Di Balik Masker
Di balik kesedihan dan kesulitan, dia menemukan kekuatan untuk terus melangkah demi anaknya.
2024-11-26 09:02:27 - Abeladyaa
Di awal tahun 2020, Indonesia mulai merasakan dampak dari pandemi Covid-19. Berita tentang virus terus saja menyebar luas dan menimbulkan rasa cemas serta panik bagi masyarakat. Rina, merupakan seorang perawat di rumah sakit, dia merasa terpanggil untuk membantu, meskipun dia juga tahu risiko apa yang akan dia hadapi untuk ke depannya. Sebagai ibu dan orang tua tunggal, dia harus berjuang dan memiliki tanggung jawab yang besar terhadap kesehatan maupun keselamatan anaknya yang berusia tujuh tahun.
Rina adalah sosok ibu yang kuat dan berdedikasi. Saat di rumah ia selalu mengingatkan kepada sang anak betapa pentingnya untuk menggunakan masker dan menjaga jarak. Dita yang masih kecil merasa bingung dan kesepian karena tidak memiliki teman untuk bermain, sedangkan ibunya selalu berusaha sekuat tenaga untuk memberikan semangat kepada sang anak ketika berpamitan untuk pergi bekerja.
Setiap hari di rumah sakit menjadi tantangan baru. Rina bekerja berjam-jam di dalam rumah sakit dengan keadaan yang benar-benar menguras tenaga, sedangkan masih banyak pasien Covid-19 yang membutuhkan perawatan intensif. Keterbatasan alat pelindung medis yang tersedia membuatnya rentan. Di sisi lain, dia tidak bisa mengabaikan rasa khawatir akan kesehatan Dita ketika dia pulang ke rumah. Rina tetap berusaha menjaga jarak dan menerapkan protokol kesehatan, tapi perasaan cemas selalu menghantuinya.
Ditengah kesulitan, Rina menemukan kekuatan dalam komunitasnya. Dia ikut bergabung dengan rekan-rekannya dalam rangka membagikan makanan dan bantuan kepada tenaga medis dan warga masyarakat yang terdampak. Rina merasakan kehangatan dan solidaritas di antara mereka yang sebelumnya belum terasa sehingga memberikan atau menumbuhkan semangat baru.
***
Pada suatu malam, setelah seharian bekerja keras, Rina menemukan anaknya yang sedang duduk di lantai dengan dikelilingi mainan yang berserakan tidak terpakai. Rina melihat anaknya tampak seperti orang lelah dan putus asa. Rina duduk di sampingnya dan merangkul pundak sang anak, “Sayang, kenapa kamu tidak bermain di luar? Ibu sudah bilang, walaupun kita harus menjaga jarak, kamu tetap bisa bermain sendiri.”
Dita menatap mata sang ibu dengan penuh harap, “Tapi Bu, aku rindu teman-temanku. Aku ingin bermain bersama dengan mereka, bukan sendirian.”
Rina merasakan hatinya hancur ketika sang anak mengatakan seperti itu, dia tahu betapa sulitnya bagi Dita menjalani masa-masa sulit ini, “Iya, sayang. Ibu juga rindu melihat kamu bermain dengan teman-temanmu. Tapi, kita harus bersabar, kita akan melewati ini bersama-sama dan ibu yakin setelah semuanya kembali normal kita semua bisa bermain sepuasnya seperti sedia kala, sayang.”
Setelah mengatakan itu kepada anaknya, Rina tahu bahwa kata-kata tersebut tidak cukup untuk menenangkan hati sang anak. Dia merasa terjebak dalam dua dunia. Di satu sisi, dia adalah seorang perawat yang berjuang di garis terdepan, dan di sisi lain, dia adalah seorang ibu yang mengkhawatirkan akan kesehatan dan keselamatan anaknya.
***
Di tempat kerja, rintangan demi rintangan datang silih berganti. Rina berusaha keras untuk memberikan perawatan yang terbaik kepada pasien yang dirawatnya, tapi saat dia melihat pasien yang terbaring lemah, hatinya bergetar. Dia mengingat sahabatnya, Mentari, yang juga bekerja sebagai seorang perawat di rumah sakit yang sama dengannya. Mereka telah lama bersahabat, jadi mereka berdua telah melewati banyak hal bersama dari saling berbagi cerita, memahami satu sama lain dan yang paling penting sekarang adalah saling menguatkan di tengah kesulitan.
