DIBALIK PAGAR ASRAMA
..........
2025-10-16 02:48:25 - Arjunassee
DIBALIK PAGAR ASRAMA
Asrama putra dan putri dipisahkan oleh hamparan lapangan terbuka, sebuah batas fisik yang diwajibkan oleh aturan. Interaksi tatap muka hanya diperbolehkan pada momen-momen tertentu, seperti jadwal kunjungan resmi.
Malam itu, Bima, seorang siswa baru yang sedang berjuang dengan beban tugas dan sistem mentor yang rumit, mencari petunjuk di media sosial resmi angkatannya. Perhatiannya tertuju pada Kirana, nama yang berulang kali memberikan pertanyaan-pertanyaan bernas di kolom komentar.
Bima pun memberanikan diri mengirimkan pesan pribadi.
Bima: (21:05) "Selamat malam, Kirana. Saya Bima dari kamar A-03. Maaf mengganggu jam istirahat. Saya mengamati keaktifanmu di forum angkatan. Apakah informasi mengenai format tugas 'Sejarah Perkembangan Mataram' yang harus dua spasi itu sudah pasti? Ada perbedaan pendapat di kelompok kami."
Kirana: (21:07) "Halo Bima dari P-12. Sama sekali tidak mengganggu. Tugas itu memang menuai banyak interpretasi. Kebetulan, ibu saya memiliki latar belakang dosen sejarah; beliau menyarankan untuk mengikuti instruksi mentor, namun pastikan menyertakan keterangan format tersebut sebagai catatan kaki."
Dari koordinasi teknis yang mendesak, komunikasi mereka berkembang. Kotak masuk Instagram menjadi area netral tempat mereka mendiskusikan segala hal—mulai dari strategi menghindari sanksi disiplin, perbandingan jadwal piket yang melelahkan, hingga masalah logistik umum asrama.
Kejutan manis datang saat jam besuk. Ibu Bima, saat menyerahkan bekal, berbisik, "Ibu mendapat cerita dari Ibunya Kirana, dia anak yang sangat teliti. Kabarnya dia banyak membantumu memahami materi Fisika itu, ya? Ibu sangat menghargai kamu menjalin pertemanan yang fokus pada hal positif. Pertahankan relasi baik ini, Nak."
Bima terperangah. Ternyata, dua ibu yang hanya bertemu singkat di acara wali murid telah menjalin kontak dan secara aktif mendukung kedekatan akademis anak-anak mereka. Restu tak terucap ini menjadi fondasi kuat.
Dukungan Kirana terwujud dalam bentuk rangkuman materi yang terorganisir, dan Bima membalasnya dengan kiat-kiat menghafal cepat. Obrolan mereka pun melunak, dihiasi humor tentang makanan kantin dan tingkah laku mentor yang unik. Waktu antara pukul 21:00 hingga 22:00, menjelang silent hours, menjadi ritual harian yang dinantikan.
Kirana: (21:35) "Baru selesai mengurus segala berkas kelompok. Energi sudah terkuras."
Bima: (21:38) "Saya baru selesai giliran jaga malam. Pastikan kamu minum sesuatu yang hangat. Ibu saya selalu menekankan, kesehatan harus diutamakan di atas deadline. Besok kita susun lagi poin-poin penting untuk presentasi angkatan."
Mereka tak pernah berhadapan langsung di luar konteks formal. Identitas mereka sebagian besar dibangun dari teks yang terkirim dan unggahan sekilas. Namun, melalui tulisan di layar, mereka menemukan kedekatan emosional yang luwes, sesuatu yang langka di lingkungan asrama yang sangat terstruktur.
Setiap dorongan, setiap perhatian kecil yang mereka bagi melalui jaringan digital terasa lebih substansial daripada sekadar solidaritas angkatan. Mereka menemukan belahan jiwa yang menjadikan tantangan asrama terasa utuh dan bermakna. Ini bukan lagi sekadar hubungan pertemanan biasa, melainkan keterikatan mendalam yang diperkuat oleh rasa saling menghargai dan didorong oleh restu tulus dari ibu mereka.
Kedua ibu mereka mungkin hanya menganggapnya sebagai "kolaborasi tim yang efektif," namun bagi Bima dan Kirana, kotak pesan itu adalah tempat rahasia di mana mereka mulai merajut masa depan yang berarti, satu pemikiran yang terkirim pada satu waktu.
Sejak pertukaran pesan menjadi rutinitas, Bima dan Kirana menyadari ada benang merah dalam pandangan hidup mereka: ketakutan, cita-cita, bahkan cara mereka menghargai hal-hal kecil di kehidupan asrama tampak sinkron.
Saat Bima mengirim pesan tentang kegagalannya dalam seleksi tim debat internal, Kirana memberikan respons yang mengena.
Bima: (21:15) "Gugur di tahap wawancara. Padahal Ibu selalu berharap saya punya mental kepemimpinan yang kuat."
Kirana: (21:18) "Itu bukan kegagalan. Itu penemuan jalur baru untuk memimpin. Ibu saya pernah mengalami hal yang sama saat gagal olimpiade. Beliau bilang, 'Peta menuju tujuan tidak pernah lurus, Kirana. Carilah pendamping yang arah jalannya paralel denganmu, agar kamu tidak merasa sendirian.'"
Bima merenungkan pesan itu. Kata-kata Kirana, yang ternyata berasal dari ibunya, terasa sangat personal.
Giliran Kirana yang menyampaikan kegelisahannya beberapa hari kemudian—pergolakan antara minatnya pada kedokteran dan desakan ayahnya agar ia memilih hukum.
Kirana: (21:40) "Ayah sangat ingin saya menjadi advokat ulung. Tapi keinginan hati saya murni ingin mengabdi di dunia medis. Saya merasa bersalah pada Ayah, tapi saya takut jika saya memilih setengah hati."
Bima: (21:43) "Saya benar-benar bisa merasakan dilemamu. Tapi ingatlah nasihat Ibu saya: 'Hormati saran orang tua, tetapi ikuti kompas batinmu. Kompas itu selalu menunjuk ke tempat di mana potensi terbaikmu akan tercurah.'"
Kirana mengirim balasan dengan lambang keterkejutan. Kalimat itu persis pernah ia dengar dari Ibu Bima di sebuah acara asrama. Kedua ibu, yang hanya bertegur sapa di gerbang, ternyata telah mewariskan hikmah hidup yang identik.
Melalui untaian nasihat bijak dari ibu mereka yang terjalin tanpa disengaja, Bima dan Kirana merasakan keakraban yang melampaui waktu perkenalan mereka. Mereka menemukan bahwa mereka adalah dua individu yang dibesarkan di bawah visi yang sama, didukung oleh dua sosok ibu yang memiliki satu harapan terpenting: anak-anak mereka menemukan rekan yang dapat menjadi jangkar emosional di tengah badai tuntutan.
Di bawah pengawasan asrama yang kaku, dan melalui cahaya layar ponsel yang samar, mereka telah mengukir sebuah ikrar yang tak terucapkan. Sebuah janji untuk menjadi sumber penerangan di akhir setiap hari, sebuah janji yang disetujui, sejak awal, oleh dua ibu yang menunggu di balik dua gerbang asrama yang berbeda.
Disclaimer: cerita ini adalah cerita yang bersifat fiksi atau khayalan, cerita yang tidak benar-benar terjadi.