Legenda sepasang kekasih.
Malam bagai bersemu. Menjadi sebuah kebiasaan bagi seorang gadis berbaju putih yang sedang terbaring di atas kasurnya. Setelah kesekian lamanya mencoba untuk menutup mata, namun otak dan pikirannya masih berkelana di pinggir pantai kala itu. Mencoba lebih melihat siapakah lelaki yang dengan berani mengungkapkan perasaannya, siapa lelaki yang dengan berani mengatakan dengan lancang bahwa akan ia dapatkan dirinya. Wajahnya, hanya wajahnya yang ia ingat. Bukan namanya, bukan umurnya, bukan asal-usulnya. Hanya wajahnya.
“Tidak, nona. Bahkan saya sanggup jika harus terbang meraih bintang untuk nona,”
“Bagaimana bisa?” tanya sang gadis dengan polosnya.
“Bahkan bulan, bahkan matahari, saya bisa mengambil semuanya jika nona mau,”
Seorang lelaki tanpa nama, kulit kecoklatan, mata bulat yang indah serta rambut hitam legamnya yang terus ia kagumi. Katakanlah, ia seorang nelayan. Jika ia seorang nelayan kecil berusia sembilan belas tahun, lalu mengapa ia tidak pernah melihatnya sebelum ini? Pertemuannya secara mendadak dan tidak terduga membuat detak jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. Kali ini, untuk pertemuan kedua kalinya, Renjani benar-benar tersipu dengan kata-katanya. Pertemuan kedua yang begitu membekas di hatinya, lelaki itu, siapa sebenarnya ia? Jika memang menyukainya, mengapa ia tidak pernah ke rumahnya untuk melamarnya? Renjani pasti akan menerimanya, tidak mungkin ia akan menolak lelaki itu. Entah siapa lelaki itu, Renjani akan tetap menunggunya datang ke rumah untuk melamarnya.
Suatu pagi, Mamat Konyek datang kembali ke pinggir laut untuk kembali menagih uang setoran para nelayan. Mamat Konyek datang tiap hari rabu bersama dengan Aka Idjong, kakaknya. Anak dari keluarga Idjong, keluarga kaya yang bahkan memiliki tujuh puluh jongos. Kedua kakak beradik ini terkadang sering pergi ke pinggir laut hanya untuk membuat rusuh dan rusak para nelayan. Wilayahnya memang diserahkan oleh keluarga Idjong, namun beginilah kedua anak tertua Idjong, hanya bersenang-senang. Tidak jarang juga pergi ke rumah bordil hanya untuk menghamburkan uangnya. Aba Idjong sang ayah pun hanya bekerja dan terus bekerja. Entah, menjadi budak Belanda mungkin, bahkan memang ia seorang Belanda sekalipun, kata Aka Idjong suatu ketika.
Mata Mamat Konyek yang sedang memukuli salah satu nelayan tua seketika berhenti saat melihat salah satu pemuda yang berdiri dengan tatapan meremehkan. Pemuda itu kemudian mengeluarkan seringai tipis tanda ia benar-benar meremehkan Mamat Konyek. Aka Idjong terenyak saat tiba-tiba Mamat Konyek berjalan cepat dengan alis berkerut layaknya banteng yang sedang marah, ditambah dengan tubuh besarnya yang seperti sapi itu berjalan penuh amarah menuju pemuda di sana.
“Siapa kau bocah dungu? Ada masalah apa kau denganku?” tanya Mamat Konyek dengan nada marah dan mengancam. Aura ketajaman dan mengintimidasinya, semua orang di pinggir laut, nelayan, pedagang, orang tua, bahkan merasakan betapa ngerinya jika berada di posisi si pemuda.
“Mamat Konyek, kau pikir dirimu kuat hanya dengan kau mengalahkan seratus pegulat bahkan seribu pegulat?”
Mamat Konyek yang mendengar kata-kata remeh dari si pemuda semakin bertambah naik darah. Matanya sudah melotot marah, wajahnya memerah penuh dendam, “Pemuda sialan” Tangan Mamat Konyek terkepal kuat, tatapan tajam dan ancamannya masih belum bisa membuat pemuda di depannya ini berhenti meremehkannya. Dengan satu serangan, si pemuda terpental ke arah belakang. Baju dan celananya basah bercampur pasir. Pipinya lebam dan terasa keram, namun begitu si pemuda hendak berdiri, ia kembali merasakan sakit di pipi satunya. Semua orang di sana menutup mulut, tidak ada yang bisa menghentikan pertengkaran itu. Mereka hanya terdiam melihatnya terus dipukulinya hingga sekarat.
