Dagboek Van Annelies
Tanah ini milik pribumi.
2023-11-21 13:21:19 - llovie
Aku, Annelies Van Diedrick. Anak dari Hendry Van Diedrick dan Evi Laurence. Aku adalah anak kedua dari empat bersaudara. Kami sekeluarga pindah ke tanah ini ketika ayah memiliki tugas pada tahun 1937. Ayahku merupakan seorang sekretaris yang sangat cerdas. Tidak heran jika ayah sampai ditugaskan di tanah indah ini. Sementara ibuku, seorang wanita tercantik yang pernah kulihat. Seorang wanita yang selalu mengajariku tentang kehidupan di tanah ini. Ibu pernah mengatakan bahwa ia pernah menginjakkan kaki di tanah indah ini sebelum menikah dengan ayah. Kata ibu, nama wilayah ini adalah Buitenzorg(1). Namun pada akhirnya, ibu meninggalkan kami tepat setelah melahirkan adik keduaku, Aldert Van Diedrick pada tahun 1939.
Selama beberapa waktu, ayah menjadi pribadi yang tertutup dan selalu menghabiskan waktu di ruang kerjanya saat itu. Aku pernah bertanya pada kakakku tentang apa yang terjadi pada ayah ketika usiaku 9 tahun. Sedangkan kakakku yang juga masih berumur 11 tahun pun terlihat kebingungan. Dari raut wajahnya, Kak Anne terlihat sedih. Aku hanya bisa terdiam saat itu tanpa bisa melakukan apa pun.
Dua tahun setelah kelahiran Aldert, ayah tiba-tiba menghilang begitu saja. Awalnya kami mengira ayah hanya pergi sebentar seperti yang biasa ayah lakukan. Namun, aku dan Kak Anne(2) merasa heran, mengapa ayah memberikan banyak sekali uang pada kami. Benar saja, ayah menghilang saat itu dan tak pernah kembali lagi.
“Dua tahun sudah..” Suara Kak Anne yang menggunakan bahasa Indonesia terdengar dari belakang ayunan yang kududuki. Wajahku mendongak melihat wajah cantik Kak Anne yang sedang memandang William, adik pertamaku dan Aldert bermain di halaman rumah. Sekilas tersirat kesedihan di matanya. Wajahku menunduk menatap sayu tanah di bawah kakiku. Aku merasakan apa yang Kak Anne rasakan. Rasa kesepian dan kehilangan. Bertanggung jawab sebagai kakak dari tiga adiknya yang masih kecil dan membutuhkan kasih sayang sedangkan Kak Anne sendiri juga sangat membutuhkannya.
“Mengapa Ayah pergi? Saya, bingung Ayah tidak kembali.” Aku memberanikan diri untuk bertanya pada Kak Anne tentang hal ini. Entah mengapa aku tertarik untuk belajar bahasa ini, apalagi dengan para tetangga kami yang walaupun berasal dari satu negara, memakai bahasa ini sehari-hari.
"Ik weet het niet, Annelies. Ik zal voor je blijven zorgen. Het maakt niet uit of vader terugkomt of niet, we zullen nog steeds samen zijn(3)." Benar apa kata Kak Anne, aku akan terus berada di sisinya, membantunya melindungi kedua adikku.
Beberapa tahun telah berlalu, aku sudah cukup fasih berbicara bahasa Indonesia. Umurku sudah menginjak 16 tahun. Tahun 1946 di musim panas, kami berempat berencana untuk merayakan musim ini di depan rumah tepat di bawah pohon beringin seperti biasanya. Kami memang tidak pernah bepergian ke manapun. Melihat hutan di belakang rumah saja sudah sangat indah menurutku. Adikku, William Van Diedrick dan Aldert Van Diedrick sudah semakin bertambah besar. Kakakku, Anne menjadi semakin bertambah cantik seiring dengan usianya yang mencapai 18 tahun. William, umurnya masih 13 tahun. Sedangkan Aldert, baru saja menginjak usia 7 tahun.
