Dari Jeruji ke Istana

Berawal dari buronan yang kini sukses menjadi presiden.

2024-11-29 01:10:41 - Indira Vania Zalfaruna

Afrika Selatan 1918. Tahun dimana Marley dilahirkan. Ia ditakdirkan untuk menjadi anak terakhir dari pasangan Hendrick dan Naomi. Pada saat kelahiran Marley, ia hanya disambut oleh ibu, nenek dan kakek, juga saudara-saudara kandungnya. Seperti ada yang kurang. Ya, Hendrick tak bisa datang ke rumah sakit karena alasan pekerjaan. Padahal, Hendrick sudah sangat menunggu momen di mana ia menggendong Marley untuk pertama kalinya. Akhirnya, Hendrick baru bisa melihat putra bungsunya untuk pertama kali setelah tiga hari pascakelahirannya. 

Setelah berumur enam tahun, Marley disekolahkan di sekolah dasar terdekat yang ada di kota tempat kelahirannya, Mvezo. Marley merupakan anak yang tidak akan berbicara jika lawan bicaranya tidak mengajak bicara duluan. Alhasil, Marley hanya mempunyai sedikit teman, itupun tidak benar-benar akrab dengan dirinya. Tapi mau bagaimana lagi, Marley benar-benar sangat pemalu untuk sekedar menyapa walaupun itu teman sekelasnya. Melihat Marley yang begitu pemalu, gurunya berinisiatif memberi nama “Neil” dengan harapan ia bisa lebih percaya diri ke depannya. Nama tersebut diberikan sebagai nama baru yang diperintahkan sekolah untuk memberi nama Kristen kepada setiap anak yang bersekolah di sekolah tersebut.

***

Suatu hari, saat baru pulang sekolah, Neil langsung disuguhkan pemandangan dimana ayahnya sedang sibuk mengemasi baju-bajunya ke dalam koper. 

“Ayah ke mana lagi kali ini? Mengapa Ayah selalu saja meninggalkan kami semua di rumah tanpa Ayah?” tanya Neil dengan sedikit kesal karena ayahnya tidak menjawab dan masih saja sibuk dengan kegiatannya itu.

“Jika tak ada Ayah di rumah, aku selalu merindukan ayah, aku benar-benar kesepian,” ujar Neil dengan sedih. Karena perkataan Neil tersebut, ayahnya langsung berhenti dari kegiatan mengemasnya lalu berjalan mendekat Neil dan sedikit berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Neil.

“Neil, ada anak-anak lain di luar sana yang sedih dan kesepian karena mereka tidak mempunyai ayah yang baik. Ayahmu ini juga harus memikirkan dan menjaga mereka,” jawab Hendrick sembari memegang pundak Neil untuk meyakinkannya. Sebenarnya, Neil tidak tahu apa pekerjaan ayahnya yang sering tidak ada di rumah itu. Tapi kemudian dia sadar, dari jawaban ayahnya tadi membuatnya yakin bahwa ayahnya ini adalah seorang pahlawan. 

Lima hari telah berlalu. Setelah pulang sekolah, Neil dikagetkan oleh ayahnya yang sudah ada di rumah. Bergegaslah Neil berlari kemudian memeluk ayahnya. Saat sedang memeluknya, Neil menyadari bahwa ada yang berbeda pada ayahnya kali ini.

“Ayah mengapa menangis?” tanya Neil sambil mengusap air mata ayahnya.

“Ayah gagal menjaga anak-anak di luar sana,” jelas ayahnya. Setelah insiden itu terjadi, pekerjaan yang membuat Hendrick jarang di rumah itu sudah tidak ada lagi pada dirinya.

“Tidak apa-apa Ayah, Ayah tidak pernah gagal menjadi pahlawan, dengan menjaga dan mengajari Neil menjadi orang baik saja Ayah sudah menjadi pahlawan. Ayah akan selalu menjadi pahlawan bagi Neil,” ucap Neil bangga. Ayahnya pun tersenyum dan langsung membalas pelukan Neil.

***

Semenjak Hendrick kehilangan pekerjaannya, keluarganya pun kemudian pindah ke Qunu, sebuah desa yang terletak di lembah berumput yang terbilang sempit. Sudah seharian Neil berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan yang sangat asing baginya itu. Tetapi setiap ia melihat rumah barunya, membuatnya sedikit rindu dengan tempat tinggalnya yang dulu. Ia pun hanya bisa termenung sembari duduk di bawah pohon yang letaknya tepat di sebelah rumahnya. 