Hidung berdarah, kedua pipi lebam, dahi yang juga bercucuran darah, air asin yang bercampur darah dan suara dengung terus terdengar di telinga serta di kepalanya seiring dengan irama dipukulnya.
“Hentikan!” Suara gadis menyambut telinganya, Mamat Konyek seketika berhenti. Kepalanya menoleh ke belakang melihat Renjani dengan wajah bercucuran air mata melihatnya. Bukan, bukan melihatnya, tapi melihat ke arah pemuda di depannya. “Siapa pemuda sialan ini?”
Tanpa berkata sepatah katapun, Renjani berlari menuju ke arah si pemuda. “Tidak, lelakiku..” batinnya terus meringis tersayat melihat si pemuda terkapar dengan air menggenang penuh darah. Dengan cepat, Renjani memapah si pemuda berjalan. Hatinya sakit, tanpa kata-kata, si pemuda malah tersenyum. Tersenyum penuh kemenangan seolah hari ini adalah hari paling bahagianya. “Lihatlah, langit, Renjani datang menjemputku. Takdir kita seolah disatukan, bukan?”
Di sana, Mamat Konyek hanya terdiam melihat adiknya, Renjani membawa si pemuda yang baru saja dihajarnya. “Sialan, siapa pemuda itu? Beraninya mengambil Renjani dariku,” Mamat Konyek seakan masih tak menyangka dengan apa yang terjadi. Saksi mata jelas melihat kejadian itu. Mamat Konyek bertanya pada seluruh warga nelayan tentang siapa si pemuda itu, mengapa dengan beraninya menantang dan meremehkannya lalu dengan cepat mengambil hati adiknya yang begitu cantik yang bahkan adiknya tidak akan pernah peduli dengan siapa ia akan menghajar. Tidak ada yang mengetahuinya, sama sekali tidak ada yang mengetahui siapa si pemuda itu.
“Sepertinya adik kecil kita sudah dewasa, Nyek,” ucap Aka Idjong pada adiknya. Jujur, untuk masalah hal seperti ini Aka Idjong juga tidak bisa berbuat apa-apa. Aka Idjong seperti tidak ingin membuat masalah ini menjadi masalah yang besar. Namun, Aka Idjong sendiri tidak menyangkal bahwa ia memiliki banyak pertanyaan tentang hal ini. Siapa pemuda itu dan apa hubungan antara ia dan adiknya?
“Apa yang sudah kau lakukan dengan Mamat Konyek? Mengapa kau hanya terdiam begitu saja dipukuli?” Air mata terus meleleh di pipinya. Pipi kemerahan layaknya apel yang baru saja masak. Bulu mata yang dipenuhi air itu malah terlihat menawan di matanya. “Sungguh, langit, aku bahkan tidak bisa berkutik melihat kecantikannya,”
“Apakah tawaran saya kemarin masih berlaku, nona?”
“Apa yang kau bicarakan?” tanya Renjani bingung.
“Tentang saya yang hendak mengambilkan bintang untuk nona,” Renjani tertegun, tangannya yang kecil terus membersihkan luka si pemuda. Di saat seperti ini lelaki itu menanyakan hal ini?
“Kau tidak akan pernah bisa mengambil bintang itu untukku,” jawab Renjani.
“Saya bisa melakukannya, nona.”
“Kau tidak akan bisa melakukannya, sejauh apapun kau bisa terbang, paling kau hanya akan sampai puncak Prau. Tidak lebih.”
Bukan jawaban, si pemuda hanya tersenyum manis ke arah Renjani. Tangannya mengambil tangan kecil nan lembutnya. Menggenggamnya penuh kasih. “Demi Tuhan, bahkan aku berani bersumpah bahwa ia begitu kecil dan lembut. Selembut bulu angsa dan seharum bunga mawar.” Si pemuda mencium telapak tangan Renjani lembut. Bibirnya yang pecah karena lebam itu bergetar ketika menciumnya. “Sungguh, bahkan ketika ku menciumnya, bau harumnya masih menempel di pipiku.”
