Syal Merah di Musim Dingin

"Don't cry because something is over, smile because it ever happened."

2025-08-06 06:41:22 - ラフィーにはフレイヤがいる🤙😝

Salju turun sejak dini hari, menutupi jalanan kota kecil itu dengan selimut putih yang dingin dan sunyi. Di tengah hiruk-pikuk orang-orang yang buru-buru menuju kantor atau kafe hangat, seorang pria tua berjalan pelan menyusuri trotoar. Pria itu bernama Pak Bram, usianya 72 tahun, seorang pensiunan guru bahasa. Di lehernya tergantung syal merah yang sudah mulai pudar warnanya, benangnya terurai di beberapa sisi.

Itu bukan syal sembarangan. Syal itu adalah hadiah ulang tahun terakhir yang Alia berikan tiga tahun lalu, sebelum tubuhnya menyerah pada penyakit. Sejak saat itu, Pak Bram tak pernah melepasnya, bahkan saat musim panas sekalipun.

Setiap pagi, ia berjalan ke taman kota, duduk di bangku kayu tua di bawah pohon maple yang kini berguguran daunnya. Ia membawa roti gandum dan termos berisi kopi hitam, seperti kebiasaan lama yang dulu ia lakukan bersama Alia. Di sana, ia membaca buku, memberi makan burung, dan sesekali berbicara pada angin seolah sedang berdialog dengan kenangan.

Suatu pagi, Pak Bram melihat seorang gadis muda duduk di bangku sebelah. Wajahnya sembab, matanya merah, dan tangannya gemetar meski sudah mengenakan sarung tangan tebal. Ia tampak baru saja menangis.

Pak Bram menoleh pelan dan berkata, “Musim dingin memang kejam, ya. Tapi, terkadang, yang lebih dingin adalah hati yang kehilangan.”

Gadis itu menoleh, terkejut. “Maaf, saya tidak bermaksud mengganggu,” katanya pelan.

“Tidak apa-apa. Taman ini milik semua orang yang sedang mencari kehangatan,” jawab Pak Bram sambil menyodorkan sepotong roti.

Gadis itu bernama Rani, 26 tahun, seorang editor buku yang baru saja putus dari tunangannya. Ia merasa hampa, seolah seluruh masa depan yang ia rancang runtuh dalam semalam. Ia datang ke taman itu karena tak tahu harus ke mana.

Hari-hari berikutnya, Rani mulai rutin datang ke taman. Ia duduk bersama Pak Bram, berbicara tentang hidup, cinta, kehilangan, dan buku-buku tua. Pak Bram menjadi semacam pelipur lara, bukan karena ia sering memberi nasihat, tetapi karena ia adalah pendengar yang baik.

Suatu pagi, salju turun lebih lebat dari biasanya. Rani datang ke taman seperti biasa, membawa dua cangkir kopi dan roti isi keju. Namun, bangku itu kosong. Tak ada Pak Bram. Tak ada syal merah. Hanya salju yang menumpuk dan keheningan yang terasa lebih menusuk dari biasanya.

Ia menunggu hampir satu jam, berharap Pak Bram akan muncul dari balik kabut. Tetapi yang datang hanyalah seorang petugas taman yang membersihkan bangku.

“Pak Bram?” Tanya Rani.

Petugas itu menggeleng. “Maaf, Bu. Pak Bram dibawa ambulans kemarin. Tetangga bilang dia jatuh di kamar mandi. Sudah tua, sendirian.”

Rani terdiam. Ia merasa dadanya sesak. Ia tak tahu harus ke mana, tak tahu apakah Pak Bram masih hidup, atau sudah pergi menyusul Alia.

Namun saat ia hendak pergi, matanya menangkap sesuatu di atas bangku: syal merah itu! Tidak hanya itu, terdapat pula secarik kertas di atasnya.

"Untukmu yang masih mencari hangat di musim dingin. Syal ini pernah memeluk cinta. Semoga bisa memelukmu juga."
Bram

Rani memegang syal itu dengan hati yang berat. Ia mengenakannya, dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia tidak merasa sendiri. Syal itu membawa aroma kopi, roti gandum, dan sesuatu yang tak bisa dijelaskan—kehangatan yang melampaui musim.

Ia mulai menulis lagi, sesuatu yang sudah lama ia tinggalkan. Ia menulis tentang Pak Bram, tentang taman, tentang syal merah, dan tentang cinta yang tak pernah benar-benar mati.

Musim dingin berikutnya, orang-orang selalu melihat seorang gadis muda duduk di bangku taman, mengenakan syal merah. Ia membawa roti dan kopi. Kadang-kadang, ia berbicara sendiri, seolah sedang berdialog dengan angin.

Sebab, di antara salju yang turun perlahan, ada kehangatan yang tak pernah benar-benar hilang. Karena cinta, meski tak lagi berwujud, selalu tahu cara kembali.



More Posts