Di Ujung Jalan
2025-10-22 13:11:36 - Fanyl
Hujan mengguyur deras, menyiram jalan yang sepi. Aku, Dian, berdiri di halte bis yang sudah tua, menunggu bis terakhir yang seharusnya datang sepuluh menit lalu. Jam di ponselku menunjukkan pukul 22:30. Sudah terlambat, tapi aku tidak punya pilihan. Rumahku masih dua kilometer dari sini, dan jalan gelap gelita.
"Mungkin busnya mogok," gumamku sambil memandang jalan yang kosong. Tiba-tiba, ada lampu mobil yang menyala dari jauh. Aku harap itu bus, tapi ketika mobil mendekat, ternyata itu mobil pribadi. Mobil itu melambat di dekatku. Jendela terbuka, dan seorang pria paruh baya dengan senyuman ramah menengok keluar.
"Nak, hujan deras begini. Mau saya antar?" tawarnya.
Aku ragu.
Sejak kecil, ibu selalu mengingatkan aku jangan menerima tawaran naik mobil dari orang asing. Tapi hujan semakin deras, dan aku kedinginan. "Terima kasih, Pak. Tapi aku baik-baik saja," jawabku sambil berusaha tersenyum.
Pria itu mengangguk, tapi tidak pergi.
"Aku tinggal di ujung jalan itu. Rumahku terang, Nak. Kamu bisa istirahat sejenak, minum teh hangat. Tidak usah takut," katanya sambil menunjuk ke depan.
Aku menatap ke arah yang ditunjuknya.
Memang, di ujung jalan, ada rumah dengan lampu yang menyala terang. Hujan dan angin membuatku lebih kedinginan. "Baiklah, Pak. Terima kasih," kataku akhirnya, membuka pintu mobil.
Pria itu mengemudikan mobilnya dengan pelan.
Di dalam mobil, aku lihat foto keluarga di dashboard. Seorang wanita dan dua anak kecil tersenyum bahagia. "Itu keluarga Bapak?" tanyaku mencoba mencairkan suasana.
Ia mengangguk.
"Iya, Nak. Istri dan dua anakku. Mereka sudah tidur sekarang," jawabnya.
Kami tiba di rumahnya.
Rumah itu terlihat hangat dan nyaman. Pria itu mengajakku masuk, menawarkan handuk dan secangkir teh panas. Aku duduk di ruang tamu sambil memegang cangkir teh yang menghangatkan tanganku. "Pak, kenapa Bapak baik sekali pada orang asing?" tanyaku penasaran.
Pria itu tersenyum.
"Dulu, aku juga pernah terjebak hujan seperti ini. Seorang kakek baik menolongku. Sekarang, aku hanya ingin melakukan hal yang sama," katanya.
Aku merasa lega.
Mungkin dunia ini masih ada orang baik. Setelah teh habis, pria itu menawarkan untuk mengantarkanku pulang. "Tidak usah, Pak. Aku bisa jalan kaki dari sini," jawabku, tidak ingin merepotkannya lagi.
"Tidak masalah, Nak. Jalanan gelap, dan hujan masih turun," katanya dengan lembut.
Aku menerima tawarannya.
Di perjalanan pulang, pria itu bercerita tentang keluarganya, tentang bagaimana ia berusaha menjadi ayah dan suami yang baik. Aku mendengarkan, merasa hangat di hati.
Saat aku tiba di depan rumah, aku berterima kasih padanya.
"Pak, aku sangat berterima kasih. Semoga Bapak dan keluarga selalu bahagia," kataku dengan tulus.
Pria itu tersenyum.
"Kamu juga, Nak. Jangan lupa, kebaikan itu seperti lingkaran. Kita memberi, dan suatu saat, kita akan menerima kembali," katanya sebelum pergi.
Aku masuk ke dalam rumah, masih merasa hangat karena kebaikan pria itu. Esok harinya, aku baca berita di koran lokal. Seorang pria paruh baya meninggal dunia akibat serangan jantung semalam. Ia ditemukan di dalam mobilnya, tepat di ujung jalan tempat aku bertemu dengannya.