Rumah Pohon dan Ceritanya
2023-11-21 11:49:12 - Adissya Maulidina Cahyani
Tahun 1941
Usianya 3 tahun saat itu. Matanya bulat, rambutnya lurus dan halus meski besok-besok akan berubah menjadi sedikit kecokelatan karena terlalu sering terpapar sinar matahari. Badannya tidak kurus dan tidak pula gemuk. Siapapun yang melihatnya akan mengira bahwa ia hanyalah bocah ingusan yang hanya tahu bermain. Padahal, anak perempuan itu sungguh berbeda dengan bocah biasa sepantarannya. Sungguh.
“Hei, Adik kecil. Sedang apa kau di sini?” Laki-laki yang usianya 3 tahun lebih tua menghampirinya. “Hei, jangan pegang buku seperti itu! Kau ingin membacanya?” Laki-laki itu kembali mengeluarkan suara. Anak perempuan itu mengangguk–seolah mengerti pertanyaan yang barusan laki-laki itu lontarkan.
“Sedang apa kau di situ, hah?” Teriakan itu terdengar tiba-tiba.
“Bermain dengannya.” Laki-laki itu menunjuk adiknya–yang tentu saja sedang memegang buku.
Wajahnya menoleh ke kiri tanpa aba-aba setelah mendapat tamparan dari kepala keluarga di rumah itu. “JANGAN PERNAH KAU MENGAJAK ADIKMU UNTUK BELAJAR! JANGAN PERNAH MENGAJARINYA!” Kepala keluarga itu benar-benar membentaknya lantas meninggalkan kakak beradik itu begitu saja.
Begitulah bapak. Keputusannya tidak akan bisa terbantah–walau dari mulut ibu sekalipun. Meski kelakuan dan sifat bapak seperti itu, ibu tetap menghormatinya. Bapak dan ibu menikah karena perjodohan. Bapak memang mencintai ibu, sangat cinta malah. Namun, kalimat-kalimat yang mengatakan bahwa tidak sepantasnya seorang istri lebih cerdas dibandingkan suamilah yang membuat bapak gelap mata.
Membuat malu saja! Derajat laki-laki itu harus selalu di atas! Bagaimana jika istrimu mempermalukanmu? Sejak kalimat itu berulang kali masuk ke telinga bapak, bapak menjadi mudah marah. Gampang sekali dirinya mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk rendahan yang hanya memberi beban. Yang ia tahu sekarang, kodrat perempuan itu wajib di bawah laki-laki. Tidak boleh lebih.
Fakta bahwa ibu lebih cerdas dari bapak itu benar adanya. Bahkan ibu merangkap dua pekerjaan sekaligus, sekretaris dan bendahara di sebuah perusahaan bisnis. Dua pekerjaan yang tidak mudah, tetapi ibu dengan mudah melakukan pekerjaannya. Mungkin hanya hitungan jari ibu tidak ikut atau tidak terlihat di pertemuan bapak dengan kolega bisnisnya. Itu juga karena alasan tertentu. Bertemu dengan klien lain, atau skenario terburuk–jatuh sakit.
***
Tahun 1947
Waktu berlalu begitu cepat, usia anak perempuan itu sekarang telah menginjak 9 tahun. Mungkin akan duduk di kursi kelas 3 SD jika ia bersekolah. Tak apalah, anak perempuan itu masih memiliki kakak nomor satunya–Mas Nugra. Meski awalnya, ia adalah pelajar yang akan masuk kelas demi formalitas belaka, ia tidak pernah lupa untuk mencatat dan mengulang materi pelajaran di sekolah.
Pada beberapa tahun terakhir, perempuan memang sudah diperbolehkan berangkat sekolah. Namun, bapak tetaplah bapak, keputusannya tentu tidak bisa diganggu gugat. Bahkan ibu, wanita yang pernah dicintai bapak, tidak berhasil membujuknya.
Tidak sia-sia Mas Nugra bersekolah di sekolah elite. Ia memberikan jalan keluar sementara karena melihat adik perempuannya yang amat sungguh-sungguh ingin pergi ke sekolah.
