Shin'en no Senshi Ch. 2

Ch. 2 dari 5 Chapter

2025-09-26 15:40:48 - Nabil Versi Akal Sehat

Langkah Narita bergema pelan di lorong batu Kuil Shakyo. Dinding-dindingnya dipenuhi ukiran kuno yang tidak bisa dibaca, seolah ditulis dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh mereka yang pernah menatap Tenshin. Cahaya obor di sepanjang lorong tidak berkedip, tapi bayangan yang dilemparkannya bergerak sendiri.


Tok... tok... tok...


Tamiora berjalan di depan, jubahnya menyapu lantai tanpa suara. Ia tidak menoleh, tapi Narita merasa diawasi. Sosok itu tinggi, tenang, dan memiliki aura yang membuat udara terasa lebih berat. Di punggungnya tergantung pedang panjang berwarna hitam pekat, seperti potongan malam yang dibekukan. “Kuil ini tidak melatih tubuh,” kata Tamiora tiba-tiba. “Ia melatih jiwa untuk tidak hancur.”


Mereka tiba di sebuah ruangan terbuka, dikelilingi oleh pilar-pilar batu yang retak. Di tengahnya berdiri empat sosok lain yang Narita lihat di gerbang: Tokoyo, Muken, Kogetsu, dan Shakyo. Masing-masing berdiri diam, seperti patung yang menunggu waktu. Di tengah lingkaran mereka, terdapat altar batu dengan simbol Tenshin yang berdenyut pelan, seolah hidup.


Shakyo membuka mata. Tatapannya menembus Narita seperti cahaya yang menelanjangi jiwa. “Kau membawa luka,” katanya. “Tapi luka itu belum cukup dalam.” Narita tidak mengerti, tapi ia merasa tubuhnya gemetar. Dari altar, muncul kabut tipis yang menyentuh kakinya, dingin seperti kenangan yang ingin dilupakan.


Tokoyo maju, menyerahkan sebuah gulungan kepada Narita. “Ini bukan kontrak,” katanya. “Ini adalah pengakuan. Jika kau menulis namamu di sini, kau tidak akan bisa kembali menjadi manusia biasa.” Narita memandang gulungan itu. Tinta yang digunakan bukan tinta biasa, melainkan cairan hitam dari Tenshin yang merupakan emosi yang telah membusuk selama ribuan tahun.


Narita menggenggam pena, lalu menulis namanya. Saat huruf terakhir selesai, altar bergetar pelan. Kabut naik ke dadanya, dan ia melihat kilasan masa lalu: ayahnya berdiri di depan makhluk Shikou (manifestasi dari emosi yang telah membusuk), ibunya berteriak, dan dirinya sendiri menatap jurang dengan mata kosong. Ia terjatuh, tapi Tamiora menangkapnya. “Selamat datang,” bisiknya. “Kau sekarang milik para Rengai.”


Malam itu, Narita tidur di ruang batu yang dingin. Ia tidak bermimpi, tapi suara dari Tenshin tetap datang. Tidak lagi sebagai bisikan, tapi sebagai panggilan. Di luar, langit mulai berubah warna. Jurang tidak sabar. Dan Narita... mulai berubah.

More Posts