Nantikan cerpen-cerpen lainnya!
Empat orang roboh di depan Prast, wajah mereka semua babak belur akibat terkena tinju berkali-kali olehnya. Tangan Prast mengepal, ia tidak akan memberi ampun kepada orang yang menjelek-jelekkan gurunya yang juga sekaligus sudah ia anggap sebagai keluarga sendiri. Ia tidak akan memberi ampun kepada orang yang menjelek-jelekkan Pak Ryn.
Mata kirinya menatap empat orang di depannya dengan ganas, ia hendak menghabisi mereka berempat sekaligus. Tapi kejadian malam itu dan nasihat Pak Ryn, membuatnya berjanji untuk tidak menjadi seorang pembunuh.
Ia memegang mata kanannya yang tertutup, luka itu masih membekas.
Prast menghela nafasnya, lantas pergi meninggalkan mereka. Urusan dengan empat orang itu telah selesai. Ia harus segera kembali ke sekolahnya, atau Pak Ryn yang menunggu disana akan cemas.
Prast memang tinggal bersama seorang guru, orang-orang biasa memanggilnya Pak Ryn. Pak Ryn sekarang hidup sendiri, sepertinya ia merantau meninggalkan keluarganya.
Prast tinggal di rumah Pak Ryn yang berada di samping sekolah, Pak Ryn-lah yang bisa membuatnya kembali bersekolah setelah ia ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya, Pak Ryn-lah yang selama ini berbaik hati menanggung kehidupannya selama ini.
Pak Ryn sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri.
Sambil berjalan, mata Prast berkaca-kaca. Ia tak kuasa jika ada orang yang sampai menjelek-jelekkan Pak Ryn. Terserah jika ada orang yang mengejeknya, tapi jangan sekali-kali ada orang yang mengejek Pak Ryn.
Itu seperti membangunkan singa yang sedang tertidur.
***
Prast hendak melakukan hantaman terakhir kepada orang di depannya itu, hingga tiba tiba tendangan lurus dari sampingnya telak menghantamnya. Tubuh Prast terpelanting, jatuh berguling.
Ada Orang lain yang tiba-tiba mendatanginya, lalu menarik kerah baju Prast dengan kedua tangannya, membuat kayu yang Prast pegang terjatuh.
“Kau fikir, kau sedang apa hah?!”
Satu orang lagi di depan mereka terkulai tak sadarkan diri, tubuhnya lebam-lebam terkena sesuatu, kepalanya bersimbah darah. Prast sudah menghantamkan kayu kepada orang itu berkali-kali sejak tadi.
“Kau hampir membunuhnya! Dasar bodoh!”
Orang itu menguatkan cengkramannya, membuat Prast kesulitan bernafas. Darah masih mengucur deras dari mata kanannya, matanya itu hancur akibat tertusuk serpihan kaca.
“Kuberitahu kau, luka di matamu itu tidak akan pernah hilang. Kau dengar?! Luka dimatamu itu tidak akan pernah hilang, meskipun kau membunuh orang yang memberikan luka itu padamu!” Mata orang itu menyala marah, tangannya mengguncang-guncangkan tubuh Prast.
Prast menatap orang itu dengan mata kirinya dengan pasrah, sambil menekan mata kanannya dengan tangannya. Mencoba meredakan rasa sakit itu, meskipun darah masih keluar dari matanya. Tangan yang satunya lagi, berusaha menarik tangan orang itu dari kerahnya untuk mengurangi dampak cekikan itu di lehernya.
10 detik saling tatap, orang itu melepaskan cengkeramannya dari kerah Prast.
Prast terjatuh–masih dengan menekan mata kanannya, ia terkulai lemas di samping kaki orang yang menendangnya itu. Ia merasakan penglihatannya menjadi berkunang-kunang, nafasnya tersendat-sendat akibat orang itu mencengkram kerahnya.
Orang itu menunduk memandang Prast yang terkulai di bawahnya, menghela nafas pelan.
“Jaga mata kirimu, masih ada banyak hal yang harus kau lihat. Aku akan menelpon seseorang untuk menjemputmu. Sedangkan orang yang ada di hadapanmu itu, aku akan memanggil petugas terdekat untuk menolongnya.” Orang itu menghela nafasnya kembali.
“Senang bertemu denganmu.” Orang itu mengangguk, melambaikan tangannya. Lalu melangkah menjauh dari Prast.
Prast masih sempat menarik kaki orang itu, mencegahnya itu pergi. Orang itu menoleh ke arahnya.
“Siapa.. Kau?” Prast dengan sisa tenaganya, mencoba untuk mencari tahu siapa orang itu.
Orang itu terdiam, termenung dengan pertanyaan Prast. Ia sontak memegang saku celananya, sepertinya ada sesuatu di dalamnya. Orang itu menarik nafas dalam-dalam, mencoba melupakan semua masalahnya. Kali ini ia tersenyum. Rambut belah tengahnya acak-acakan, keringat mengucur dari dahinya. Jika dilihat lebih jelas, wajahnya amat gagah ditimpa cahaya lampu redup di atas sana.
“Namaku, El.”
Prast sudah sepenuhnya pingsan setelah orang itu memperkenalkan dirinya. Di pabrik kaca yang sudah tidak terpakai lagi, jauh dari keramaian.
Meskipun begitu, ia yakin sekali orang yang bernama El itu tadi seumuran dengannya.
***
“Kau tidak perlu memperdulikan mereka, Prast.” Pak Ryn berkata pelan kepada Prast, sambil menatapnya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Mata kanan Prast dibalut sesuatu, kaca yang masuk ke dalam matanya sudah dikeluarkan.
“Aku harap mata kanan kau itu bisa menjadi pengingat, bukti bahwa kau tidak akan mengulang kejadian tadi malam. Lukamu adalah bukti bahwa kau tidak perlu marah seperti di pabrik kaca kemarin. Masih banyak orang seperti itu diluar sana.
Orang tua ini sangat berterima kasih masih ada yang mau membelanya. Tapi, kau tidak perlu marah. Apa bapak marah kepada mereka? Tidak.
Atau jika memang terdesak, cukup marah untuk sekedar mereka tahu bahwa kau tidak suka dengan mereka. Jangan pernah menjadi orang yang berlebihan Prast, berjanjilah..”
Pak Ryn tersenyum menatap Prast yang masih terbaring, ia adalah guru terbaik bagi Prast. Juga di sekolahnya, Pak Ryn adalah guru dan orang yang paling dihormati. Siapa yang tidak suka padanya sungguh keterlaluan..
Prast terisak pelan.
Pagi itu, Pak Ryn telah membuka pemahaman yang baru bagi Prast.
Bonus Content
Sekolah asrama ini baru. Terdapat tiga gedung di sekolah ini. Dengan segala keterbatasannya, sekolah ini masih bisa membuat tiga gedung yang setidaknya masih bisa ditempati. Meskipun belum sepenuhnya selesai pembangunannya.
Satu gedung untuk asrama putri, satu gedung lagi untuk asrama putra. Dan gedung terakhir, adalah gedung sekolah.
Ini sudah tahun angkatan kedua di sekolah ini. Dan pagi ini, di gedung asrama putra terjadi sedikit kehebohan. Lebih tepatnya di kelas 11A.
Zuhri, teman sebangku El, menemukan secarik kertas di atas mejanya.
Maafkan aku jika aku ada salah. Aku pergi dulu.
Sejak saat itu, El pergi meninggalkan teman-temannya. Karena ia telah menemukan jawaban atas pertanyaan yang selama ini menghantuinya, jawaban atas pertanyaan terbesar dalam hidupnya.