Sederhana saja solusi sementara yang dicetuskan Mas Nugra. Ia akan berangkat sekolah di pagi hari dan akan pulang di sore hari. Selama Mas Nugra pergi sekolah, anak perempuan itu akan membersihkan rumah, menyetrika baju milik bapak yang akan dipakai untuk pertemuan dengan kolega bisnisnya, menyapu halaman, sebagaimana kodrat perempuan yang dimaksud bapak. Mungkin kalian akan bertanya-: “Apakah anak perempuan itu boleh keluar rumah? Kalau boleh, kenapa tidak pergi sekolah diam-diam saja?” Ya, anak perempuan itu memang bebas berkeliaran, pergi ke mana saja di luar rumah. Bahkan ia boleh menghabiskan uang untuk hal yang tidak penting. Tapi dengan satu syarat, ia boleh pergi dengan pengawal yang digaji oleh bapak. Pengawal itu berguna untuk mengawasi anak perempuan. Ia boleh melakukan apa saja, asal tidak belajar apalagi bersekolah. Jika dipikir menggunakan akal sehat, peraturan bapak memang tidak ada yang masuk akal.
Selanjutnya, malam hari setelah Mas Nugra pulang dari sekolah, dirinya dan kakak laki-lakinya akan menghabiskan waktu berdua di rumah pohon. Rumah pohon itu terletak di belakang rumah yang memiliki halaman luas. Sebenarnya, itu adalah hadiah ulang tahun dari bapak saat anak perempuan itu akan berusia 4 tahun.
Di dalam sanalah, Mas Nugra akan berusaha menjadi kakak nomor satu sekaligus guru bagi adik kecilnya. Anak perempuan itu juga menjadikan rumah pohon pemberian bapaknya sebagai tempat penyimpanan buku-buku pelajarannya. Toh, bapak juga hanya memberi, tidak pernah mengecek atau bahkan memasukinya. Masalah kebersihannya? Itu adalah urusan anak perempuan.
Satu malam.
Dua malam.
Tiga malam.
Bermalam-malam kakak-beradik itu menghabiskan waktunya di dalam rumah pohon. Bapak atau ibu tidak ada yang curiga. Entah bapak yang sibuk dengan urusan pekerjaannya atau ibu yang ikut sibuk menemani pertemuan-pertemuan yang masih ada sangkutannya dengan kerjaan bapak. Atau bisa jadi mereka berpikir bahwa wajar saja kakak-beradik menghabiskan waktu bersama di tempat yang mereka sukai. Maka dengan bersemangat disertai senyum lebar, ia sungguh tak sabar menunggu jam belajarnya.
Tak jarang juga anak perempuan itu sudah berada di dalam rumah pohon sembari mengulang materi yang diajarkan Mas Nugra kemarin. Rumah pohon itu sederhana, di dalamnya terdapat rak buku yang tingginya sepinggang, meja lipat kecil. Untuk kursi empuknya, anak perempuan itu baru menambahkannya pagi ini. Ia membelinya saat tak sengaja melewati toko mebel.
Satu tahun berjalan cepat.
Usia Mas Nugra 13 tahun. Tahun ini, ia akan masuk ke SMP. Mas Nugra berhasil masuk ke dalam SMP elite pada masanya dengan nilai yang memuaskan. Dari kecil, Mas Nugra memang membuat bapak dan ibu bangga. Mas Nugra juga nakal, tapi ia bisa mempertahankan nilai bagusnya sehingga bapak tidak terlalu mengambil pusing jika dirinya membuat ulah.
Tahun ini, bapak semakin sibuk. Ia banyak mengurus pertemuan-pertemuan dengan kolega bisnisnya. Ibu tentu akan pergi juga untuk menemani. Hal itu yang membuat semangat anak perempuan itu membara. Rasa penasarannya sudah tidak bisa dibendung. 'Berapa banyak buku di dunia ini Mas? Apa aku bisa mempelajari semua ilmu di dunia ini? Jika aku belajar dengan metode ini apakah setara dengan orang yang langsung belajar di sekolah bersama para guru? Apakah kodrat perempuan serendah itu? Mengapa aku dilarang bersekolah? Apakah laki-laki bisa menjamin kesuksesan suatu negara jika perempuan juga tidak ikut belajar?' Itu adalah beberapa dari ribuan pertanyaan yang anak perempuan itu lontarkan selama setahun terakhir.
Mas Nugra yang awalnya kewalahan menghadapi pertanyaan anak perempuan itu sekarang sudah tidak lagi. Kakak laki-laki nomor satu itu sudah pintar menjawab sekarang, entah masuk akal atau tidak.