Aku memakai dress berwarna kuning cerah. Lalu aku ikat rambut panjangku dengan pita berwarna kuning. Tak lupa, aku membawa buku dan pensil untuk menggambar. Sejak empat tahun lalu, aku lebih suka meluangkan waktuku untuk menggambar. Terkadang aku menggambar hutan yang cantik di belakang rumah atau menggambar wajah keluargaku agar suatu saat nanti aku bisa mengabadikan kisah kami di sebuah lukisan kanvas yang akan aku buat sendiri.
“Silakan dinikmati!” ucap William yang terlihat sangat antusias.
Aku menatap makanan di depanku. Semuanya adalah buatan Kak Anne. Aku melirik ke arah Aldert, adik terakhirku yang sedang memakan buah melon dengan tenangnya. Memang jika dibandingkan William, Aldert terlihat lebih tenang dan pendiam. William saja aku tak terlalu bisa untuk mengatasinya. Hanya Kak Anne saja yang bisa mendiamkan William.
Pandanganku beralih ke wajah Kak Anne. Ia juga sedang memakan roti. Sejujurnya, Kak Anne terlihat sangat cantik dengan dress putih yang dahulu biasa ibu pakai untuk bepergian. Rambut pirangnya yang dikepang dua dan kulit putihnya bersinar saat terkena sinar matahari.
“Annelies!” Suara dari belakang memanggilku, aku berbalik menghadap sumber suara. Seorang anak laki-laki seumuran yang tinggal satu perumahan denganku, Bastian Michael. Aku baru mengenalnya tiga tahun terakhir ini saat keluarganya memutuskan untuk pindah ke daerah ini. Aku tersenyum lalu mengajaknya untuk bergabung menikmati perayaan kecil ini. Kemeja hitamnya terlihat senada dengan warna rambutnya. Mata birunya sama sepertiku, sangat tampan.
Saat kami sedang berkumpul, aku mengambil buku sketsaku yang kemudian aku gambarkan kebahagiaan ini. Mulai dari Kak Anne, lalu William, Aldert, dan yang terakhir, Bastian. Setelah sekian lama merayakan pesta, kami bersama membereskan sisa perayaan kami. Bastian pun ikut serta membantu kami membersihkan halaman.
Setelah semuanya selesai, aku duduk di ayunan depan rumah sambil menggambar. Suara decitan ayunan yang didorong membuatku menghela nafas. Sudah pasti itu ulah Bastian.
“Elies, apa yang kamu gambar kali ini? Bukankah gambar tadi sudah kamu selesaikan?” Bastian masih memakai aksen Dutch(4)-nya. Tapi setidaknya, bahasa Indonesianya sudah lumayan dibanding tahun lalu.
Aku dengan cepat menyembunyikan buku sketsaku darinya.
“Aku tidak menggambar apa pun. Aku hanya.. sedang memperbaiki gambaran tadi.”
Bastian mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tetap saja ekspresi jahil itu tak hilang dari wajahnya. Memang mengesalkan. Ia lalu mengambil duduk di sebelahku.
“Elies, aku ingin mengatakan sesuatu. Mag ik?(5)”
Aku menganggukkan kepala tanda setuju. Entah mengapa wajah Bastian berubah serius. Wajahku menjadi semakin gugup karena Bastian yang semakin mendekatkan wajahnya. Ia berhenti sejenak lalu melirik ke arah pipiku.
“Er zit een zwarte vlek op je wang. Je ziet er lelijk uit.(6)”
Mataku seketika membulat, wajahku dengan cepat menghindarinya. Lalu dengan cepat mengusap kasar pipiku. Malu? Tentu saja. Terdengar kekehan dari mulut Bastian. Kekehan yang terdengar menyebalkan. Sangat menyebalkan. Pipiku memanas, bahkan mungkin sudah terlihat sangat memerah.
“Tidakkah wajah kamu seperti buah peach merah?!” Tawa keras kemudian terdengar. Aku menatapnya cemberut.
“Lalu? Memangnya kenapa jika aku memerah?” Ucapku kesal.
Tawanya seketika mereda. Bastian menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan.
“Jika aku berkata kau sangat cantik, apa yang akan kau lakukan, gadis cantik?” Satu alisnya terangkat. Sudut bibirnya pun juga ikut terangkat.