“Nama saya Radengga, nona.” Suara lembutnya menyapa gendang telinga Renjani. Namanya, Radengga. Nama yang begitu indah. Mata Renjani seperti berbinar-binar mendengarnya. “Nama yang indah, Radengga.”
Bermula saat Renjani untuk setelah sekian lama berada di dalam rumah memutuskan pergi keluar bersama kedua kakaknya, Aka Idjong dan Mamat Konyek pergi ke pinggir laut untuk menagih uang setoran kembali. Sesampainya di pinggir pantai, banyak para nelayan dan para pedagang ngacir ketakutan melihat kakak beradik Idjong datang. Sorot mata mereka seakan sedang melihat monster atau raksasa. Mamat Konyek dengan wajah sangar dan tubuh kekarnya berjalan di depan, sedang Aka Idjong menggandeng adik kecil cantiknya, Renjani. Menurut Mamat Konyek, Renjani masih terlalu kecil untuk pergi tanpa pengawasan. Hal inilah mengapa Renjani jarang untuk keluar sekadar pergi ke pasar dengan jongos tanpanya.
Sejak awal sampai di pinggir laut, mata Renjani langsung tertuju ke arah salah satu pemuda yang tersenyum padanya. Entah karena ia jarang berada di laut atau karena ia baru saja berada di sini kali ini, Renjani belum pernah melihatnya. Namun Renjani tetap berjalan mengikuti Aka Idjong berjalan.
“Aku ingin membeli sesuatu, bisakah Aka tunggu di sini saja?”
“Kau ingin membeli apa?” tanya Aka Idjong. Tangannya masih sibuk menulis dan menerima uang.
“Membeli dawet ayu,” jawab Renjani. Namun, Aka Idjong seperti tidak memberinya jawaban ia diperbolehkan atau tidak. Renjani menipiskan bibirnya bingung, tanpa Aka Idjong sadari, Renjani berjalan menjauhinya menuju ke arah pedagang dawet ayu. Katanya, dawet terenak di kota ada di sini. Penjual bernama Mbah Siro itu sudah berpuluh-puluh tahun berdagang di pinggir laut ini. Padahal jarang ada pelancong pergi ke sini, lagipula siapa yang ingin pergi ke laut seperti ini? Mbah Siro tersenyum ketika Renjani membeli dawet ayu miliknya. Gadis cantik pujaan kaum adam di kota ini, ialah Renjani.
“Mau beli dawet berapa, Nduk?”
“Satu saja, Mbah,” Dengan tangan cekatan Mbah Siro, Renjani dapat melihat betapa cepat serta lincahnya Mbah Siro dalam melayaninya. “Mbah sudah berapa tahun berdagang di sini?” Mbah Siro terkekeh mendengarnya bertanya, saking tidak pernahnya gadis ini keluar untuk setidaknya melihat indahnya dunia.
“Bahkan ketika ayahmu masih kecil,” Renjani sedikit memiringkan kepalanya, seperti terkejut tapi tidak heran juga. Wajahnya sudah berkeriput seperti ini apalagi setiap ia datang ke laut selalu melihatnya. “Ini, Nduk. Ambil saja dawetnya, percuma untuk Nduk Ayu,”
“Saya tidak mau, saya akan tetap membayarnya,” Sambil terus menodongkan uang padanya. Namun tetap berakhir tangannya ia turunkan.
Sambil berjalan kembali menuju Aka Idjong, arah matanya kembali menangkap lelaki muda yang terus melihatnya dengan tersenyum manis. Sebuah tali tiba-tiba terpasang di tubuhnya seakan menyuruhnya untuk berjalan menuju ke arah laki-laki muda itu. Ia terus mengikuti lelaki muda itu sambil tangannya membawa dawet ayu yang baru saja ia dapatkan. Berjalan sedang lelaki itu menuju ke arah bebatuan karang. Awalnya Renjani terdiam ketika melihat bebatuan itu, namun rasa penasaran terus menggerogoti hati dan perasaannya. Hingga ia berjalan menaiki bebatuan karang besar itu, menemukan seorang lelaki duduk di atas batu karang dengan tenang seakan menikmati pemandangan indah lautan yang begitu luasnya.
“Nona, kau benar-benar membuat dirimu penasaran denganku,” kata lelaki itu sambil kepalanya berbalik menghadap ke arah Renjani. Sedangkan di belakang, Renjani hanya terdiam hingga sebuah pasang kaki berada di depannya. Renjani mendongak melihat ke arah si pemuda. Senyuman manisnya yang selalu ia tunjukkan, Renjani perlahan merasakan debaran di jantungnya.