“Ada pertanyaan, murid kesayangan?” Mas Nugra benar-benar berlagak seperti seorang guru malam itu. Bukannya bertanya, anak perempuan itu malah tertawa terpingkal-pingkal. Bagaimana tidak, ia baru sadar jika kakak nomor satunya entah sejak kapan memakai kumis palsu yang hampir copot. “Mengapa kau malah tertawa, Adik kecil?” Kali ini, Mas Nugra sengaja memasang wajah konyol.
Anak perempuan itu menunduk tiba-tiba, tawanya terhenti, “Mas, aku ingin bersekolah. Sungguh.”
“Belum saatnya, Dik. Nanti…nanti, jika memang saatnya kau akan bersekolah-” Mas Nugra menjeda kalimatnya. Tangannya meraih badan anak perempuan itu–memeluknya. “Atau…atau bisa jadi kau yang akan membuat sekolah itu, meski kau tak punya ijazah.” Mas Nugra tersenyum, tangannya tak henti mengelus kepala anak perempuan itu. Berusaha memberi janji kehidupan yang pasti kepada anak perempuan itu.
“HEI, KALIAN BERDUA BELUM MAKAN YA? AYO TURUN!” Itu suara bapak yang berteriak dari bawah.
“Iya, Pak. Kami turun.” jawab Mas Nugra dengan nada yang lebih rendah dari suara bapak.
Hari itu adalah hari libur. Mas Nugra dan anak perempuan itu sengaja menghabiskan waktu dari sore hari. Mas Nugra membuat ujian (seperti ujian harian di sekolah formal), jika nilai anak perempuan itu di bawah rata-rata, ia akan mengerjakan remedial. Benar-benar seperti sekolah. Tapi sepertinya, remedial-remedial itu tidak pernah ada. Selama ini, anak perempuan itu selalu mendapat nilai bagus saat mengerjakan soal buatan Mas Nugra.
Demi melihat senyum lebar milik adik perempuannya, dirinya akan membuat suasana rumah pohon itu seperti sedang berada di kelas. Akan ada paparan materi, ujian harian, pekerjaan rumah, ujian semester, bahkan ujian praktik. Tingkat kesulitan yang dibuat juga tidak asal. Semuanya sesuai standar anak yang resmi bersekolah. Tentu saja itu semua dilakukan di belakang bapak dan ibu.
“Dari mana saja kalian?”
“Menemani adik di rumah pohonnya, Bu. Katanya ia bosan di rumah saja.” Mas Nugra inisiatif menjawab.
“Oh, kalau begitu apa Adik mau ikut Ibu dan Bapak besok? Bapak ada pertemuan dengan kolega bisnisnya.” ibu menawari. Tangannya masih cekatan menyendok nasi ke atas piring makan masing-masing.
Anak perempuan itu menggeleng.
“Kau tidak mau? Katanya kau bosan di rumah?” Bapak menimpali. Alisnya menyatu sebentar. Lantas kembali normal saat tangan kanannya meraih buah semangka di depannya.
“Tidak dulu, Pak. Rasanya aku ingin berada di rumah saja. Bersih-bersih mungkin. Bukankah Ibu juga ikut bersama Bapak?”
Bapak mengangguk mengiyakan, tidak salah. Bapak benar-benar sering pulang malam. Lalu esoknya, ia akan berangkat pagi-pagi sekali.
“Baik, kalau kau memang ingin berada di rumah. Itu lebih baik, kodrat perempuan itu ya memang di rumah. Mengurus suami, mengurus rumah. Tidak perlu yang namanya belajar. Merusak harga diri suaminya saja.” Bapak menekankan 2 kalimat terakhirnya.
Mas Nugra jelas tahu bahwa kalimat yang dikeluarkan bapak dapat merusak suasana hati adik perempuannya. Pelan tapi pasti, Mas Nugra melirik anak perempuan itu. Akan tetapi, wajah yang ditampakkan anak perempuan itu malah bersahabat dengan kalimat bapak. Tidak terlihat tersinggung atau bahkan marah karena terbawa emosi. Hal yang baru ia sadari saat itu adalah, adik perempuannya pandai sekali dalam improvisasi.
Esok harinya, saat bapak dan ibu menghadiri pertemuan dengan kolega bisnisnya.
“Kau sedang apa?”
“Entahlah, Mas. Aku hanya menulis beberapa mimpiku. Pantaskah aku melakukannya?” Anak perempuan itu menghembuskan napas pasrah. Punggungnya ia sandarkan ke kursi empuk.
Mas Nugra melirik kertas yang tergeletak di atas meja lipat murid kesayangan alias adik perempuannya. Tangannya menggerakkan posisi kertas agar matanya mudah membaca. Tak lama kemudian senyum melengkung begitu saja di wajahnya.