Pada suatu sore, setelah lelah seharian bekerja, dia mendengar kabar yang membuat hatinya hancur. Mentari, sahabat sekaligus rekan kerjanya, terinfeksi virus dan harus dirawat di rumah sakit. Rina merasa dunia di sekelilingnya runtuh. Rina tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya tanpa ada sahabatnya yang selalu ada untuk dia, baik di dalam maupun luar pekerjaan.
Rina langsung mengunjungi ruangan sahabatnya itu. Dia ingin memastikan bahwa berita yang didengarnya itu memang benar atau tidak. Saat sampai di ruangannya, Rina langsung menangis dalam diam melihat sahabatnya terbaring lemah di kasur brankar rumah sakit. Dia ingin memeluk sahabatnya, tetapi dia juga ingat, bahwa dia juga harus menjaga kesehatannya untuk sang anak yang selalu menunggu kedatangannya untuk pulang ke rumah.
Saat Rina ingin keluar, dia merasa ada yang memanggilnya dari arah belakang, benar saja, ternyata sahabatnya telah siuman. Mentari tampak ingin mengatakan sesuatu, Rina pun akhirnya kembali mendekat ke arah sisi brankar tersebut. Sebelum mengatakan sesuatu Mentari tersenyum manis untuk sahabatnya, dan dari senyuman tersebut Rina seperti dapat mengartikan dari senyumannya itu bahwa dia baik-baik saja.
“Rin, aku ingin kamu tetap menjadi sahabatku selamanya, aku ingin kamu selalu mengingatku sebagai sahabat terbaikmu, tapi jika memang umurku sudah tidak lama lagi, aku akan selalu melihat dan mendampingimu dari atas sana.” saat mengucapkan kalimat ini Mentari tidak pernah melepas senyumannya.
Rina tidak kuat dengan apa yang telah dikatakan oleh sahabatnya itu, dia pun membalas, “Akupun ingin selalu bersamamu dan menghabiskan waktu bersama seperti dulu, Tar. Tapi ingat jangan pernah sekalipun kamu untuk mengatakan hal itu karena kematian hanyalah Tuhan yang tahu.”
Rina berusaha menahan air matanya supaya tidak turun di saat itu juga. Mentari pun tersenyum dengan sangat lembut dan manis saat melihat sahabatnya itu, sehingga membuat Rina tak sadar meneteskan air matanya.
“Rin aku ingin berpesan kepadamu, jika suatu saat nanti aku sudah tidak ada di sampingmu lagi, kamu jangan lama-lama sedihnya ya, karena aku ingin kamu tetap menjadi wanita kuat yang pernah aku kenal. Jadilah perawat sekaligus ibu yang kuat untuk pasien-pasienmu dan Dita yang selalu menantimu di rumah.” itu kalimat terakhir yang diucapkan Mentari sebelum Rina meninggalkan ruangannya. Di saat itu Rina tidak sanggup mengucapkan kata-kata lagi, dia menjawab pesan sahabatnya itu dengan menganggukkan kepalanya dan tersenyum manis ke arah sahabatnya. Setelah itu, dia pamit keluar karena sudah malam dan jam kerjanya pun sudah selesai.
***
Malam hari, setelah pulang dari rumah sakit, dia menemukan Dita sudah tertidur pulas. Di sampingnya, ada gambar yang dia buat, sebuah gambar keluarga yang bahagia, dengan Rina dan Dita yang sedang berpegangan tangan di pantai. Melihat gambar tersebut, air mata Rina menetes. Dia merasa bersalah karena belum bisa memberikan kebahagiaan yang layak untuk anaknya.
Keesokan harinya, Rina menerima kabar duka. Mentari, sahabatnya telah meninggal dunia. Rasa kehilangan itu seperti badai yang menghantam jiwanya. Rina merasa terpuruk, tetapi dia ingat pesan sahabatnya kemarin, bahwa dia harus tetap kuat untuk orang-orang di sekitarnya. Dia teringat semua kenangan indah yang mereka bagi, semua tawa dan dukungan yang Mentari berikan. Rina bertekad untuk menghormati sahabatnya dengan terus berjuang dan membantu orang lain.
