Seberkas Sinar Harapan

Special 20th POST on our lovely library "GIGA MIBS"

2025-02-04 06:36:40 - M. Rifkyy

logo


Di suatu sore yang sendu,

       “Assalamualaikum!”

Seperti biasa, terdengar suara derap kaki kencang memasuki rumah.

“Ridwan! Mau berapa kali diingatkan kau? Jangan lari-lari di dalam rumah, dan oi, lihatlah, kotor sekali kaki kau itu, pergi main ke mana saja kau hah?!”

          Sama sekali tanpa pikir panjang dan tak merasa bersalah, aku membalas dengan santai, “Salamnya dijawab dulu dong, Mak.” Sambil bersungut-sungut, Mamak menjawab, “Waalaikumsalam.” Dan hebatnya mamak, tanpa perlu mengambil satu tarikan nafas lagi, kata-kata yang panjang dan lebar khasnya itu keluar bak peluru ditembakkan bertubi-tubi.

       “Oi! Kau jangan masuk kamar lagi, pergi mandi sana, lalu bersihkan jejak kakimu di lantai yang bekas kau injak itu! Pokoknya sampai bersih! Dan kenapa pula kau baru pulang main setelah adzan, berkali-kali diingatkan, masih bebal juga. Kau itu sudah remaja, tidak perlu diomeli terus setiap hari. Mau kau mamak hukum seminggu tidak boleh keluar rumah?!” 

        Hei! Aku kesal dan tak habis pikir, siapa pula yang bermain tadi, aku membantu warga kampung sebelah membereskan barang-barang dan tenda setelah acara pernikahan tetanggaku tadi siang. Tetapi sering kali, semakin ucapannya dibalas, semakin panjang pula urusan. Jadi tanpa banyak bicara, aku memutuskan untuk langsung menuju kamar mandi. 

        Lepas mandi aku langsung pamit menuju masjid. Sampai disana, sudah rakaat kedua. Selesai shalat magrib, aku dan teman-teman mengaji dengan Kiai Ahmad, salah satu guru mengaji kami di sana. Usianya sudah sepuh, sekitar 70 tahun. Beliau sudah puluhan tahun menjadi imam tetap masjid agung itu. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa semua orang dewasa di kampung adalah mantan murid mengaji beliau, termasuk bapak dan mamakku yang juga pernah menjadi murid mengajinya 20 tahun yang lalu.

          Sebenarnya beliau punya kesempatan besar untuk menjadi imam besar di Masjid Istiqlal atau masjid-masjid agung lainnya di kota-kota besar. Tetapi pribadinya yang memang sangat sederhana dan rendah hati membuatnya kukuh untuk mengabdi di masjid tercinta kami ini. Tak ada warga kampung yang berani membantah dan menentang perkataannya. Beliaulah orang nomor satu di kampung bahkan kota kami, bukan camat, bukan kepala desa, bukan pula yang lainnya. 

          Hari ini pelajaran mengaji berjalan lebih cepat dari biasanya. Karena Mamak tidak pernah mengizinkanku main di luar malam-malam, aku langsung pulang ke rumah. Setiba aku di rumah, ternyata Bapak ada di sana. Ini kejutan yang menyenangkan, tidak biasanya Bapak pulang dari lokasi sebulan sekali, paling cepat dua bulan atau tiga bulan sekali. 

Assalamualaikum, Pak. Waduh, tumben nih pulang cepat.” Aku riang menyapa Bapak.

Waalaikumsalam, Ridwan. Pastilah itu, mana mungkin hari pertama puasa Bapak di kantor.”

      Oh iya, lusa kan sudah mulai puasa Ramadan..

“Wahh, berarti besok bisa..”

“Tidak boleh!” Itu jelas bukan suara Bapak.

“Kau di rumah saja seharian besok, belajar! Sudah tau dua bulan lagi ada SMPB, SPBM, atau apalah itu namanya. Kalau perlu Mamak panggilkan guru, atau kirim kau ke kota kabupaten sana agar bisa belajar dengan serius.” 

“Ayolah, Mak. Sebentar hanya besok saja.” Aku tahu bujukan ini tidak akan ada gunanya.