“....”
Aku hanya terdiam tak bisa menjawabnya. Tentu perkataannya mengejutkanku. Sejauh yang kukenal, Bastian bukan tipe seorang yang akan dengan cepat mengatakan isi hatinya. Bahkan selama ini, ia tak pernah mengatakan apa yang ia rasakan. Seperti saat dulu aku bertanya padanya.
“Bagaimana perasaan kamu saat pindah ke sini?” Ia memiringkan kepalanya bingung.
“Saya tidak memiliki perasaan apa-apa.” ucap Bastian dengan wajah berpikir.
Saat itu, satu tahun setelah perkenalan kami, ia masih memakai kata ‘saya’. Aku masih ingat, ketika kami berbincang di hutan cantik yang ada di belakang rumahku. Padahal sebelumnya, ia sangat terpesona ketika melihat hutan dan kebun depan perumahan kami.
“Apakah kamu baru sadar aku secantik ini? Kak Anne saja cantik. Bagaimana aku tidak?” Sebenarnya aku hanya iseng mengatakan itu agar aku tidak terlalu terlihat malu karenanya.
“Bahkan ketika pertama kali kita bertemu.” Suara balasan Bastian benar-benar membuatku kembali terdiam.
“Sudahlah.. Aku ingin menggambar. Dan tidak bisakah kau pulang sekarang, Bastian Michael?” Ucapku penuh tekanan.
“Als ik dat niet wil?” (7)
“Het is bijna donker, dus ik ga nu naar binnen.” (8)
“Hah.. baik. Kembali ke rumah dan istirahat. Neem morgen een douche zodat je er niet slecht uitziet als we elkaar weer zien.(9)"
Aku berbalik dan berjalan ke arah rumah dengan perasaan kesal. Walaupun aku sering kesal karena dia terus memanggilku ‘jelek’ tapi setidaknya itu terasa lebih normal dibandingkan ketika ia menyebutku ‘gadis cantik’ seperti tadi.
Aku masuk ke dalam rumah, mataku menangkap Kak Anne yang terlihat seperti terkejut dan khawatir saat terduduk di sofa dengan tangannya yang memegang sebuah surat kabar. Aku menaruh buku sketsaku di atas meja dan menghampirinya.
“Kak Anne..”
Aku memanggilnya dengan suara pelan sebelum akhirnya melirik ke arah artikel yang sedang dibaca Kak Anne. Sebuah judul artikel yang membuat jantungku berdetak kencang.
‘Periode Bersiap, Beribu Orang Belanda Dibantai.’
“Kak Anne..” Panggilku sekali lagi.
Kak Anne masih belum bergerak sama sekali. Ia seperti benar-benar mematung karena berita ini. Namun detik berikutnya, Kak Anne berdiri dan langsung memelukku erat.
“Nee... We zullen hier niet sterven. Zullen hier niet sterven.(10)"
Suara Kak Anne terdengar bergetar, seperti ia mengetahui bahwa kita adalah incaran para prajurit pembunuh di sini.
“Apa.. kita akan kembali ke rumah nenek?”
Kak Anne mengangguk cepat. Kita akan pulang dan menghindari para prajurit pembunuh itu. Aku memeluk tubuh Kak Anne dengan sangat erat. Air mataku menetes. Hanya di sini, hanya di sini aku bisa merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan terus bermunculan bahkan ketika kesedihan melanda, hanya kakak dan adikku yang terus menghiburku.
William, anak itu turun saat kita berdua menangis. Matanya berubah menjadi khawatir saat melihat aku dan Kak Anne menangis. Dengan cepat ia berlari menghampiri kami.
“Wat is er gebeurd? Waarom huil je?(11)”
Wajah William terlihat panik. Namun seketika, wajahnya berubah tegang dengan cepat saat Kak Anne menarik tangan kita berdua dan mengatakan bahwa kita harus secepatnya berkemas.
“Para prajurit, mungkin akan mengincar kita.”