“Mimpimu akan menjadi nyata, Dik!” Tangan kanan Mas Nugra mengacak pelan rambut adik perempuannya.
“Seberapa yakin?” Anak perempuan itu melirik kertas yang tadi ia tulis kemudian mendongak–menatap wajah kakak nomor satunya.
“Seratus persen!” Mas Nugra mengangkat kedua telapak tangannya yang langsung disambut dengan senyuman dari anak perempuan itu.
“Mas jangan jadi seperti Bapak, ya?”
Mas Nugra mengangguk cepat. “Jangan pernah benci Bapak, ya?” Untuk ke sekian kalinya Mas Nugra merengkuh badan anak perempuan itu. Anak perempuan itu diam, tidak menjawab. “Bapak memang salah, mungkin juga tidak ada benarnya. Tapi…tapi jangan pernah benci Bapak ya?” Mas Nugra mengulangi pertanyaannya–yang sebenarnya terdengar memohon.
“Ibu adalah wanita yang cerdas, Mas.” Nada anak perempuan itu berubah lirih.
Mas Nugra mengangguk.
“Lalu mengapa aku tidak diizinkan untuk menjadi cerdas seperti Ibu? Mengapa? Padahal Ibu juga–” Anak perempuan itu tak sanggup melanjutkan kalimatnya, air matanya tumpah tanpa izin. Membuatnya susah berbicara.
Mas Nugra mengangguk lagi, memilih tidak menjawab. Namun tangannya tetap setia mengelus pelan kepala anak perempuan itu.
“Aku...aku tidak membenci Bapak, Mas. Aku hanya benci perlakuannya padaku, itu saja.” Air mata anak perempuan itu tumpah lebih banyak, membasahi seragam sekolah Mas Nugra.
“Iya, atas nama Bapak, Mas minta maaf ya?” Mas Nugra memeluk adik perempuannya lebih erat.
Badan anak perempuan itu bergetar. Anak perempuan itu menangis tanpa suara, tapi air matanya tumpah lebih banyak. Badan Mas Nugra ikut melemas. Ia tidak pernah melihat adiknya menangis. Ya, selama ini, anak perempuan itu selalu bersemangat, wajah dengan senyum lebar, tangan yang mengepal karena terlalu bersemangat menunggu dirinya untuk memulai pelajaran, mata yang tak kenal mengantuk karena ingin memahami banyak buku-buku. Lalu apa yang terjadi sekarang? Murid kesayangannya menangis tanpa suara, air matanya yang tak pernah ia lihat, akhirnya tumpah seolah sudah tidak kuat lagi menahan.
Mas Nugra percaya bahwa ada janji kehidupan yang pasti untuk adik perempuannya. Adik perempuannya tidak akan tumbuh menjadi wanita yang bodoh lantas tidak berguna. Anak perempuan itu, adik perempuan dari kakak nomor satu, murid kesayangan adalah manusia yang paling dicari nantinya.
“Jangan biarkan Mas Nugra jadi seperti Bapak, ya? Ingatkan Mas jika nantinya Mas lupa.” Mas Nugra melepas pelukannya, kedua tangannya cepat-cepat menghapus air mata yang masih jatuh dari bola mata adik perempuannya.
***
Tahun 1950
Dua tahun berikutnya juga terasa singkat. Anak perempuan itu kini berusia 12 tahun. Sedangkan kakak nomor satunya berumur 15 tahun.
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Setiap malam, setiap sore ketika Mas Nugra libur sekolah, mereka berdua akan menghabiskan waktu di dalam rumah pohon. Berbicara tentang rumah pohon, tempat kecil itu tidak berubah banyak, hanya penambahan jumlah rak untuk menyimpan buku-buku baru. Tingkat kenyamanannya masih sama seperti 8 tahun lalu. Kabar bapak dan ibu? Oh, tentu saja mereka berdua semakin sibuk. Bagaimana tidak? Bisnis usahanya berkembang pesat, bahkan banyak membuka cabang baru.
“Dik, Ibu ingin bicara.”
Anak perempuan itu menoleh ke arah pintu tempat kakak nomor satunya berdiri. Hari ini tidak ada kelas bersama Mas Nugra. Bukan tanpa alasan Mas Nugra tidak mengadakan kelas untuk anak perempuan itu melainkan karena anak perempuan itu demam tiba-tiba saat bangun tidur.