“Siapa kamu? Mengapa aku tidak pernah melihatmu sebelumnya?” renungan Neil tiba-tiba dibuat buyar oleh suara anak laki-laki yang tiba-tiba ada di sampingnya saat ini. 

“Aku baru saja pindah kemarin,” jawab Neil dengan singkat. Oh ayolah, ia sedang sedikit tak bersemangat hari ini. 

“Aku Raymond Saylor, anak kepala desa di sini, kamu bisa memanggilku Raymond,” ucap Raymond sembari mengulurkan tangannya tepat di hadapan Neil.  

“Neil Marley, panggil saja Neil,” jawab Neil dengan membalas uluran tangan tersebut. 

“Oke mulai sekarang kita berteman, ya!” ujar Raymond dengan menarik tangan Neil untuk diajaknya ke taman bermain yang terletak di tengah desa. 

Raymond berhasil membuat tawa Neil yang hilang kembali lagi. Mereka berbagi cerita di taman bermain itu. Raymond bercerita tentang kesehariannya, begitu juga Neil yang menceritakan kehidupannya di Mvezo. Dari ceritanya, Neil mengetahui bahwa Raymond merupakan orang yang jenius. Raymond sangat suka menulis, ia sering menulis cerita. Tidak hanya cerita fiksi saja, Raymond juga sering menulis cerita tentang sejarah, motivasi, dan juga biografi. Setelah menyelesaikan karyanya, ia sering membukukan ceritanya itu. Tak lupa, Neil juga diberi buku karya Raymond Saylor, yang kini menjadi sahabatnya itu.

Neil sering menghabiskan waktu luangnya untuk bermain bersama Raymond, entah itu bermain, menangkap ikan, menggembala, atau berkebun. Ia banyak mendapatkan teman baru di desa tersebut. Neil dan teman-temannya seringkali bermain dengan mainan yang mereka buat sendiri. Mereka membuatnya dari tanah liat yang dibentuk menjadi berbagai macam hewan. Selain itu, mereka menjadikan batu-batu besar yang ada di bukit Qunu menjadi perosotan dengan membuatnya menjadi halus, lalu bergantian meluncur dan menuruni permukaan batu tersebut.

Pada suatu hari, Neil membeli sepotong daging untuk pertama kalinya di pedagang daging yang lewat di depan rumahnya. Setelah mendapatkan daging yang ia mau, ia kemudian membawa daging itu ke sebuah pondok kecil tempat warga desa Qunu berkumpul. Kemudian, ia meminta tolong ke seorang gadis yang ada di sana untuk memasakkan daging itu untuknya. Si gadis menatap Neil kemudian tertawa. 

“Kenapa kamu tertawa?” tanya Neil kepada sang gadis. 

“Daging ini sudah dimasak, mengapa kamu memintaku untuk memasaknya lagi?” jawab sang gadis sembari menahan tawa. 

Ia sedikit malu dan langsung bergegas untuk menceritakannya kepada Raymond dan juga teman-temannya. Dari situlah Neil mulai mendapatkan panggilan “ndeso” dari teman-temannya.

 Selain menghabiskan waktu luangnya untuk bermain, Neil dan teman-temannya juga mendapatkan pendidikan yang setara. Walaupun fasilitas di desa itu sedikit kurang, tapi ia bahagia karena dengan hadirnya teman-temannya, kekurangan tersebut bisa terpenuhi. 

Dari Qunu, Neil menyadari bahwa anak-anak Afrika di sini hidup seperti saudara, bermain-main dengan bebas, berlarian ke sana ke mari, belajar bersama, dan bercanda gurau. Tak ada satupun perselisihan yang ada di antara anak-anak itu. Hingga pada akhirnya orang kulit putih datang ke tanah mereka. Kedatangan mereka menghancurkan semua kedamaian itu. Di mana orang-orang kulit hitam berbagi tanah, udara, dan air dengan orang-orang kulit putih, tetapi orang-orang kulit putih mengambil itu semua untuk diri mereka sendiri. Sejak saat inilah Neil mulai tertarik untuk mengulik lebih dalam lagi terkait sejarah Afrika, tempat kelahirannya. 

***

Tahun 1930. Tahun yang menjadi tahun paling berat untuk Neil. Usianya baru genap 12 tahun namun ia sudah merasakan kepedihan yang mendalam karena ditinggal oleh ayahnya yang mengidap penyakit paru-paru. Sepeninggalan ayahnya, kini Neil diasuh oleh seorang raja yang dulunya diberi nasihat langsung oleh ayahnya. Setelah diadopsi oleh raja, Neil pun dengan berat hati meninggalkan desa Qunu yang baginya sangat menyimpan banyak kenangan.