“NU! ELIES! WILL!(12)”
Dengan tegas Kak Anne menyuruh kami agar cepat bergerak lalu bergegas pergi ke kamar Aldert. Kemudian mengemas seluruh barang yang akan kita bawa untuk pergi.
Di tengah situasi panik kami, suara dering telepon berbunyi. Kak Anne dengan cepat mengangkatnya. Namun wajahnya memucat seketika saat menerima telepon itu. Gagang telepon terjatuh dari tangannya. Aku hanya terdiam menatap Kak Anne yang mulai meneteskan air mata.
“Ap-apa.. yang terjadi, Kak?”
Kak Anne langsung jatuh melemas saat itu juga. Ia menangis. Aku duduk di depannya. Situasi buruk sedang terjadi.
“Kita.. tidak bisa kembali besok.. hanya ada satu jalan. Lusa.” Suara Kak Anne yang terbata dan bergetar membuat hatiku semakin merasa takut. Pikiranku kosong bahkan ketika aku mencoba mencari solusi lain. Air mataku tanpa sadar menetes. Aldert yang keluar dari kamar dengan cepat memeluk Kak Anne. Tentu saja, Aldert merasakan ketakutan yang sangat melihat ketiga kakaknya yang terlihat bersedih dan ketakutan.
Disisi lain, aku tak bisa melakukan apa pun saat ini. Jantungku terus berdegup kencang.
“Kita akan selamat, kita pasti selamat, apa pun yang terjadi. Kita harus pergi dari sini secepatnya.”
Tiba-tiba, suara ketukan pintu yang terdengar tergesa-gesa itu membuat kami saling berlindung di belakang punggung Kak Anne. Kedua tanganku memeluk William dan Aldert dengan erat.
“Blijf achter me!(13)”
Namun, Kak Anne mulai melangkah ke arah jendela, melihat siapa yang terus mengetuk pintu.
“Bastian..”
Dengan cepat Kak Anne membuka pintu lalu Bastian masuk dengan wajah khawatir dan ketakutan.
“Kak Anneke! Ada apa ini?! Tadi aku lihat ada banyak orang membawa tombak dan pistol. Aku melihat Bibi Lestari diancam dengan pistol. Aku takut lalu aku diam-diam keluar dari rumah dan lari kemari.”
Mata Bastian terlihat berkaca-kaca, untuk kedua kalinya aku melihat Bastian seperti akan menangis. Biasanya ia akan selalu tersenyum di hadapanku dengan tingkah dan ucapannya yang sangat menyebalkan. Bastian.. tentu saja merasa sangat takut dan sedih. Bibi Lestari hanya satu-satunya yang selalu ada di samping Bastian. Orang tuanya memang memutuskan untuk pindah di sini. Namun orang tuanya jarang di rumah. Bahkan terlihat bahwa Bastian hanya tinggal dengan Bibi Lestari saja.
Mata Kak Anne semakin menyiratkan ketakutan. Ia tahu, Itu adalah orang-orang yang akan membantai orang Belanda dan siapapun yang menjadi pembela orang Belanda. Itulah mengapa Bibi Lestari juga ikut diancam.
“Kalian bersembunyilah di dapur. Jika kalian ketakutan, berlarilah ke arah hutan dan jangan sampai bertemu dengan mereka.”
Mata Kak Anne terlihat berair. Aku menangis. Tidak, bukan ini yang aku inginkan. Aku tidak ingin kehilangan siapapun lagi. Kedua lenganku yang masih memeluk William dan Aldert, aku lepaskan. Aku memeluk Kak Anne yang sudah menangis. Memeluknya erat. Aku takut, sangat takut. Aku benar-benar tak ingin pergi meninggalkannya.
“Kak Anne.. Aku menyayangimu. Aku sangat menyayangimu. Aku menyayangi keluargaku. Maafkan aku tak bisa menjadi adik yang baik untukmu. Aku akan membawa adik kembali ke Nederland.”
Punggung Kak Anne terasa bergetar. Aku tahu, ia pasti merasa sangat ketakutan. William dan Aldert juga ikut memeluk kami. Kak Anne terduduk memeluk kami dengan erat penuh kasih sayang seakan takut kehilangan kami.