“Masuk saja, Mas,” balas anak perempuan itu lirih.
“Halo anak perempuan kesayangan Ibu!” Ibu masuk dengan senyum lebarnya. Tangannya membawa semacam bingkisan.
Anak perempuan itu balas tersenyum, ia tidak bisa banyak bicara. Seluruh tubuhnya sakit, badannya meriang.
“Ibu membawakanmu hadiah. Coba tebak isinya!” Masih dengan senyum lebarnya, tangan kanan ibu mengangkat bingkisan itu ke atas, menunjukkannya pada anak perempuan.
“Wah…apa itu Bu? Aku tidak tahu.” Anak perempuan itu berseru lemah, kemudian menggeleng pelan.
Ibu menyerahkan bingkisan itu pada anak perempuannya. Menyuruh anak perempuan itu membukanya sendiri. Dan yang terjadi? Anak perempuan itu tersenyum lebar, lebih lebar dari biasanya. Tangannya menggenggam buku pemberian ibunya. Benar sekali, bingkisan itu berisi 2 buah buku soal-soal persiapan Ujian Penghabisan, yang sekarang dikenal dengan nama Ujian Nasional.
“Ibu tahu? Ibu tahu aku belajar?” Anak perempuan itu bertanya lirih.
“Tentu saja! Ibu selalu merapikan rumah pohonmu.” Ibu tersenyum simpul.
“Ibu tidak marah?” Anak perempuan itu bertanya patah-patah bersamaan dengan Mas Nugra yang masuk dengan nampan makan di tangannya.
“Tentu tidak, Sayang. Ibu justru bangga padamu!” Ibu mengelus pelan pucuk kepala anak perempuan itu. “Ibu bangga sekali. Maaf, kalau selama ini Ibu tidak bisa membantumu.” Kali ini, ibu menunduk, jelas dari nada bicara dan sorot matanya sebuah penyesalan.
“Tidak apa, Bu. Aku punya Mas Nugra.” Anak perempuan itu meletakkan buku soal, berganti mengelus kedua tangan ibu.
“Belajar yang rajin, Nak. Ibu akan pergi selama 3 hari unt–”
“BERTEMU KLIEN!” Belum sempat ibu melanjutkan kalimatnya, jelas Mas Nugra dan anak perempuan itu sudah hafal.
“Kalian berdua ini. Mas, dijaga adiknya ya? Ibu mau bersiap, nanti malam Ibu akan berangkat.” Ibu menjelaskan. “Tidak akan lama, cuma 3 hari. Ibu janji.” Ibu menautkan jari kelingkingnya.
Ibu urung keluar dari kamar anak perempuan itu, “Kalau kamu bisa menyelesaikan salah satu buku soal yang Ibu beri, sepulang dari luar kota Ibu akan belikan hadiah.”
Anak perempuan itu mengangguk senang. Saking senangnya, anak perempuan itu seperti lupa akan rasa sakitnya. Bahkan ketika Mas Nugra mengingatkannya untuk istirahat kembali, anak perempuan itu hanya setengah berbaring. Punggungnya ia sandarkan ke dipan, tangannya masih asyik membolak-balik buku pemberian ibunya.
Hari pertama, anak perempuan itu setengah pulih. Mungkin karena semangat ingin belajarnya. Mas Nugra masih setia menemani anak perempuan itu. Kali ini, buku soal pemberian ibu adalah pemandu dari pembelajaran ini. Anak perempuan itu belajar di kamar kali ini karena bapak juga luar kota.
Hari kedua, anak perempuan itu sudah sembuh total. Hari ini, ia bisa belajar di rumah pohon. Tenaganya sudah kembali. Tangannya dengan cekatan mengerjakan soal demi soal di buku tersebut setelah membersihkan rumah. Malamnya, Mas Nugra mendapat tugas mengecek pekerjaan anak perempuan itu. Dan seperti biasanya, pekerjaan anak perempuan selalu membanggakan–tidak ada yang salah.
Hari ketiga, buku soal pertamanya tinggal seperempat. Anak perempuan itu membersihkan rumah, mencuci baju, mengelap jendela, membersihkan daun-daun kering di halaman dan banyak tugas rumah lainnya. Ia sengaja melanjutkan mengerjakan soal saat sore hari. Malamnya, lagi-lagi Mas Nugra hanya bertugas mengecek pekerjaan adik perempuannya. Mas Nugra tersenyum puas. Adik perempuannya berhasil menyelesaikan satu buku berisi banyak latihan soal dalam 3 hari. Tidak ada yang salah dalam pengerjaannya, murid kesayangannya ini selalu sungguh-sungguh memperhatikan saat dirinya menjelaskan materi. Bahkan Mas Nugra berani bertaruh jika adik perempuannya lebih cerdas dibanding anak seusianya yang pergi sekolah lantas belajar dengan para guru.
