Cahaya Hijau di Lereng Gn. Ungaran
Mauliate
2025-12-02 00:43:09 - Nabil Versi Akal Sehat
Pada tahun 1741, kabut masih sering turun setiap pagi di kaki barat Gunung Ungaran seperti kaos basah yang dilabuhkan langit. Di sebuah dusun kecil bernama Sekar Melungker, yang tidak pernah tercatat di peta VOC, hidup seorang gadis bernama Nuri. Rambutnya hitam panjang, matanya bening bagai air telaga di puncak, dan langkahnya selalu diiringi nyanyi burung-burung kecil seolah alam sendiri menyambutnya.
Pada suatu sore di bulan Sura, seorang pemuda asing datang dengan langkah lelah. Pakaiannya tertiup-tiup oleh angin, hanya membawa keris kecil bergagang cendana dan sebuah kotak bambu anyaman rapat. Namanya Raden Mas Jaka Tingkir, keturunan jauh dari Pajang yang keratonnya telah lama ambruk. Ia meminta untuk bermalam di Desa Sekar Melungker. Malam itu, desa menjadi gaduh. Para pemuda curiga. Kotak bambu yang selalu dijaga rapat-rapat itu membuat mereka berbisik, “Pasti dia mata-mata Belanda, pencuri, atau pembawa sial. Cepat! Buka kotak itu,” kata Ki Demang Lurah Pidekso, kepala desa yang suaranya menggelegar seperti petir di musim kemarau.
“Ini bukan urusan desa,” tolak Jaka Tingkir dengan tenang, meski tangannya gemetar memegang kotak.
Nuri yang mendengar keributan berlari keluar rumah. Ia berdiri di depan Jaka Tingkir, dada kecilnya naik-turun seperti ombak kecil. “Kalau kalian mau menyakitinya, lewati aku dulu,” ucapnya lirih tapi tegas. Obor-obor terhenti. Api menari-nari di ujung kayu seolah ragu melangkah lebih jauh.
Tiga malam kemudian, purnama Sura menggantung bulat sempurna di atas Ungaran. Jaka Tingkir dan Nuri mendaki sendirian meninggalkan desa yang masih bergolak. Angin gunung menderu, kabut menampar wajah mereka seperti tamparan dingin. Mereka sampai di Watu Gunung, batu besar yang oleh orang desa dianggap pintu menuju kahyangan. Di sana, Jaka Tingkir membuka kotak bambunya.
Di dalamnya bukan abu leluhur, melainkan sebuah batu kecil berwarna hijau zamrud yang memancarkan sinar lembut seperti ribuan kunang-kunang berkumpul. Mustika Ungaran, peninggalan Prabu Brawijaya V yang disembunyikan saat Majapahit runtuh, lalu diwariskan turun-temurun hingga sampai di tangannya.
“Aku diperintahkan mengembalikannya sebelum tahun Jawa 1670 tiba,” katanya pelan, suaranya nyaris hilang ditelan angin. “Jika tidak, tanah Jawa akan dilanda malapetaka besar.”
Nuri hanya menatap mustika itu. Cahayanya memantul di matanya, membuat air matanya berkilau seperti mutiara jatuh di daun pinus. Keesokan paginya, ketika mereka turun gunung, desa sudah sepi. Para pemuda yang semalam mengacungkan tombak kini berlutut di jalan setapak, wajah mereka pucat. Ki Demang menangis seperti anak kecil. Di langit, awan hitam yang bertahun-tahun menggantung di atas Ungaran perlahan tersibak, seolah gunung itu sendiri menghela napas panjang.
Satu bulan kemudian, mustika diletakkan di sebuah gua kecil di lereng barat yang kini dikenal orang sebagai Gua Jepang yang padahal usianya jauh lebih tua. Jaka Tingkir tidak lagi pergi. Ia menetap, menikahi Nuri, dan menjadi guru silat yang disegani. Dusun Kandang Ayam perlahan berkembang menjadi kawasan Gedong Songo yang ramai dikunjungi orang.
Setiap bulan Sura, jika kamu mendaki Ungaran di malam purnama, konon masih terlihat cahaya hijau samar di ufuk timur, seperti lilin kecil yang tak pernah padam. Menyapa mereka yang masih ingat bahwa di balik gunung megah itu pernah tersimpan rahasia yang menyelamatkan sebuah desa kecil dari bayang-bayang kegelapan.
Mustika Ungaran telah kembali pada tempatnya. Cahaya hijau yang dulunya memancar hebat menyatu dengan kelembaban. Desa Sekar Melungker memang telah diselamatkan dari malapetaka besar yang diramalkan oleh para leluhur Majapahit, tetapi ancaman lain tidak pernah benar-benar hilang: ancaman dari luar, dari kaum berkulit putih yang berlayar jauh.
Pada tahun-tahun berikutnya, di awal 1740-an, pengaruh Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) mulai merayap naik dari pesisir Semarang, mendesak masuk ke pedalaman. Sekar Melungker, yang awalnya terisolasi oleh kabut dan reputasi mistis Ungaran, mulai menjadi target. Kompeni ingin membuka jalur logistik baru menuju Boyolali dan Surakarta, dan lereng barat Ungaran adalah titik strategis.
Jaka Tingkir menyadari bahwa kekuatan mustika hanya menjaga keseimbangan alam, bukan melindungi desa dari keserakahan manusia. Ia mengajarkan pencak silat kepada para pemuda, bukan sebagai seni berkelahi, melainkan sebagai ilmu kebatinan yang dibungkus gerakan tubuh. Setiap tendangan adalah penahan amarah, setiap pukulan adalah manifestasi kesabaran.
Ki Demang Pidekso, yang kini telah berubah menjadi pengikut setia Jaka Tingkir setelah peristiwa purnama Sura, duduk di pendopo, mengamati latihan. Wajahnya yang dulu keras kini penuh kerut khawatir.
“Jaka, anak-anak kita cepat belajar,” katanya suatu sore, menyerahkan cangkir berisi air jahe hangat. “Tapi bisakah ilmu ini menahan peluru timah Kompeni?”
Jaka Tingkir menghela napas, menatap puncak Ungaran yang mulai tertutup jingga senja. “Ki Demang, peluru Kompeni hanya membunuh badan. Keserakahan mereka membunuh jiwa. Kita hanya perlu memastikan jiwa anak-anak desa ini tidak mati sebelum raganya.”
Nuri, yang kini lebih sering menjahit sambil mendengarkan, selalu menjadi penyeimbang. Ia tidak pernah ikut latihan, tetapi kehadirannya adalah jangkar bagi Jaka Tingkir. Ia memahami bahwa suaminya membawa beban sejarah yang berat, dan tugasnya adalah memastikan rumah mereka tetap menjadi tempat Jaka Tingkir bisa menjadi dirinya sendiri: seorang pemuda sederhana, bukan pewaris Majapahit.