Raja mengadopsi Neil bukanlah tanpa alasan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk bantuan untuk ayah Neil karena pada tahun sebelumnya, raja telah merekomendasikan ayah Neil untuk menjadi kepala suku. Ia pun harus dipindahkan ke Great Place, tempat tinggal barunya. Sebuah istana megah milik ayah angkatnya yang berbeda 180 derajat dengan tempat tinggalnya sebelumnya. Dengan kemegahan tempat tersebut, Neil justru murung karena lagi-lagi ia harus beradaptasi dengan lingkungan barunya ini.

Berkat jabatan tinggi yang dimiliki oleh ayah angkatnya, ia memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya secara layak. Ia bersekolah tepat di sebelah istana. Di sekolah ini, Neil mulai mendapatkan pelajaran yang tak pernah ia pelajari sebelumnya. Masih dengan ketertarikannya pada sejarah, selepas pulang sekolah Neil tak pernah melewatkan perpustakaan yang kini menjadi zona nyamannya untuk memperdalam buku tentang sejarah Afrika.

***

Tahun demi tahun telah berganti. Kini Neil sudah beranjak remaja, ayahnya memasukkan Neil ke pendidikan layanan sipil. Ia kemudian berkuliah di University of Fort Hare. Pada awal semester, ia mengikuti kelas dengan baik. Ia sangat ingin mendapatkan gelar “Bachelor of Arts” di universitasnya saat ini. Namun lama-kelamaan, ia tak pernah melanjutkan kelasnya karena bergabung dengan aksi protes mahasiswa. Mengetahui hal tersebut, Ayahnya pun geram.

“Jika kamu tak kembali ke Fort Hare, kamu akan Ayah carikan istri,” ucap ayahnya mengancam. Akhirnya, Neil pun berhasil mendapatkan gelar “Bachelor of Arts”. Bukan di Fort Hare, melainkan di University of South Africa. Karena merasa tak puas, akhirnya ia kembali ke Fort Hare untuk melanjutkan kelulusannya.

Setelah menyelesaikan kelulusannya tersebut, Neil kemudian bergabung pada organisasi bawah tanah. Organisasi ini merupakan organisasi rahasia yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh pejuang Afrika pada kala itu. Karena organisasi ini, Neil menjadi sangat jauh dengan keluarganya karena harus berpindah-pindah tempat tinggal. Pada fase ini, Neil lebih suka menyendiri agar ia bisa mendapatkan kesempatan untuk membuat rencana gerakan-gerakan yang akan digunakannya untuk bertahan hidup. 

Setelah larut dalam kesendiriannya, akhirnya Neil menemukan kunci bagaimana gerakan bawah tanah beroperasi. Salah satunya adalah tak menjadi diri sendiri. Contohnya mengubah penampilan, tidak berdiri dengan kondisi yang sama tinggi dengan kondisi normal, dan berbicara dengan suara berbeda. Neil tidak memotong rambutnya. Ia membiarkannya tumbuh panjang. Kini, penampilannya benar-benar sulit dikenali. Ia seringkali menyamar sebagai sopir, koki, maupun tukang kebun, berpindah dari majikan satu ke majikan yang lain.

Saat sedang melakukan penyamarannya, Neil tertangkap basah oleh polisi. Ia kemudian mendapatkan surat penangkapan. Ia pun bersembunyi di tempat yang sekiranya aman. Dan benar saja, polisi tidak pernah menemukan Neil. Setelah mencari di mana-mana, polisi selalu saja pulang dengan tangan kosong. Ia sukses menjadi buronan yang paling dicari selama dua tahun terakhir.

Merasa sudah tak aman, Neil kemudian melakukan perjalanan secara diam-diam mengelilingi seluruh kota. Saat baru saja tiba di kota Johannesburg, ia langsung dikagetkan dengan seorang polisi yang tiba-tiba berjalan ke arahnya. Neil mengamati kanan dan kirinya memastikan apakah ia mempunyai tempat untuk berlari. Namun siapa sangka, polisi yang mendekat tersebut tiba-tiba tersenyum dan mengacungi jempol kanannya ke arah Neil kemudian pergi. 

Sudah berminggu-minggu Neil menetap di Johannesburg, ia masih saja memikirkan siapa polisi yang tersenyum sambil mengacungi jempol ke arahnya itu. Apakah penyamarannya ini benar-benar berhasil? Atau justru polisi tersebut sedang merencanakan penangkapannya? Untuk menyegarkan isi otak Neil, ia pun memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar tempat tinggalnya.