Suara pintu yang didorong paksa tiba-tiba terdengar. Semakin terdengar seperti akan didobrak.
“Cepat! Cepat bersembunyi! Bastian, ikutlah dengan Elies. Jangan sampai kalian tertangkap.” Ucap Kak Anne sembari mencium keningku dan adik-adikku.
“Pergilah..”
Aku bergegas menggendong Aldert dengan tergesa. Tangan Bastian menarik tangan William. Kami masuk ke dalam dapur dan bersembunyi di bawah tempat kompor. Bastian berjaga dengan waspada di belakang pintu. Ia melihat Kak Anne yang terduduk lemas di atas karpet dengan wajah tertangkup. Menangis. Hanya ini satu-satunya cara agar kami tak tertangkap.
Pintu dibuka dengan dobrakkan. Banyak orang bersenjata yang masuk ke dalam rumah. Mereka dengan cepat menarik paksa Kak Anne dan mengikat tangannya. Terlihat Kak Anne yang terus memberontak dan berteriak. Kepala Kak Anne ditutup dengan karung kecil berwarna coklat. Bastian merasa seseorang di antara mereka yang bersenjata melirik ke arahnya yang sedang mengintip. Secara cepat Bastian berdiri lalu membuka pintu menuju hutan dengan tergesa.
“Kom op! We moeten hier weg!(14)”
Aku bergegas berdiri dan keluar dari dapur. Menembus gelapnya hutan. Aku bahkan tidak memakai alas kaki apa pun. Tidak peduli bagaimana sakitnya kakiku yang terluka. Keselamatan adikku lebih penting dari apa pun. Tak berselang lama setelah kami keluar dari dapur, terdengar seorang laki-laki yang berteriak.
“Hey! Aranjeunna didieu!(15)”
Bahasa yang tidak aku mengerti, tapi sepertinya ia mengetahui keberadaan kami. Bastian berlari di belakangku sambil menggendong William. Suara tembakan dari arah rumah kami terdengar. Begitupun dengan suara teriakan perempuan yang aku kenal. Mataku terpejam mengeluarkan air. Napasku tersengal seiring dadaku yang bergerak naik turun. Aldert memeluk tubuhku erat. Suara tembakan kembali terdengar bersamaan dengan suara Bastian yang memekik.
Langkahku terhenti, aku berbalik melihat Bastian yang sudah terbaring sedang William yang berusaha mengangkat Bastian untuk berjalan. Kakinya berdarah terkena tembakan. Bayangan banyak orang bersenjata itu terlihat mendekat. Aku membantu Bastian untuk berdiri lalu memapahnya sementara lengan kiriku terus menggendong Aldert. Namun secara tiba-tiba, langkah Bastian terhenti. Aku menatapnya terkejut.
“AYO BASTIAN! APA YANG KAU LAKUKAN?! KITA HARUS SEGERA KABUR!”
Bastian terdiam, ia menatapku. Aku melihatnya dengan tatapan nanar. Bastian tersenyum manis padaku. Tatapannya terlihat tulus untukku.
“Elies, ini akan menjadi terakhir kalinya untuk kita bertemu. Het spijt me, jij gaat met William en Aldert mee. Ik zal je alleen maar pijn doen. Ik hou van je, ik hou van je, Annelies. Sinds onze eerste ontmoeting ben je zo mooi dat ik je altijd lelijk heb genoemd. Loop weg, Annelies. Red je zus.(16)”
“Tidak! Kamu harus ikut denganku!”
“Lari, berlarilah sejauh mungkin, Elies.”
Aku meremas dress kuningku yang kotor. Ketakutan dan kesedihan menjadi satu. Suara tembakan kembali terdengar. Aku menatap Bastian sebentar sebelum akhirnya aku berlari menjauh dengan menyeret William dan Aldert yang ada di gendonganku. Aku berlari secepat mungkin, sesekali kepalaku berbalik menghadap Bastian. Bayangan Bastian yang ditangkap oleh para pria bersenjata itu terlihat menjauh. Namun sebagian masih mengejarku. Tangan William aku tarik agar ia berlari di depanku lebih dahulu.