“Jangan-jangan kau sedang menunggu hari esok?” Mas Nugra menebak tepat saat buku soal itu selesai dikoreksi.
Anak perempuan itu tersenyum.
“Dan– jangan-jangan kau ingin pamer kepada Ibu tentang pencapaianmu?”
Anak perempuan itu tersenyum lagi, tapi cepat-cepat ia menutup mukanya yang memerah karena malu. Tebakan Mas Nugra benar. Anak perempuan itu tidak menyangka bahwa selama ini ibu diam-diam mendukungnya.
“Tenang saja, besok saat Ibu pulang, kau bisa pamer sepuas kau.” Mas Nugra mengacak rambut anak perempuan itu. Anak perempuan itu balas mengangguk kemudian meraih buku soalnya lantas memeluknya. Membayangkan jika ibu melihat buku latihan soalnya yang tidak ada coretan yang menandakan salah.
Anak perempuan itu kecewa keesokan harinya. Ia menunggu ibu dari pagi. Akan tetapi ibunya tak kunjung pulang, bahkan Mas Nugra sampai rumah lebih dahulu. Sedari pagi, anak perempuan itu mondar-mandir, menunggu ibu pulang. Nihil, ia hanya melihat bapak yang keluar-masuk dari ruang kerjanya. Membawa berkas-berkas yang entah apa isinya.
Mas Nugra menenangkan anak perempuan itu ketika mulai risau. Dirinya berkata mungkin ibunya ada urusan mendadak yang membuatnya pulang lebih lama dari jadwal yang ia janjikan. Anak perempuan itu mengangguk ragu, berusaha mengusir pikiran buruknya.
Keesokan harinya, ibu lagi-lagi belum pulang. Anak perempuan itu duduk di sofa tempat biasa ibunya duduki saat menonton televisi. Duduk menunggu ibunya beberapa jam membuatnya semakin risau. Kaki anak perempuan itu tidak bisa diam, hatinya tidak enak. Lagi-lagi Mas Nugra menenangkannya, berkata hal yang sama seperti bapak.
Hari selanjutnya, anak perempuan itu sudah tidak bisa menahannya. Rasa penasarannya tidak bisa ia tahan. Anak perempuan itu berjalan ke mana bapak berada–ruang kerjanya.
“Pak?” Anak perempuan itu mengetuk pintu pelan.
“Ya? Ada urusan apa, Nak? Masuk saja.” Bapak berteriak dari dalam.
“Pak, Adik mau tanya.” Anak perempuan itu berdiri di hadapan meja kerja bapak.
“Tanya apa?” Bapak menjawab tanpa memindahkan pandangannya dari berkas-berkas.
“Ibu..Ibu di mana? Kenapa Ibu belum pulang?” Air mata anak perempuan itu hampir menetes.
“Entahlah, aku sengaja biarkan dia tidak pulang ke rumah ini.”
Anak perempuan itu menatap bapak tak percaya.
“Ibumu selingkuh!” Suara bapak terdengar ketus.
Anak perempuan itu menggeleng cepat. Ibunya tidak mungkin seperti itu. Ibunya berjanji akan kembali dalam 3 hari. Lagi pula, sejak kapan ibu punya untuk berselingkuh jika waktunya hanya dipakai untuk menemani bapak di banyak pertemuan-pertemuan.
“Aku tidak percaya, Pak! Ibu tidak mungkin selingkuh!” Anak perempuan itu menggeleng, mengusir pikiran-pikiran yang tidak benar.
Bapak menumpuk berkas-berkasnya kasar. Ia berdiri, otot lehernya mengencang. Tangannya mengepal kuat, siap sekali ia memukul apa pun.
“IBUMU MEMANG TIDAK SELINGKUH DENGAN MANUSIA!” Bapak memukul meja kerjanya keras. “IBUMU SELINGKUH DENGAN BUKU-BUKUNYA!” Lanjut bapak dengan suara yang lebih keras.
Anak perempuan itu menggeleng, ia sungguh tak percaya.