“Kau bebal sekali, Ridwan! Sudah seharian ini bikin onar di rumah, masih saja tak tau malu.  Sudahlah, cepat makan sana. Dan kau, jangan pula meladeni obrolannya sebelum dia menyelesaikan semua tugas-tugasnya.” Benar kan, Bahkan Bapak yang dari tadi hanya menyimak percakapan pun ikut-ikutan jadi tersangka. 

        Dengan perasaan sebal bercampur kesal, aku langsung cepat-cepat ke dapur dan makan. Tak sampai 5 menit, aku sudah selesai makan dan pergi ke kamar. Belajar? Tentu saja tidak. Aku hanya berbaring menatap perahu otok-otok buatanku sendiri di atas meja. Pikiranku membayangkan segala hal, mulai dari keinginan untuk jalan-jalan ke alun-alun kota bersama bapak besok, ancaman mamak yang serius, suasana di bulan puasa nanti, hingga pergi ke ibu kota untuk mengikuti SPMB.  

    Di tengah lamunanku yang semakin melantur ke mana-mana, sayup-sayup aku mendengar percakapan Bapak dan Mamak di ruang tengah.

       “Mengapa kau begitu sensitif dengan Ridwan, Dik?” Sambil tersenyum, Bapak bertanya. Mamak menghela nafas, “Bagaimana tidak, Bang. Cobalah Abang pikir sendiri. Aih, dia itu mentang-mentang sekolah memberi liburan awal puasa, siang malam main saja kerjanya. Sudah tau empat bulan lagi ada ujian seleksi mahasiswa baru itu. Dia itu sudah 17 tahun, harusnya mengerti disiplin dan tanggung jawab diri sendiri. Apa dia tak tahu untuk pergi ke ibu kota itu saja mengeluarkan biaya yang tidak sedikit? Ranking satu di sekolah, tapi pikiran masih saja sempit.”

         Kening Bapak berkerut sejenak, lalu berkata pelan, “Hmm, bisa saja anak itu kelelahan, salah satu faktornya mungkin karena terlalu banyak beban pikiran dan tekanan yang harus dia terima. Kau seharusnya mengerti akan hal itu, maklumilah perasaannya. Coba kau bayangkan, masa kita dulu kuliah hanya untuk orang-orang pintar dan kaya. Seperti kau itulah, selalu nomor satu di kelas, dan hasilnya? Diterima di kampus top provinsi. Sedangkan aku? Hanya seorang tamatan Sekolah Rakyat. Aku pikir sudah banyak sekali perjuangan yang dilakukan Ridwan untuk dirinya dan keluarganya sendiri. Dan di atas segalanya, dia anak yang jujur, bukan?”

 Mamak terdiam, lalu berkata lagi, “Ya, tampan pula. Tak seperti kau.” 

“Enak saja!” Bapak nyengir, pura-pura tak terima.

Hening sejenak percakapan mereka berdua. Hingga perlahan suara Bapak terdengar kembali, “Apa kau juga tidak akan mengizinkannya menyaksikan layar tancap? Menonton pemain idolanya bermain nanti?”

“Piala Dunia itu maksud kau? Tentu saja, itu bisa mengganggu konsentrasi belajarnya. Apa susahnya menonton siaran ulang setelah ujian itu selesai?”

“Ya ampun, itu berlebihan, Dik.” 

“Itulah yang terbaik untuknya. Aku tidak mau sisa gaji yang sudah kau tabung bertahun-tahun digunakan hanya untuk melihat anak semata wayang kita tidak lolos ujian seleksi di ibu kota.” Terdengar suara kursi bergeser, mungkin diluar Mamak telah berdiri, pertanda keputusan sudah bulat dan tidak ada pembicaraan serta tawar-menawar lagi.

Aku menghela nafas perlahan.

Malam itu, aku memikirkan banyak hal. Malam itu, aku tak bisa tidur.


****


        “Ridwan, tunggu!” Ariel, teman satu mejaku itu memanggil. “Cepatlah, Ril. Kita dah telat.” Aku menggeleng-geleng. Kebiasaannya yang selalu lemot dari dulu tidak pernah berubah. Sejurus kemudian, kami sampai di tempat les matematika dekat sekolah. Tiba di kelas, langsung terdengar suara lantang, “Kalian lagi, kalian lagi. Mengapa hampir tiap pertemuan kalian selalu telat, hah? Ada yang ketinggalan lagi?” 

