Mantyasih, mantaseh; beriman dalam cinta kasih
Pada suatu waktu, Kakekku berkata bahwa ia pernah bertemu dengan kakek moyangnya.
Katanya, “Tahu tidak rahasia terbesar Kakek? Kita ini keturunan para Raja Mataram, Cu.”
Enak saja! Dengan entengnya ia berkata pada cucunya yang telah SMA ini. Jangan terkejut, karena dengan enteng pula aku percaya ucapan Kakek. Aku 'kan cucu Kakek satu-satunya, siapa yang tidak suka disebut keturunan raja? Kuminta Kakek menceritakan tentang para leluhurku.
"Rumit, Cu. Kakek saja pusing dengan silsilahnya." Jawabnya.
Wah aku tidak tinggal diam. Ketika Kakek akhirnya menyerah oleh desakkanku, di bawah ini adalah kisah darinya yang telah aku rangkum.
~``.*.``~
Maharaja Sanna yang tersohor perwira dalam perang, adil, dan bijaksana telah sampai di ujung usianya. Kerajaan Medang yang ia pimpin jatuh dalam perpecahan begitu Sang Raja wafat. Kekacauan terjadi di mana-mana. Hingga putra saudara perempuannya yaitu Ratu Sanjaya naik takhta menjadi raja.
Pada masa itu Raja Sanjaya berusaha menumpas seluruh pemberontakan. Akhirnya ia memutuskan untuk memindah pusat pemerintahan Kerajaan Medang menuju wilayah bernama Mataram. Di sana perkembangan kerajaan melaju sangat pesat. Pendidikan pantang mundur, padi kuning berkilauan bagai emas, perdagangan selalu laku keras.
Pemerintahan kemudian secara resmi berpusat di wilayah Mataram dan dikelola oleh dinasti bernama Syailendra. Perlahan-lahan, nama kerajaan yang semula adalah Kerajaan Medang, semasa di bawah pimpinan Raja Sanjaya berubah nama menjadi Bhumi Mataram yang artinya Kerajaan Mataram.
Namun di dalam pemerintahan itu, Dinasti Syailendra tumbuh dengan dua keyakinan yang berbeda, sebagian memuja Hindu Siwa, sebagian yang lain menyembah Buddha Mahayana. Kedua kubu itu sama-sama kuat, sama-sama hebat, sama-sama besar, sama-sama ingin berkuasa. Sifat serakah ikut menjalar dan tumbuh di dalam pemerintahan kerajaan hingga seiring waktu perang saudara tidak terelakkan. Perang antar keyakinan itu menyebabkan pemerintahan Mataram terpecah menjadi dua. Berdirilah Wangsa Syailendra Buddha yang memimpin wilayah selatan dan Wangsa Syailendra Hindu memimpin wilayah utara. Kemudian, Wangsa Syailendra beraliran Hindu beralih nama menjadi Wangsa Sanjaya.
Puluhan tahun kerajaan Mataram berdiri dengan dua pemerintahan berbeda. Sampai pada masa ketika raja ke-7 Wangsa Syailendra Buddha hendak mangkat, wangsa itu mengalami perang saudara. Kakak-beradik Balaputradewa dan Pramodawardhani saling berebut kekuasaan.
Di tengah peliknya perang saudara yang terjadi di Dinasti Syailendra Buddha, kedua pemerintahan Mataram yakni Dwi Wangsa Syailendra-Sanjaya hendak menyatukan kembali dan ingin memiliki raja yang satu. Untuk menyatukan kedua kubu yang dahulu terpecah karena perbedaan keyakinan itu Pramodhawardhani sang putri dari wangsa di selatan menikah dengan Rakai Pikatan sang Raja Wangsa Sanjaya dari utara yang memeluk agama Hindu Siwa. Dari pernikahan yang megah akan toleransi itu mereka bersama-sama mengalahkan Balaputradewa kemudian berkuasa di tanah Jawa.
Balaputradewa yang telah kalah dari saudarinya dan tidak memiliki hak atas takhta Kerajaan Mataram, melarikan diri ke wilayah Sumatera. Kelak di hari mendatang ia mendirikan Kerajaan Sriwijaya yang besar dan digdaya.
Di Jawa, Rakai Pikatan tidak hanya menikah sekali, ia juga menikah dengan seorang selir bernama Rakai Watan Mpu Tamer. Darinya lahirlah putra bernama Rakai Watuhumalang. Sedangkan dari pernikahan Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani, mereka dikaruniai seorang putra bernama Rakai Kayuwangi dan seorang putri bernama Rakai Gurunwangi.