“AKU MUAK, AKU SUDAH BILANG TIDAK USAH BELAJAR. TAPI APA? IA MALAH LEBIH DALAM MEMPELAJARI ILMUNYA! IBUMU SUNGGUH MEMPERMALUKANKU!” Bapak berjalan mendekati anak perempuan itu, mengangkat dagunya agar menatap mata bapak.
“A…apa yang terjadi dengan Ibu, Pak? Kenapa Ibu…kenapa Ibu tidak pulang?” Anak perempuan itu bertanya patah-patah, ia takut.
“Kau masih bertanya kenapa Ibumu tidak pulang, huh?” Bapak menurunkan nadanya, namun tetap terdengar menakutkan. “Itu karena Ibumu masih saja menekuni buku-buku yang membuatnya lebih pintar dariku.” Bapak menjawab pertanyaan yang ia lontarkan sendiri.
“Pak…” Anak perempuan itu menangis, ia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada ibunya.
“Aku menyingkirkannya.” ucap bapak terlalu santai, kemudian kembali ke kursi kerjanya. Duduk seperti tidak ada apa-apa sebelumnya.
Anak perempuan itu berdiri, ia tidak ingin berlama-lama berhadapan dengan bapak. Ia melangkahkan kakinya keluar.
“Kamu pikir saya tidak tahu kalau kau selama ini belajar dengan Mas nomor satu sialan itu?” Kalimatnya penuh penekanan. Aku juga akan menyingkirkanmu!
Anak perempuan itu tidak peduli. Ia melangkahkan kakinya ke rumah pohon, berusaha menenangkan dirinya.
“Ke mana perginya Ibu, Mas?” Anak perempuan itu meraung-raung sendirian di dalam rumah pohonnya. “Apa Ibu marah? Lalu ingkar janji kepadaku?” Suara anak perempuan itu parau, nyaris tidak terdengar.
Saat ini, dirinya lemas. Ia sudah tidak memikirkan persoalan buku latihannya. Anak perempuan itu hanya ingin ibunya pulang. Ia rindu senyum hangat ibunya. Ibu yang berusaha mendukung, meski dari belakang. Apa aku terlalu egois jika memaksa ibu pulang? Anak perempuan itu tidak kuat mengeluarkan suara, dadanya sakit sekali.
“HEI!” Anak perempuan itu menoleh, ia sungguh tak percaya dengan tampilan Mas Nugra saat ini.
Rambutnya basah berantakan. Tiga kancing paling atas seragamnya terbuka. Seragam yang awalnya berwarna putih bersih, sekarang entahlah, ada banyak bercak merah yang menodainya. Napasnya terengah-engah, entah Mas nomor satunya itu datang dari mana.
“Hei, jangan takut.” Mas Nugra mendekap anak perempuan itu dalam pelukannya tanpa aba-aba.
Dahi anak perempuan itu mengernyit, ada bau anyir yang berasal dari badan mas nomor satunya.
“Mas…Mas dari mana?” Suara anak perempuan itu patah-patah.
“Setelah ini kita pergi ke rumah nenek, ya?” Mas Nugra mengusap-usap rambut anak perempuan itu. Gerakannya terasa tergesa-gesa. “Ayo bersiap!” Mas Nugra memerintah.
Anak perempuan itu tidak paham dengan apa yang terjadi, tapi ia tak melawan, ia membantu Mas Nugra menyiapkan tas besar yang berisi baju-baju dan kebutuhan lainnya. Saat semuanya siap, anak perempuan dan mas nomor satunya perlahan menuju ke luar rumah.
“Mas, Bapak bagaimana?” Anak perempuan itu menahan lengan Mas Nugra yang tengah membawa tas besar.
“Tidak usah peduli dengan laki-laki gila itu, Dik!” Mas Nugra menekankan kalimat yang ia ucapkan.
Anak perempuan itu menggeleng, ia berlari masuk ke dalam rumah.
“MAS, BAPAK KENAPA?” Anak perempuan itu berteriak histeris, ia menggeleng tidak percaya.
Ia sekarang tahu, alasan mas nomor satunya naik ke dalam rumah pohon dengan rambut berantakan, banyak bercak merah di seragam putihnya, kemudian napasnya yang terengah-engah.
“Mas…” Anak perempuan itu menatap Mas Nugra dengan tatapan yang sulit diartikan. “Mas menembak Bapak? Kenapa?” Anak perempuan itu bertanya saat melihat pistol G2 Combat yang berada tak jauh dari posisi bapak.
