Berendah Hati di Hadapan Cahaya
Pagi datang lagi, membawa serta embun yang membasahi dedaunan dan sejuk yang menyelinap lewat celah jendela. Di sebuah kamar yang sunyi, uap tipis dari air hangat mengabur di sudut cermin. Sesosok tubuh baru saja selesai menyucikan diri, membasuh lelah semalam dan menyambut fajar yang merekah. Tetesan air terakhir jatuh dari ujung rambutnya, memecah keheningan. Ia menatap pantulan di hadapannya, lekat-lekat, pada wajah yang begitu ia kenali.
2025-09-03 06:49:12 - R. Gatot Susilo
Lalu, dalam senyap pikirannya, sebuah bisikan lirih bergumam, "Inilah aku."
Sebuah pengakuan yang terasa begitu aman, begitu akrab. Namun, di kedalaman jiwa, ada getaran lain yang bertanya. Benarkah itu dirimu? Ataukah itu hanya wajahmu, wahana sementara yang dititipkan Sang Pemilik Kehidupan untuk mengarungi samudera dunia ini?
Manusia seringkali terjebak dalam ilusi kepemilikan yang paling mendasar: keyakinan bahwa raga ini adalah diri yang sejati. Kita lupa membedakan antara sang musafir dengan kendaraannya. Kita tidak bisa merasakan selisih antara diri dengan kehadiran, antara esensi sejati dengan alat yang mengantarkan kehadiran itu. Padahal, alat itu hanyalah pinjaman, sebuah cangkang fana yang akan berganti seiring ruang, waktu, dan dimensi yang berbeda.
Di gedung-gedung megah bernama sekolah dan universitas, jutaan kepala digiring untuk mempelajari segala hal tentang dunia di luar sana. Mereka diajarkan tentang bintang yang jaraknya ribuan tahun cahaya, tentang atom yang tak kasat mata. Namun, adakah satu mata kuliah pun yang secara khusus mengajak kita menyelami ke dalam? Sebuah pelajaran untuk membedakan antara "diri-sejati" dengan "alat-hadir"? Untuk memilah antara truk dengan muatannya yang berharga?
Jangankan menyelam sejauh itu. Kita bahkan seringkali gagal memisahkan antara keindahan sebuah lukisan dengan sekadar gumpalan cat, warna, dan guratannya. Kita terpesona oleh puisi, tanpa menyadari bahwa kekuatannya bukanlah pada susunan kata, melainkan pada ruh yang menari di antara setiap baitnya. Ada sesuatu yang tak terlukiskan, sesuatu yang lebih agung di balik semua yang tampak.
Mungkin, secara tak terduga, kebenaran ini paling mendekati pembuktiannya dalam bahasa semesta yang paling murni: matematika. Dalam persamaan Euler (e
iπ
+1=0), kita menemukan sebuah keajaiban. Sebuah formula yang menyatukan lima konstanta paling fundamental dalam matematika dalam sebuah harmoni yang mustahil namun terbukti nyata. Ia adalah bukti bahwa ada keindahan agung dalam sesuatu yang tidak bisa kita pahami sepenuhnya dengan logika biasa. Seperti lukisan yang memesona itu, kita tahu ia indah, kita bisa merasakannya, meski kita takkan pernah bisa mengurainya dalam kata-kata. Itulah mungkin bentuk dari diri kita—sesuatu yang tak mungkin, tetapi nyata adanya.
Maka, setiap kali berdiri di depan cermin, mungkin seharusnya bukan pengakuan "inilah aku" yang terucap. Mungkin seharusnya itu menjadi momen untuk berendah hati. Untuk menyadari bahwa wajah ini, tubuh ini, hanyalah amanah. Ia adalah kuas yang dipinjamkan Sang Pelukis Agung untuk menorehkan cerita di kanvas kehidupan.
Pada akhirnya, semua pencarian, semua keraguan, dan semua pengembaraan ini akan bermuara pada satu titik kepasrahan. Sebuah ikrar tulus yang menggetarkan arasy, yang mengembalikan segala sesuatu pada Pemiliknya yang hakiki.
"Inna shalaatii, wa nusukii, wa mahyaaya, wa mamaatii, lillaahi Rabbil 'aalamiin."
(Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku, hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam).
Hanya kepada Cahaya-Nya lah kita semua akan kembali.