Nantikan kisah-kisah lainnya!
Fiksi, jangan dibawa ke hati 😅😅
***
“Lysa! Aku denger abangnya Aini nitip salam ke kamu!” Teriakan Avivah menggema di sepanjang koridor, ia berlari terengah-engah menghampiri Lysa di kelas yang sedang mencari sesuatu di bawah kolong mejanya.
“Lysa! Kamu danger aku gak?” Avivah mengguncangkan tubuhnya, berseru kesal. “Shh! Kamu bisa gak sih, gak teriak-teriak kayak gitu?” Lysa berbisik, matanya sejak tadi menatap pintu kelas. Khawatir jika Aini datang sewaktu-waktu. “Kalau Aini denger, gak lucu tau!” Lysa mengingatkan. Avivah terdiam, benar juga.
“Ya, ya, ya! Aku juga udah tau kok!” Aini memasuki kelas dengan wajah kesal, sepertinya ia mendengar teriakan Avivah tadi. “Terus kenapa? Kalau abangku titip salam ke Lysa memangnya kenapa? Masalah?!” Nafas Aini naik turun, ia merasa dirinya hilang kendali.
“Tuh kan, aku bilang juga apa..” Lysa mengangkat bahunya, ia sudah mengingatkan Avivah tadi.
***
“Aku pusing Lysa..” Aini menunduk. Lysa hanya menatapnya diam, serba salah. “Kenapa sih, orang-orang pada sering banget ngomongin abangku. Emangnya abangku itu siapa nya mereka sih?!” Aini mendengus, melampiaskan semua kekesalannya kepada teman curhatnya itu.
Di luar jendela lantai empat itu, terlihat hamparan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Suara orkestra malam terdengar hingga ke dalam kamar mereka. Ini sudah larut malam, teman-teman yang lain juga sudah pada tidur.
Lima menit mereka diam satu sama lain.
“Memangnya, abangmu itu kayak gimana sih? Sampai-sampai kamu kesel banget sama dia..” Lysa mencoba memecahkan suasana.
“Namanya Z. Win.” Aini menatap ke arah jendela. “Orang-orang biasanya manggil dia Zwin, kalau aku biasanya manggil Bang Zwin. Karena gak ada yang tahu kepanjangan nama depannya itu, kecuali orang tuaku” Aini menghela nafasnya. “Dan aku, paling gak suka kalau ada yang nyebut-nyebut abangku. Ini hidupku! Ngapain juga abangku perlu di sebut-sebut? Aku udah bosen, disama-samain terus sama dia. Dia tuh juga nyebelin..”
“Dahlah, aku mau tidur. Makasih untuk malam ini, Lysa.”
***
“Udah, gak usah cerewet. Kalau salah ya ngaku aja.” Bang Zwin menatap Aini, matanya itu seolah-olah mengatakan kalau dialah yang paling bersalah. Nuduh terus!
“Kamu tuh emang caper. Gak usah gitu deh.” Bang Zwin mengejutkannya yang sejak tadi sedang bicara sendiri ketika ada tamu. Apa sih? Orang lagi seneng juga!
“Gitu doang, gak usah lebay lah!” Bang Zwin mengangkat bahunya, tidak peduli melihat aku yang sejak tadi melompat-lompat kegirangan. Gak usah ikut campur dong!
“Udah dibilangin berkali-kali, masih aja dilakuin!” Bang Zwin lagi-lagi..
“Aini!! Kamu mendengarkan tidak?!” Mr. Faisal berteriak, menyadarkan Aini yang sejak tadi termenung. Aini melihat kesekitarnya, seluruh kelas menatapnya. “Ya, mr?” Aini menjawabnya patah-patah.
“Dicatat!” Mr. Faisal menunjuk ke arah papan tulis, yang sudah penuh dengan pembahasan tentang sel tumbuhan.
***
Malamnya..
Nafas Aini menderu, ia telah menumpahkan seluruh rasa kesalnya tadi pagi kepada Lysa. Akibat abangnya itu.
“Aini, abangmu itu sebenarnya sangat sayang kepadamu.” Lysa memegang tangan Aini, mencoba memberikan energi kepadanya. “Sekarang aku mau nanya, apa abangmu pernah menjelek-jelekkan kamu?” Aini menggeleng.
“Apa abangmu pernah memukulmu?” Aini menggeleng.
“Apa abangmu, pernah membencimu?” Aini menggeleng.
“Tapi dia sering bikin aku malu di depan orang-orang!” Akhirnya, Aini menyebutkannya. Kenapa selama ini, ia merasa kesal sekali dengan abangnya itu.
“Karena abangmu sayang sama kamu. Abangmu ingin kedepannya, kamu tidak seperti itu lagi di depan orang-orang. Hanya saja, cara menyampaikannya itu yang kurang tepat. Tapi aku yakin, niat abangmu adalah menyampaikannya dengan tulus.
Tidak apa malu hari ini, asal kedepannya kamu tidak akan merasa malu lagi. Itulah yang diharapkan abangmu.” Lysa tersenyum, memperhatikan temannya itu.
“Jadi, apa kamu mau memaafkan abangmu itu? Apa kamu mau mengulangi lagi, pendapatmu tentang abangmu itu?”
1 detik, 2 detik, 5 detik..
“Abangku, membuat hari-hariku menjadi semakin indah.” Aini tersenyum, kali ini ia menatap Lysa. Lysa mengangguk, balas tersenyum.
“Terimakasih untuk malam ini, Lysa.”
***
Bonus Content.
Bel istirahat berbunyi.
Lysa membuka pintu kelas, hendak pergi ke kantin. Sebelum ia melangkah lebih jauh..
“Lysa!” Aini menarik tangannya, menjauh dari keramaian. Lysa menatap Aini heran, kenapa pula tangannya ditarik-tarik.
“Kok kamu bisa yakin banget tadi malam?” Aini bertanya, wajahnya penuh selidik. Lysa mengangkat satu alisnya, yakin apa?
“Kok kamu bisa yakin banget, kalau abangku sayang sama aku? Kamu bilang gitu, seolah-olah kamu kenal dekat sama abangku.” Aini mengulangi pertanyaannya, suaranya sedikit meninggi. Orang-orang memandang mereka berdua dengan heran, ada apa ribut-ribut?
Lysa menyuruh Aini memelankan suaranya.
“Oh, kirain apa..” Lysa menahan tawanya, memang lucu melihat ekspresi penasaran Aini. Kita dibuat seolah-olah ingin menambah rasa penasarannya itu.
Lysa hanya mengangkat bahu, mengedipkan sebelah matanya. Lantas pergi meninggalkan Aini.
Aini terdiam, ia yakin sekali wajah Lysa memerah..