“Ren zo snel mogelijk, kijk nooit achteruit!(17)”
Aldert menangis lebih keras. Tangan kananku memegang kepalanya. Dadaku terasa sesak, aku hanya bisa lari dan terus berlari menghindari kejaran orang-orang itu. Namun, punggungku secara tiba-tiba terasa sakit bersamaan dengan suara tembakan yang kembali terdengar. Aku terjatuh, William berhenti lalu membantuku berdiri. Aku terjatuh dengan tanganku yang terus memeluk Aldert. Melindunginya. Aku berusaha sekuat tenaga untuk berdiri menahan rasa sakit di punggungku. Orang-orang bertombak itu sudah berada dekat dengan kami.
William, Aldert, tidak ada yang bisa kita lakukan saat ini. Kedua lenganku dicengkeram kuat oleh seseorang. Teriakan William, teriakan Aldert, mataku mulai mengabur namun masih terlihat William yang memberontak dengan lehernya yang dicekik. Dua orang menampar Aldert di depan mataku. Napasku tersengal, punggungku dipukul dengan pistol. Air mataku menetes, aku gagal, aku gagal melindungi kedua adikku. Seseorang dari mereka menghampiriku lalu memukulku dengan tangannya yang besar. Rasa sakit di kepalaku menyerang sebelum akhirnya aku menutup mata dan telingaku yang mendengar teriakan kedua adikku.
William, Aldert, Kak Anneke, Bastian. Benar, aku gagal melindunginya. Aku gagal melindungi keluargaku sendiri. Ingatanku kembali pada pagi hari tadi, kami yang baru saja merayakan musim panas di bawah pohon beringin dengan karpet kecil dan banyak masakan Kak Anneke. Bercanda tawa tanpa beban, hingga aku melupakan sesuatu buruk yang akan menimpa keluarga kami.
Mataku terbuka dengan tanganku yang sudah terikat dan kami yang didudukkan secara kasar di bawah pohon beringin depan rumah. Mataku melirik ke arah samping, aku melihat kedua adikku yang disiksa, ditampar, dipukul, bahkan ditendang. Sesekali kepalanya dibenturkan ke pohon beringin itu. Aku menjerit keras, William dengan kepala yang berdarah dan mata tertutup pun mereka masih saja menyiksanya. Aldert, yang terus menangis keras dengan luka lebam di dahinya dan sudut bibirnya yang berdarah.
Aku berteriak meminta mereka berhenti, namun tetap saja mereka terus menyiksa adikku. Bastian dan Kak Anne, aku tak melihatnya. Tangisanku semakin keras ketika bahkan mereka dengan tega menginjak kaki Aldert. William, dia tidak bergerak. Jantungku terus berdegup kencang. Benar, William sudah tiada. Terlihat dari wajah mereka yang sangat puas setelah menyadari William benar-benar sudah tiada. Aku menjerit histeris ketika menyadari itu. William adikku..
Pandangan salah satu orang tertuju padaku. Dengan senyum miring, lelaki itu berjongkok di depanku. Tangannya terangkat mencengkeram daguku, memaksaku untuk menghadap ke atas. Kulitnya berwarna coklat, alisnya tebal, rambutnya berwarna hitam sedikit berantakan. Semakin kulihat, sudut bibirnya semakin terangkat naik. Ketakutanku bertambah.
“Ngan kaduhung anjeunna anak ti penjajah eta.(18)”
Aku tidak bisa berkata-kata. Aku tidak paham sama sekali dengan apa yang orang kejam ini katakan. Namun, setelahnya orang itu berdiri dan berbalik. Membisikkan sesuatu pada rekannya yang lain. Teriakan Aldert masih terdengar nyaring di telingaku. Rambut pirangnya sudah berwarna merah sebagian. Aku tak bisa melakukan apa pun selain menangis. Di sebelahnya ada William yang sudah tak bernyawa.
Tidak ada lagi candaan dan sikap jahilnya padaku. Tidak akan ada lagi suara Kak Anne yang memarahi William. Dan tidak akan ada lagi teriakan Aldert yang menggema di sudut rumah karena ulah William. Yang ada hanya teriakan memekik yang terdengar menyakitkan.
