga jalan beriringan layaknya keluarga kecil sempurna, suasana ini mencekam Kartini semakin kami berjalan semakin gelap yang terasa. Tak kuperhatikan langkah dua orang di depanku hingga membuatku menabrak Ny. Abendanon yang tengah berhenti,

“Maaf Nyonya Abendanon.”

“Merunduklah Kartini di depan kita,” mintanya kepadaku. Penuh semangat aku mengikuti gerak-gerik dua orang yang mengantarku, aku tidak melihatmu Kartini. Batu, hanya sebongkah batu halus layaknya nisan. 

“Nisan? Milik siapa?” Suami Ny. Abendanon mengeluarkan penerang kecil dari saku celananya menyorot tulisan di atas batu nisan itu.

“RA Kartini Djojo Adhiningrat.” 

Luruh tenagaku Kartini, badanku terduduk sempurna kosong karena bayangmu, kamu hilang Kartini, hilang sejatinya kamu benar-benar hilang tersisa kisahmu. 

“Stella?”

Tak bisa kuterima suratmu lagi Kartini, burung merpati putih telah keluar dari kandangnya meninggalkan kandang kosong yang kuhampiri. 

“Stella, Stella, Kartini di depanmu!” 

“Di mana? Di mana Nyonya?” ditunjukkannya ke arah nisan tadi. Aku ingin bertemu denganmu bukan bertemu dengan nisanmu Kartini.

“Sejak kapan?” Ingin tahuku mengenai waktu terakhirmu.

“Ia melahirkan satu-satunya putra yang ia kandung satu tahun pernikahan dengan bupati Rembang.” Bahkan akhir waktumu kamu tutup dengan perjuangan Kartini.

“Empat hari setelah melahirkan Tuhan mengambilnya dari kami.” Aku menampik kisah akhirmu namun bukti jasad telah terkubur di bawah nisanmu Kartini. 

“Mari pulang,” ajakku.

“Kamu tid-...”

“Aku ingin pulang,” pintaku lagi, segera aku berdiri berjalan gontai menuju mobil hitam vw milik keluarga Abendanon.

Sepanjang perjalanan kuhabiskan untuk menangis dalam diam, hanya air mata. 

“Ini cocok untuk menghangatkan tubuh Stella, cobalah.” 

Ronde, ini minuman kesukaanmu Kartini ternyata benar katamu ini nyaman. Aku tidak menyukai kuah jahe yang hambar, aku ingin malam kosongku diisi jahe hangatmu. Kamu memberi tahu rencanamu untuk minum ronde pada malam sebelum kamu menikah, semoga benar adanya rencanamu terlaksana. Kota ini ramai namun rasanya kosong tanpa hadirmu. Kami sampai di rumah Abendanon, tanpa kata aku turun berjalan menuju kamar tamu rumah ini. Beberapa kali Ny. Abendanon mengetuk pintu kamar tempat istirahatku menawarkan diri untuk menemaniku. Dari getaran kalimatnya aku tahu dia khawatir, kupersilakan dia masuk.

“Kamu tidak mau memejamkan mata?”

“Mataku terganggu oleh gambar surat-surat Kartini.”

“Relakan Kartini, ia tengah menikmati masa bebasnya sekarang.”

“Bahkan kami belum bertukar suara.”

“Namun kamu dengar isi hatinya Stella, lewat surat-suratnyalah Kartini mengenalkan sosoknya kepada para penerima surat di Eropa.” Aku paham akan hal itu, Kartini berekspresi melalui suratnya.

“Maukah kamu bertemu dengan Soesalit? Anak Kartini.” Deg.

“Aku ingin pulang saja Nyonya.” Kabar kematianmu masih meninggalkan luka bagiku, jika aku bertemu dengan anakmu sama saja aku akan memupuk rasa benciku kepada orang-orang sekitarmu. 

"Jepara menyambutmu Stella, berkelilinglah dahulu baru pulang.”

“Rinduku sudah terjawab, Amsterdam menantiku untuk pulang.” Aku melihat raut wajah kecewa Ny. Abendanon. 

“Bolehkah aku meminta bantuanmu lagi?”

“Tentu, apa yang kamu butuhkan?”

“Tiket kapal menuju Amsterdam.” Awalnya Ny. Abendanon terlihat bersemangat karena pertanyaanku namun setelah itu, kembali menunduk. 

Esok paginya aku bersiap pulang menuju Amsterdam. Diantarlah aku oleh Tuan Abendanon.

“Stella, apakah kamu masih menyimpan surat-surat kiriman Kartini?”