        Teman-teman satu kelas menahan tawa. Maklum, Pak Karim, guru les kami itu sudah muak sekali dengan kami berdua. Meski sebenarnya aku telat gara-gara menunggu Ariel yang leletnya minta ampun, tetap saja terkena getahnya. Mengapa guru kami itu ti… “Siapa yang suruh kalian duduk? Kalian pikir hanya di sekolah saja bisa terkena hukuman? Berdiri di depan! Dan kau Ridwan, jelaskan materi yang baru saya ajarkan di depan kepada teman-temanmu.” 

        Aku hanya bisa pasrah dan melakukannya. Aku beruntung kali ini karena materinya mudah. Setelah 15 menit, semua beres. Pak Karim terlihat puas dan tersenyum, meski sedikit dipaksakan, “Hmm, bagus, Wan. Semoga ke depannya kau tak hanya pintar, tapi juga punya etika. Dan kau, Ariel. Sudah tau nilai pas-pasan, jangan pula kau datang terlambat. Sekali lagi telat begitu, Bapak luruskan rambut kau itu. Sudah, duduk sana.” Teman-teman sekelas akhirnya tertawa. Ariel hanya nyengir sambil mengusap rambut ikalnya.

      Pelajaran berlanjut seperti biasa. Usai mengerjakan beberapa soal, kami diizinkan pulang. Ariel pulang duluan karena dijemput Bapaknya. Tak ada anak-anak yang bermain di luar, aku memutuskan untuk langsung pulang. Di tengah perjalanan, tiba-tiba terdengar suara dari belakang yang memanggil namaku, “Ridwan!” Hmm, Dari suaranya aku tahu siapa yang memanggilku. 

      Tetapi aku tidak menghiraukannya, terus berjalan ke depan tanpa menoleh ke belakang. “Ridwaan!” Aku tersenyum tipis, tetap terus berjalan ke depan. Dan entah menggunakan kekuatan apa, dia tiba-tiba sudah berada di sampingku. Dia menatap sebal, “Ridwan!”

“Apa?” Aku menjawab seadanya. “Eh, kamu jadi?” Dia bertanya. 

“Jadi apa?” Aneh sekali pertanyaannya. “Ituu, kamu jadi ikut seleksi UI?” 

Ternyata soal itu. Aku bergumam, “Hmm, Insya Allah.” 

“Kapan?” Dia bertanya lagi. “Bulan depan, tanggal 24.”

“Oh.” Dia mengangguk pelan. “Memangnya kenapa, Ris?” 

“Eh, tidak apa-apa.” Dia menjawab.

“Aneh.” Aku bergumam.

“Aneh kenapa?”

“Biasanya kamu tuh gak ada pedulinya sama sekali sama yang namanya Ridwan.”

Dia memalingkan muka, “Dih orang cuma nanya kok. Siapa yang peduli.” 

“Yah ngaku aja, sih.” Aku memancing. Dia menghembuskan nafas, wajahnya terlihat kesal. 

“Risma.” Aku mencoba melepas canggung setelah beberapa saat hening. 

“Hmm?” Dia bergumam.

“Eh, aku mau tanya sesuatu.” Aku baru terpikirkan pertanyaan ini, karena Risma tidak pernah bercerita tentang jalan yang akan dia pilih setelah lulus nanti.

“Apa?” Jawabnya singkat.

“Eh, kamu.. nanti mau ke mana?”

“Mau tau aja.” 

“Aku serius, Ris.”

      Dia terdiam sejenak, kemudian menghela napas perlahan, “Aku.. aku ti.. aku tidak..”

Suaranya sedikit terbata, “Aku mungkin tidak ke mana-mana, Ridwan. Aku akan tetap di sini. Di kampung ini.” Aku setengah terkejut mendengarnya. Aku paham maksudnya, dia tidak akan melanjutkan kuliah setelah lulus nanti. “Tapi kan, nilai rapormu tinggi, Ris. Hampir perfect. Seharusnya kau bisa diterima dengan mudah di kampus-kampus besar di Jawa sana. Bukankah..”

      “Kamu tahu sendiri apa penyebabnya.” Dia langsung memotong. Suaranya terdengar serak. Aku tertegun, paham apa yang dia maksud. Sungguh sangat disayangkan, murid terpintar di sekolah, selalu disiplin dan menjadi teladan semua anak, terpaksa tidak bisa melanjutkan kuliah hanya karena keterbatasan ekonomi dan kondisi keluarganya saat ini. 