“Saya mencintaimu, nona. Saya menginginkan nona, ijinkan saya untuk mendapatkan hati nona.” Pengakuan cinta, kata orang begitulah. Kata Marni, salah satu babu dapur yang bermain dengannya mengatakan itu padanya. Jatuh cinta, kata Marni. Tanpa sadar, tangannya yang menggenggam dawet ayu bergetar, lelaki ini jatuh cinta padanya. Semenjak hari itu, pertemuan kedua kembali terjadi bahkan tak lama setelah pertemuan pertama Radengga dengannya.
Pertemuan kedua kembali terjadi ketika secara tak sengaja mereka bertemu saat Renjani pergi dari rumah karena Aba Idjong dan Nyai sedang bertengkar, sedang kedua kakaknya pun juga turut mengacaukan keadaan. Malam hari membelah jalan, Renjani pergi menuju laut sendiri bermaksud agar tidak mengganggu pertengkaran keluarganya. Di pinggir laut itu, mata bulatnya menuju pada bulan terang serta bintang penuh dengan kelap-kelip di langit. Begitu indahnya, begitu cantiknya, begitu menawannya. Bintang-bintang bertaburan di langit, matanya kembali menangkap ujung lautan yang terlihat menyentuh bintang.
“Apa nona ingin saya mengambilkan bintang untuk nona?” Sedikit terjengkit dengan suara tiba-tiba itu, kembali pemuda itu datang dari arah belakang dengan senyum manisnya.
“Tidak mungkin bisa,” Sambil tertawa Renjani menganggap hal itu adalah candaan.
“Tidak, nona. Bahkan saya sanggup jika harus terbang meraih bintang untuk nona,”
“Bagaimana bisa?”
“Bahkan bulan, bahkan matahari, saya bisa mengambil semuanya jika nona mau,”
Tertegun, Renjani terdiam. Kembali, jantungnya berdetak lebih cepat. Lelaki ini, siapa sebenarnya. Jantungnya berdetak tak karuan, namun raut wajahnya memperlihatkan bahwa ia bingung dengan pernyataan itu. Sedang sang lelaki hanya tertawa kecil melihat betapa lucu gadisnya kebingungan.
“Udara dingin laut tidak baik untuk kesehatan, nona. Ayo, saya antar pulang.”
Renjani menggeleng tanda ia tak mau. “Aku tidak mengenalmu, pergilah, aku sedang ingin sendiri di sini.” Sang lelaki tidak begitu saja pergi melihat rona merah di wajahnya yang menunduk. “Kalau begitu, duduklah dengan saya di sini, nona,” Yang kemudian mengambil duduk di atas pasir coklat kering sambil melihat ke arah lautan.
Renjani terdiam sejenak, namun akhirnya ikut mengambil duduk di atas pasir bersebelahan dengan sang lelaki. Seakan mereka berdua hendak menikmati keheningan itu, hanya suara pasir berdesir dan ombak lautan yang memenuhi gendang telinga mereka. Renjani hanya duduk sambil memeluk kedua kakinya, ia kedinginan, namun tetap tidak mau mengatakan apapun pada lelaki di sebelahnya. Bahkan berjam-jam mereka hanya duduk di pinggir laut dan melihat ketenangan itu dalam diam, tidak saling mengucapkan sepatah katapun.
“Tahukah kau, nona? Saya selalu berbicara pada bintang tentang anda, bertanya-tanya pantaskah saya untuk anda?”
Renjani yang mendengar pernyataan dari mulut lelaki itu menunduk. Tidak perlu dipertanyakan sejak saat pertemuan kedua itulah Renjani menyadari perasaannya padanya. Hanya kata-kata sederhana seperti itu membuatnya tersipu. Hanya karena lelaki pribumi, ia jatuh cinta. “Berikan saya cintamu, nona,” ucap kembali Radengga yang kembali mencium telapak tangan Renjani berkali-kali.
“Apakah kau begitu bodoh? Aku menangis karenamu, hatiku terluka melihatmu terkapar sekarat seperti tadi,” suara lembutnya kembali mengisi gendang telinga Radengga.
“Saya mengerti, nona.”
Sekian lama setelah mereka terdiam, kembali Radengga mengucapkan suatu hal yang semakin membuat Renjani berdebar.