Anak perempuan itu bingung, ia belum mengetahui alasan jelas mengapa ibunya tak pulang. Sekarang, ia melihat dada bapak mengeluarkan banyak darah. Ada bekas lebam di wajah bapak, mungkin, sebelum Mas Nugra menembak bapak, mereka berdua sempat berkelahi.
“Maaf…” Mas Nugra menunduk, tangan anak perempuan itu ia genggam kuat. “Maaf membuatmu berada di posisi ini, Dik.” Genggaman itu tidak sekuat tadi.
“Tidak apa, Mas. Mungkin, jika aku tidak lahir di keluarga ini…” Aku tidak akan membuat seseorang dengan tidak sopannya memb**** ayahnya sendiri. Anak perempuan itu berusaha menyelesaikan kalimatnya, “Semuanya tidak akan seperti ini.”
“Bukan salahmu!” Mas Nugra berusaha meyakinkan hati anak perempuan yang terlampau baik. “Bukan salahmu, Dik.” Mas Nugra mendekap anak perempuan itu dalam-dalam. “Kau tahu, kau terlalu berharga untuk orang semacam Bapak, Dik. Kau perempuan yang cerdas, tak pantas bila Bapak menyingkirkanmu hanya karena kau serius dalam belajar. Aku yang tidak rela.” Mas Nugra menelungkupkan kepalanya ke ceruk leher milik anak perempuan itu. “Setelah bapak menyingkirkan Ibu, maka Bapaklah yang harus disingkirkan, Dik. Kau harus membuat sekolah seperti yang kau impikan.” Nada suara Mas Nugra merendah.
“Tapi..tapi Mas Nugra sendiri yang mengajariku untuk tidak membenci Bapak, Mas.” Anak perempuan itu tak tau lagi harus menjawab apa.
“Kalau begitu, benci saja Mas nomor satumu ini.” Mas Nugra tersenyum. Tapi senyumnya getir.
Anak perempuan itu menggeleng untuk ke sekian kalinya. “Mas, aku mau pergi dari sini. Tapi, mari kita urus dulu pemakaman Bapak.” Anak perempuan itu tersenyum. Mas Nugra tahu bahwa itu adalah senyum yang dipaksakan.
Bagaimana pula, anak perempuan itu masih peduli dengan jasad bapaknya. Bapak yang tega menamparnya berulang kali jika ia ketahuan belajar. Bapak yang menyingkirkan wanita yang dicintainya hanya karena ego. Bapak yang sebenarnya tidak pantas disebut bapak. Tapi apa? Kematiannya pun dihargai oleh anak perempuan itu. Ia bersikeras untuk mengurus pemakaman bapak dibanding meninggalkan bapak yang nantinya membusuk begitu saja.
“Iya, aku akan menyuruh orang untuk pemakaman bapak. Sementara itu, kau beristirahat di rumah nenek, ya?” Mas Nugra mengusap-usap punggung anak perempuan itu, berusaha memberinya kekuatan.
Anak perempuan itu menggeleng.
“Aku siap…aku siap meninggalkan rumah ini, membiarkan kenangannya menguar begitu saja saat semua sudah selesai, Mas. Saat bapak sudah dikubur, saat aku tahu alasan ibu yang ingkar padaku soal jadwal pulangnya.” Kini, anak perempuan itu yang mengusap-usap kedua tangan mas nomor satunya. Sorot matanya memancarkan keyakinan.
“Tapi kau harus berjanji akan satu hal.” Mas Nugra mengacak pelan rambut murid kesayangannya.
“Apa itu, bapak guru paling pintar?” Senyum anak perempuan itu mengembang, nadanya terdengar sedikit menantang.
“Kau harus berjanji untuk mengejar semua impianmu, seperti membuat sekolah. Aku akan mencari kerja agar kau juga bisa bersekolah denganku.” Mas Nugra berusaha menampilkan senyumnya yang paling baik.
“Saya berjanji. Mas tidak perlu bekerja untukku. Aku akan menjadi muridmu yang lebih rajin saja.” Anak perempuan itu tersenyum.
“Tidak, terlalu banyak ilmu yang harus kau pelajari dari sekolah, Dik. Percayalah padaku, kau akan sekolah setelah semua ini selesai.” Mas Nugra menangkup pipi anak perempuan itu sebentar, lantas memeluknya dalam-dalam.
Terima kasih, Mas. Anak perempuan itu teramat senang dalam pelukan mas nomor satunya.
~THE END~