“Tersimpan di Amsterdam.”

“Aku berencana untuk mengumpulkan surat-surat Kartini, menceritakan perjuangannya kepada dunia.”

“Beri aku waktu untuk merapikannya.” Percakapan terakhirku di negaramu.

Dari jendela kapal terlihat kawanan burung camar terbang searah menuju Amsterdam, kurasakan kebebasanmu dipanggul kawanan burung berpatuk kuning itu. Amsterdam menarik kapal yang kutumpangi untuk mendekat ke arah bibir Dermaga Rotterdam. Aku berjanji kepada Pieter untuk kembali sebulan dari keberangkatanku menuju Jepara, namun kenyataan memukulku untuk pulang 10 hari setelah perpisahan kami. Tidak ada yang mengetahui kepulanganku, kuputuskan untuk bermalam di salah satu penginapan terdekat dari dermaga. Penginapan ini bergaya klasik, tersusun buku-buku berjudul bahasa Belanda yang mengingatkanku kepadamu Kartini. Pekerja wanita penginapan ini mengantarku ke kamar pesananku. Aku tebak pelayan ini dulunya seorang pemandu wisata karena selama perjalanan kami menuju kamar ia terus menjelaskan bagian-bagian penginapan ini. Sedikit terhibur dengan sesi tour hingga tanpa sadar kami telah sampai di depan pintu kamarku. 

“Silakan Nona, semoga kamar kami ramah menyambutmu.” 

“Aku baru mendengar benda mati dapat bereaksi.”

“Hanya di sini Anda dapat merasakannya.”

Tumpukan rasa lelah sekujur tubuh segera kurendam dengan racikan khas Rotterdam. Kamar ini istimewa, menyajikan pemandangan kota dari sisi kamar mandi, sambil berendam aku menikmati lalu-lalang penduduk Rotterdam. Tak..tak..tak.. tapak langkah terdengar keras dari lorong kamar blok A, bersamaan dengan itu di tengah kerumunan pinggir jalan tergeletak manusia berpakaian asing. Kuperhatikan seksama pakaiannya, menarik ingatanku kembali ke kotamu Kartini. Suara langkah kaki tadi semakin cepat dan jelas, firasatku mengatakan langkah itu menuju kamarku.

“Stella! Stella! Stella!” Panggil suara lelaki dari luar kamar. Aku masih terdiam di dalam bathtub memperhatikan bubarnya kerumunan pinggir jalan, butuh 10 menit agar aku bisa melihat dengan jelas sosok yang tergeletak di tengah kerumunan. Tubuh itu masih tergeletak miring memperlihatkan wajah penuh luka. Aku yakin ia bukan orang lokal, pakaian yang ia kenakan sangat berbeda dengan pakaian penduduk Rotterdam. Mataku bergerak dari kakinya menuju bagian atas tubuhnya, di tangan tubuh yang kuyakini wanita itu tengah memeluk buku Minnebrieven

Kepalaku terasa ditarik paksa mengingat rangkaian tulisan entah milik siapa, namun kata Minnebrieven tersorot jelas. Brak.. belum sampai kepalaku bergerak menoleh telah teracung pistol berjarak dua meter dari tempatku. 

“Sudah kubilang aku ingin menyusun tulisannya!” Aku mengenal suara lelaki yang mengacungkan pistol ke arahku.

“Kenapa kamu lebih memilih pulang?” Lanjutnya. 

“Aku tidak ingin berlama-lama tinggal di rumah pengecut sepertimu.” 

“Aku mencintainya, kami saling mencintai, bupati serakah itu yang mengambil Kartini dariku!”

“Lalu kamu memaksanya untuk tetap bersamamu? Gila memang.”

“Kartini hanya milikku bahkan anak bupati serakah tidak berhak mendapat air susunya.”

“Soesalit anaknya.”

“Seharusnya Soesalit tidak terlahir, harusnya anakku dengan Kartinilah yang terlahir.”

“Kamu membuat bayi tak berdosa itu menjadi piatu.”

“Diamlah! Aku kemari hanya ingin meminta surat-suratnya bukan meladeni celotehan tak bergunamu!” 

Langkahnya semakin mendekat, mataku masih awas melihat wanita yang tetap pada posisi tergeletaknya. Jepit rambut itu, jepitan yang kulihat di ruang tamu rumah Abendanon. Tepat, sangat tepat ia telah merencanakan ini semua, hanya tersisa nyawaku sekarang. Antara ia akan tetap melanjutkan misi penyusunan surat Kartini atau membunuh semua yang Kartini hubungi. 

More Posts