Saat sedang berjalan santai, ia dikagetkan oleh orang yang menabraknya dengan cukup keras dari belakang. Saat ingin marah, Neil mengurungkan niatnya karena menyadari bahwa yang menabraknya adalah polisi yang sedang dipikirkan oleh Neil. Neil panik, ia segera membalikkan badannya dan bersiap untuk lari. Tapi hal tersebut tidak dibiarkan terjadi oleh polisi yang menabraknya. Ia mencengkeram erat pundak Neil tepat sebelum Neil berlari. Neil pun terpaksa menengok ke belakang.

“Anda tidak bisa kabur lagi,” ujar polisi itu sembari tersenyum ke arahnya. Jujur, sampai sekarang Neil masih bingung. Apa yang polisi itu rencanakan kemarin? Mengapa polisi itu tak langsung menangkapnya saat bertemu dengannya kemarin?


***

Pulau Robben tahun 1964. Tahun di mana Neil akan menghabiskan 27 tahun kehidupannya di dalam sel penjara. Ia ditempatkan di sel yang sempit, tak ada kasur dan toilet. Hanya ada ember yang berfungsi sebagai toilet, bahkan ia hanya boleh dibesuk oleh satu orang dalam setahun dan hanya diberi waktu selama 30 menit. Hal ini membuatnya sedikit stress, tapi kemudian ia menyadari bahwa mungkin inilah awalan yang akan membuatnya sadar akan kesalahannya.

Walaupun sedang ada di penjara, Neil tetap menjadi orang yang adil. Ia selalu bertindak jika salah satu rekan tahanannya tidak diberi selimut dan tidak diberi makan hanya karena berbeda warna kulit. Berkat kecerdasan, pesona, dan juga aura pembangkangannya, Neil berhasil menaklukkan semua orang yang ada di penjara itu. Bahkan, petugas penjara sekalipun tunduk padanya. Ia ditunjuk sebagai pemimpin rekan-rekan tahanannya sebagai pemimpin matang yang akan menciptakan demokrasi baru di Afrika Selatan. Sel penjara mengajarinya menjadi orang yang lebih baik lagi daripada sebelumnya.

Setelah dibebaskan dari penjara, Neil segera menyatakan kepada pemerintah bahwa ia siap berkomitmen untuk bekerja menuju perdamaian. Walaupun ditolak karena Neil adalah mantan narapidana, ia terus menghabiskan waktunya untuk merancang rencana agar pemerintah bisa menerimanya. Akhirnya pada tahun 1991, Neil dipilih menjadi presiden Kongres Nasional Afrika. 

Setelah menjadi presiden, Neil bernegosiasi dengan Kevin yang saat itu menjabat di pemerintahan agar menyelenggarakan pemilu multiras pertama di Afrika Selatan. Negosiasinya sering menjurus menjadi ketegangan yang diikuti dengan kekerasan serta perlawanan bersenjata. Mau tidak mau, Neil harus menjaga keseimbangan tekanan politik dan negosiasi yang intens di tengah demonstrasi dan perlawanan bersenjata. 

Akhirnya pada tahun 1993, Neil dan Kevin berdamai untuk pengerjaan mereka terhadap penghapusan apartheid. Keduanya bekerja dengan sangat keras hingga pada 27 April 1994, Afrika Selatan mengadakan pemilu demokratis untuk pertama kalinya. Berkat hal itu, pada tanggal 10 Mei 1994, Neil Marley dikukuhkan menjadi presiden berkulit hitam pertama di Afrika Selatan pada usianya yang ke 77 tahun. Dengan Kevin yang menjadi wakilnya. 

Neil Marley mulai bekerja untuk membawa masa transisi dari pemerintahan apartheid menuju aturan mayoritas kulit hitam. Ia menggunakan antusiasmenya untuk mempromosikan rekonsiliasi antara kulit putih dan kulit hitam. Ia juga mendorong orang kulit hitam untuk mendukung tim nasional Rugby yang awalnya sangat mereka benci. Akhirnya, pada tahun 1995, Afrika Selatan menjadi tuan rumah piala dunia Rugby. Dari peristiwa itu, Neil Marley terus menjadi sumber inspirasi bagi aktivis hak-hak sipil di seluruh dunia karena telah menginspirasi banyak orang bahwa berbeda itu bukanlah masalah. 

More Posts