Part 2
Baca Dong
2025-09-03 01:35:11 - ラフィーにはフレイヤがいる🤙😝
Suara mereka hilang. Pintu kayu itu tertutup rapat. Lorong kembali sunyi.
Di dalam kamar, Juny menyalakan senter dari HP-nya. Cahaya itu memantul ke dinding, tapi bayangan tadi... masih ada. Diam. Tidak bergerak.
“Pie... itu bayangan siapa?” bisik Juny.
Apie menelan ludah, “Nggak tahu. Tapi kita sendirian, kan?”
Tiba-tiba, senter Juny mati. Gelap total.
Dari sudut kamar, terdengar suara berbisik. Pelan. Seperti suara anak kecil, "Main... sama aku..."
Juny mundur. Apie meraba dinding, mencari saklar. Tapi tidak ada.
Lalu, lampu kamar menyala sendiri. Sekejap. Dan mereka melihatnya.
Di pojok kamar, berdiri sosok kecil. Seragam sekolah. Wajahnya kabur, seperti tertutup kabut. Tapi matanya... merah menyala.
“Keluar, Pie! Sekarang!” teriak Juny.
Mereka berlari ke pintu. Tapi gagangnya hilang. Pintu kayu itu tak bisa dibuka.
Sosok itu mendekat. Langkahnya pelan, tapi lorong terasa bergetar.
Apie menendang pintu. Juny memukulnya dengan tas. Tiba-tiba... pintu terbuka sendiri.
Mereka terlempar keluar. Napas terengah. Pintu menutup pelan di belakang mereka.
Dan angka 0 di pintu... menghilang.
Keesokan harinya, kamar itu sudah tidak ada. Lorong itu jadi tembok polos. Tidak ada bekas pintu. Tidak ada angka.
Apie dan Juny saling menatap, “Jadi... kita masuk ke mana semalam?”
Juny hanya menjawab pelan, “Mungkin bukan kamar... mungkin itu portal.”
Hari-hari berikutnya terasa aneh. Apie dan Juny tidak bisa tidur nyenyak. Setiap malam, mereka mendengar suara langkah kaki di lorong, padahal tidak ada siapapun. Kadang terdengar suara ketukan... dari dalam tembok.
Di perpustakaan sekolah, Juny menemukan buku tua berjudul “Arsitektur Asrama dan Ruang Terlarang”. Di halaman terakhir, ada sketsa denah bangunan lama. Di pojok kanan bawah... ada satu ruangan tanpa label. Tepat di tempat Kamar 0 pernah berdiri.
“Pie, lihat ini. Bangunan kita dulu punya ruang tambahan. Tapi sekarang... udah dihapus dari semua denah baru,” kata Juny sambil menunjukkan sketsa.
Apie mengernyit. “Berarti kamar itu... bukan cuma mitos?”
Nomor tak dikenal. Suara di ujung sana pelan, seperti berbisik.
“Kalian sudah melihatnya. Tapi belum mendengarnya... sepenuhnya.”
Lalu telepon mati. Tidak bisa dihubungi balik.
Saat mereka lewat lorong itu lagi, tembok yang tadinya polos... kini retak. Dari celahnya, keluar angin dingin. Seperti mengundang.
“Jun, kita harus balik ke sana. Tapi kali ini... kita bawa sesuatu,” kata Apie sambil mengeluarkan kamera infrared dan perekam suara dari tasnya.
Mereka menempelkan mikrofon ke tembok. Diam. Lalu... terdengar suara dari rekaman:
“Aku dulu tinggal di sini. Tapi mereka menghapusku. Aku masih di sini. Aku belum selesai bermain.”
Juny gemetar, “Pie... ini bukan cuma portal. Ini... penjara.”
Saat mereka memperlambat rekaman, terdengar satu nama: “Raka.”
Apie terdiam, “Raka... itu nama siswa yang hilang lima tahun lalu. Katanya kabur dari asrama. Tapi nggak pernah ditemukan.”
Juny menatap tembok retak itu. “Mungkin... dia nggak pernah keluar.”
Malam berikutnya, di bawah cahaya bulan, tembok itu terbuka sedikit. Di dalamnya... terlihat lorong lain. Gelap. Panjang. Dan di ujungnya... ada pintu kayu. Kali ini, bukan angka 0. Tapi simbol jam pasir.
Dan suara itu kembali.
“Waktunya hampir habis. Main... sama aku... sebelum semuanya terlambat.”