***
Setiap pagi, Rina mengenakan seragam perawatnya dengan penuh semangat. Meskipun setelah kematian sang sahabat, dia tetap harus bangkit dari keterpurukan dan menjalani kehidupannya seperti biasa. Hari-hari Rina di rumah sakit semakin menegangkan. Rina bekerja tanpa henti, berhadapan dengan pasien-pasien yang terinfeksi virus. Setiap kali dia mengenakan masker bedah yang menutupi setengah wajahnya, dia merasa seolah-olah dia sedang menyembunyikan lebih dari sekedar wajahnya. Dia tahu ada tanggung jawab besar yang harus diembannya. Ketika dia menatap cermin, dia tidak hanya melihat dirinya sendiri, tetapi dia juga melihat Dita, putrinya yang menunggu dengan tatapan penuh harap. Di samping itu semua, dia menyembunyikan rasa takut, kelelahan, dan kerinduan kebersamaan dengan putrinya itu.
Hari-hari berlalu, dan Rina terus berjuang di rumah sakit. Setiap kali dia pulang, dia berusaha membawa keceriaan untuk putrinya, meskipun beban di pundaknya terasa semakin berat. Suatu malam, saat Rina pulang, dia melihat Dita sedang duduk di meja belajar, menggambar sesuatu dengan serius.
“Ibu, lihat!” Dita mengangkat gambarnya. Itu adalah gambar seorang perawat dengan masker, lengkap dengan jubah APD dan stethoscope. “Ini Ibu, kan? Pahlawan!!”
Rina terharu. “Iya, sayang. Tapi pahlawan sejati sebenarnya adalah kamu. Kamu berani dan kuat menghadapi ini semua.”
Dita tersenyum lebar, dan Rina merasa seolah-olah semua pengorbanan dan rasa lelahnya terbayar. Mereka berpelukan, dan Rina berjanji dalam hati untuk terus berjuang demi Dita dan semua anak-anak yang merindukan kebebasan mereka untuk bermain bersama seperti sedia kala.
***
Suatu pagi yang cerah, di mana Rina belum berangkat bekerja, karena mendapat shift siang dan pada akhirnya dia memutuskan untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan bersama sang anak. Mereka melakukan banyak hal pada pagi hari itu, mulai dari olahraga pagi di halaman rumah, membuat kue bersama, dan menggambar. Mereka tertawa dan berbagi cerita bersama. Rina merasakan suatu kebahagiaan yang telah lama hilang.
Tiba-tiba, di tengah kebersamaan Rina dan sang anak, dia teringat pesan yang pernah diberikan Mentari, “Kita tidak sendirian, Rina. Aku akan selalu ada dan melihatmu dari jauh meskipun kamu tidak melihatku.”
Dalam sekejap, kesadaran baru muncul dalam benaknya. Dia menyadari bahwa meskipun dunia terasa gelap, dia masih memiliki Dita, dan harus berjuang untuk mereka berdua.
***
Hingga saat ini, Rina masih aktif dalam komunitas yang diikutinya. Dia juga masih sering menyempatkan waktu di saat jam istirahatnya untuk bergabung dan turut serta dalam upaya berbagi kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan. Dia merasa lebih kuat ketika berkumpul bersama. Tak lupa, mereka semua juga saling memberi dukungan, dan hal yang paling penting adalah mereka berjuang bersama-sama.
Akhirnya, Rina menyadari bahwa meskipun pandemi ini mengubah banyak hal, solidaritas dan harapan adalah kunci mereka untuk bertahan. Dia belajar bahwa dalam kesulitan, ada kekuatan di dalam kebersamaan. Rina akan tetap menjadi ibu yang selalu ada untuk sang anak, meskipun dia juga harus berjuang sebagai perawat untuk pasien-pasiennya, tetapi hal itu tidak akan membuat hubungannya dengan sang anak merenggang, sebisa mungkin jika ada waktu dia akan menghabiskan waktu bersama putri tercintanya, Dita. Rina juga akan selalu berpikir optimis tentang masa depan yang akan terjadi esok.
Di balik masker yang kita gunakan pada waktu itu ada sebuah cinta, dukungan, dan harapan yang tak pernah padam dari semua orang yang terjebak dalam masa-masa sulit saat pandemi Covid-19. Mari kita saling menguatkan, karena bersama-sama, kita pasti bisa melewati segala tantangan yang ada di depan.