“Ayo lari ke tempat yang jauh, di mana bintang-bintang mencium lautan..”
Renjani kembali meneteskan air mata, Radengga mengajaknya untuk pergi bersamanya, untuk hidup bersamanya selamanya, untuk menghabiskan waktu bersamanya, hanya bersamanya.
“Bisakah..” tanya Renjani dengan suara bergetar.
“Aku telah mendapatkanmu dari genggaman dua kakakmu itu, aku akan membawamu pergi ke surgaku, bersamaku, selamanya..” ucap Radengga.
“Aku ingin, aku ingin, tapi aku masih belum bisa meninggalkan keluargaku.” Suaranya gemetar seperti ketakutan, namun ia meyakinkan bahwa ia akan tetap pergi bersama Radengga dan akan hidup selamanya, dengannya.
Ketika sebuah hidup memiliki arti, maka arti itulah kehidupan. Kehidupan tentu ditentukan oleh ia yang kuasa, namun apakah ketentuan kehidupan itu sesuai dengan apa yang ia mau? Inilah kehidupan yang sebenarnya. Berlari dari takdir sama saja menunda takdir.
Suara teriakan kesakitan datang dari para tetangga yang menjerit dengan datangnya tentara Jepang. Setelah kekalahan Belanda, Jepang berkuasa membuat seluruh warga Belanda ditangkap dan dibunuh. Renjani berlari menuju laut dengan tergesa, mencari lelaki itu di sana. Laut sepi, hanya pasir dan bebatuan yang menempel di kaki jenjangnya. Setelah keluarganya dibantai, ia berusaha mencari di mana Radengga berada, ia menemukannya duduk di atas pasir di mana tempat Renjani dan dirinya duduk berdua di pertemuan keduanya.
“Ayo pergi menemui tempat di mana para bintang mencium lautan!” suara bergetar dan ketakutan terdengar dari mulut kecilnya. Radengga berjalan menuju Renjani dengan senyuman tipis. Tangannya ia angkat untuk mengelus surai hitamnya yang berantakan.
“Ayo pergi sekarang, Radengga!” teriak Renjani, wajahnya terlihat berantakan, pipinya seperti tergores dahan tajam. Gadis itu menangis, Aba Idjong tidak berada di rumah, Nyai dibawa bersama dengan para warga Belanda, sedangkan Aka Idjong di bunuh dan Mamat Konyek entah berada di mana. Hanya gadis ini yang hidup, gadis yang malang.
Melihat gadisnya menangis histeris seperti ini membuat hati Radengga tersayat. Ia melihat ke sekeliling sebelum akhirnya membawa gadisnya pergi menuju bebatuan karang tempat mereka kembali bertemu. Ia mengajaknya menaiki sebuah perahu nelayan kecil yang terdampar di sana. Renjani akan baik-baik saja selama ada dirinya di sampingnya. Ia tahu, para Jepang itu sedang berjalan menghampiri dirinya dan Renjani. Mereka akan pergi menuju tempat di mana para bintang mencium lautan. Di mana tempat yang hanya mereka berdua tahu. Tanpa seorangpun menghalangi mereka. Tidak seorang pun.
Renjani dan Radengga, dua insan yang bahkan hingga saat ini menjadi sebuah legenda di kota itu. Sang gadis Renjani yang menghilang bersama dengan kekasihnya Radengga tercinta di tengah lautan luas. Menuju sebuah tempat tak terhingga dan tak berujung. Menjadi sebuah cerita dari mulut ke mulut tentang gadis berdarah Belanda yang pergi dari kejaran Jepang dan berakhir menghilang di lautan dengan sang kekasih.
Berlari dari masalah tidak akan membawa seseorang lega akan perasaannya, hanya berlari dan terus berlari, masalah itu akan terus mengejarnya sebelum dihancurkan. Menghancurkan perasaan yang terus mengganjal di hati sekalipun berusaha untuk mengabaikannya. Entah apa yang akan terjadi pada mereka, hanya Tuhan dan mereka yang tahu. Inilah yang mereka inginkan, meninggalkan semuanya demi cintanya, demi kekasihnya, demi pujaan hatinya. Seluruhnya, jiwa dan raga.
____________
Kisah ini hanya fiktif belaka murni imajinasi saya.
Kisah ini juga terinspirasi dari beberapa novel sejarah yang saya baca.