Mataku terus mengeluarkan air mata. Hal paling bodoh yang aku lakukan adalah hanya menangis di saat keluargaku sedang tersiksa di depan mataku sendiri. Maaf, maafkan aku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kak Anne.. Kak Anne ada di mana? Aku minta maaf. Aku mengira bahwa kita bisa dengan mudah bahagia di tempat ini. Dengan ayah, ibu, Kak Anne, William dan Aldert. Namun ternyata kebahagiaan itu selesai sebelum akhirnya para orang kejam ini membunuh kita.
Suara Aldert yang tadinya terus memanggilku dan Kak Anne menjadi semakin lirih. Adikku.. Aldert.. Mereka membunuhnya. Hingga akhirnya mereka menatapku dengan tatapan tajam. Aku menangis menunduk. Adikku.. Kakakku.. Bastian.. Mereka membunuh semua keluargaku.
Plak!
Sakit. Itu yang kurasakan. Pipiku terasa panas. Berkali-kali orang itu memukulku, menendang kepalaku. Selama menderita, aku berpikir, apa salah kami? Apa dosa kami sehingga kalian membunuh seluruh keluargaku? Salahkah kami adalah seorang anak dari keluarga asing di sini? Kami hanya ingin bahagia tinggal di sini. Selama bertahun-tahun kami tinggal di tanah asing yang indah ini, kami hanya menginginkan kebahagiaan. Tanah asing yang indah ini, aku tak menyangka akan meregang nyawa di tanah yang aku banggakan. Tanah asing yang terus aku kagumi sejak dulu karena keindahannya.
Suara tembakan dari pistol yang ditodongkan padaku terdengar. Sesuatu menembus tubuhku. Rasa sakit terus menjalar dari punggung dan tubuhku. Aku bersandar di pohon beringin tempat kami biasa merayakan pesta. Kepalaku menoleh ke arah adik-adikku. Tubuh lemah itu.. Aku ingin merengkuhnya di pelukanku. Melindungi mereka.
“Will.. Aldert..” Sebelum akhirnya mataku tertutup.
-THE END-
(1) Daerah yang sekarang menjadi Bogor.
(2) Anneke Van Diedrick, kakak Annelies sekaligus anak pertama keluarga Diedrick.
(3) Aku tidak tahu, Annelies. Aku akan terus menjaga kalian. Tidak peduli apakah ayah kembali atau tidak, kita akan tetap bersama.
(4) Bahasa resmi Belanda.
(5) Bolehkah?
(6) Ada noda hitam di pipimu, kau terlihat jelek.
(7) Jika aku tak ingin?
(8) Hari sudah mulai gelap, kalau begitu aku akan masuk ke dalam rumah sekarang.
(9) Mandilah besok agar tidak terlihat jelek saat kita bertemu.
(10) Tidak.. Kita tidak akan mati di sini. Tidak akan mati di sini.
(11) Ada apa ini? Mengapa kalian menangis?
(12) SEKARANG! ELIES! WILL!
(13) Tetap di belakangku!
(14) Ayo! Kita harus keluar dari sini!
(15) Hey! Mereka di sini!
(16) Maafkan aku, kau pergilah dengan William dan Aldert. Aku hanya akan mencelakaimu. Aku menyayangimu, aku mencintaimu, Annelies. Sejak pertama kita bertemu, kau sangat-sangat cantik hingga saking cantiknya, aku selalu memanggilmu jelek. Larilah, Annelies.. Selamatkan adikmu.
(17) Lari secepat mungkin, jangan pernah sekalipun menghadap ke belakang!
(18) Kamu cantik sekali, tapi kamu hanyalah anak dari para penjajah itu.
_____
Kisah ini berlatar di tahun 1946. Dimana masih hangat-hangatnya Indonesia merdeka, banyak dari pribumi membantai kaum-kaum Eropa yang berada di tanah Indonesia.
Kisah ini hanya sekedar fiksi belaka murni imajinasi saya.
Cerpen Bahasa Indonesia Rahmah Khumaira Kinanthi.