  Ayahnya sakit sejak setengah tahun lalu. Di rumah hanya ada Risma dan Ibunya. Dua kakaknya sudah hampir lulus kuliah semua. Risma memutuskan untuk membantu Ibunya mencari nafkah dibanding melanjutkan pendidikannya sendiri sembari menunggu kedua kakaknya lulus dan mendapatkan pekerjaan di kota. Sebuah pengorbanan yang luar biasa.

         Tak terasa sudah hampir setengah jam kami berdua berjalan. Dia sesekali melirikku, awalnya aku pura-pura tidak melihatnya. Tetapi dia terus melirik sekilas ke arah mataku dan karena tidak tahan lagi karena risih, aku pun menoleh ke arahnya, “Ada apa?” tanyaku. “Eh, tidak apa-apa.” Dia terlihat salah tingkah. Tetapi kemudian memberanikan diri bicara, “Ridwan.” Alisku terangkat, “Hmm?”

“Jangan lupa oleh-olehnya, ya!” ujarnya sambil tersenyum. Aku tahu, itu senyum yang dipaksakan. Wajahnya terlihat mendung. Tetapi itu tetap tidak menghilangkan pesonanya. “Eh? Oleh-oleh? Eh.. oke deh.” Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Dalam diam, kami kembali meneruskan perjalanan. Aku sejak awal sudah tahu, kalimat tentang oleh-oleh tadi bukan sekadar kalimat biasa dan memiliki arti tersembunyi. 

       Di ujung jalan, kami berpisah. Aku ke jalan kiri. Dia ke kanan. Sampai di rumah, aku langsung menghempaskan diri ke kasur. Kepalaku terus memikirkan percakapan dengan Risma tadi. Aku memikirkan banyak hal.

           Aku kemudian menyadari ada banyak sekali anak-anak berbakat sepertinya yang harus menamatkan pendidikannya lebih awal karena nasib keluarga yang kurang beruntung. Anak yang cerdas, disiplin, selalu bertanggung jawab. Anak yang wajahnya yang selalu terlihat riang di hadapan semua orang, wajahnya yang selalu berusaha terlihat baik-baik saja, wajahnya yang…

Di tengah lamunanku, terdengar suara dengan nada mencibir, “Aihh. Wan, Wan. Pulang sekolah langsung galau di kamar. Ganti baju gitu, keluar nyari takjil.” Entah dari mana datangnya, tiba-tiba Mamak sudah lewat di depan kamarku. Aku melirik jam dinding, sudah pukul setengah lima lewat. Aku langsung bergegas mandi, berganti pakaian, dan segera pergi ke masjid untuk membantu para pengurus di sana menyiapkan takjil untuk berbuka puasa malam ini.

          Di tengah jalan, aku melihat rumah Risma gelap. Tak ada penghuninya. Aku tahu, dia dan Ibunya sedang berjaga di ladang di sana. Memastikan tidak ada hama dan tikus yang menghabisi sawah. Karena itulah satu-satunya penghasilan keluarga mereka sejak Ibu dan Ayah Risma bercerai. Ibunya yang telah lama menjadi petani, merangkap peran sebagai seorang Ibu dan juga Ayah, terus berjuang dan rela berkorban demi tiga anaknya. Karena itulah dua anaknya bisa melanjutkan pendidikan hingga jenjang kuliah. Hanya Risma yang tak sampai, karena ia tak rela meninggalkan Ibunya sendirian di kampung. 

         Dari sana aku tahu, bahwa semua orang tua tentu menaruh harapan yang tinggi kepada semua anaknya. Karena itulah mereka terus berkorban tak kenal waktu dan tak kenal lelah sedikitpun. Sekarang aku tahu, Bapak dan Mamakku pun sama. Mamak mungkin sering memarahiku, menasehatiku dengan nada tinggi. Tetapi aku tahu, di mata dan lubuk hatinya yang terdalam, tersimpan sebuah cita-cita dan harapan yang sangat besar. Harapan yang tak akan pernah tergantikan oleh keinginannya yang lain. Harapan yang bahkan telah ada sebelum aku dilahirkan.

Dan harapan itu…

Adalah Aku….


*****


24/07 - 21/08/2023         

More Posts