Setelah bertahun-tahun membawa Mataram mencapai puncak kejayaannya, datanglah suatu masa ketika Rakai Pikatan juga hendak mangkat karena berkeinginan menjadi pertapa. Maka putranya, Rakai Kayuwangi mewarisi takhta Mataram.
Rakai Kayuwangi menjadi raja selama 30 tahun. Sayangnya, pemerintahannya diwarnai dengan berbagai pemberontakan. Salah satu pemberontakan itu berasal dari saudara kandungnya sendiri yaitu Rakai Gurunwangi yang dibantu oleh Dyah Dawendra.
Rakai Gurunwangi berhasil menggulingkan kekuasaan Kayuwangi, sehingga Dyah Dawendra menjadi pemilik takhta Kerajaan Mataram. Ketika Dyah Dawendra naik takhta, pemerintahannya hanya bertahan selama dua tahun, kemudian ia diusir dari istana.
Mengatasi kekacauan itu Rakai Gurunwangi pun naik takhta. Namun ia ternyata kepayahan dengan singgasana Raja Mataram. Tahtanya berhasil direbut oleh salah satu pemimpin daerah Kerajaan Mataram bernama Dyah Balitung. Tak sampai sebulan memerintah, Rakai Gurunwangi minggat dari Mataram.
Setelah penumpasan perang saudara itu, terjadi kekosongan kekuasaan di Kerajaan Mataram selama tujuh tahun. Selama itu pula seluruh kerajaan diliputi ketegangan. Dari puluhan tahun perebutan takhta dan kekosongan pemerintahan yang terjadi di kerajaan Mataram, dapat disimpulkan tidak semua raja yang bertakhta adalah pewaris yang sah.
Setelah 7 tahun itu berlalu, anak dari Rakai Pikatan dan selirnya yang tak lain adalah Rakai Watuhumalang naik takhta. Pemerintahan Watuhumalang dipenuhi keraguan dalam benak rakyat terkait siapa sebenarnya pewaris takhta yang sah. Rakai Watuhumalang memiliki dua orang anak, seorang Putra bernama Mpu Daksa dan seorang putri.
Putrinya kemudian dinikahkan dengan sang pemimpin daerah Watukura yang berhasil menumpas Rakai Gurunwangi dan menjadi pahlawan Mataram. Ialah Dyah Balitung. Setelah menikahi putri raja, Dyah Balitung yang memiliki histori kepahlawanan mendapat kepercayaan yang lebih tinggi di benak rakyat ketimbang Mpu Daksa sang pewaris takhta. Maka Dyah Balitunglah yang akhirnya dinobatkan menjadi Raja Mataram berikutnya. Ia memiliki gelar Sri Maharaja Rakai Watukara Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambu.
Namun, Mataram masih diselimuti keraguan pada raja yang berkuasa. Bertahun-tahun tumbuh dengan kegoyahan di istana membuat mereka tidak mudah mendukung raja baru.
Untuk menghapus keraguan rakyat Mataram dan menjadi seorang raja yang berdaulat penuh, pada tahun 829 Saka atau 907 Masehi, Dyah Balitung memerintahkan untuk membuat sebuah prasasti beraksara dan berbahasa Jawa Kuno yang diukir di atas sebuah lempeng tembaga.
~``.*.``~
Dikisahkan di atas tembaga itu, pada masa pemerintahan Dyah Balitung terdapat lima orang patih yang telah berjasa pada kerajaan. Mereka kemudian mendapat anugerah dan hadiah wilayah sima atau perdikan yang maknanya wilayah yang bebas dari pajak. Wilayah itu berada di Mantyasih sekitar lereng Gurung Sindoro dan Sumbing.
Prasasti itu juga mencatat silsilah raja-raja Mataram sebelum Dyah Balitung yang benar-benar berkuasa penuh atas kerajaan. Raja-raja yang tertulis adalah :
Dengan catatan inilah Dyah Balitung mendapat dukungan penuh atas posisinya sebagai raja Mataram Kuno sejak 9 Juni 898 sampai dengan pertengahan tahun 910 Masehi. Wilayah kekuasaannya mencakup Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan Bali. Mataram kembali kokoh dengan seorang raja yang dianggap adalah pewaris sah. Hingga pada akhirnya tidak ada prasasti yang pernah mencatat akhir dari pemerintahan Dyah Balitung.
~``.*.``~
"Prasasti itu diberi nama Mantyasih, Cu. Sesuai dengan nama Desa Perdikan yang diberikan pada para patih. Kelak Prasasti Mantyasih ditemukan oleh seorang Arkeolog di kampung Mantaseh di Jawa Tengah." Kakekku melanjutkan ceritanya sambil meraih gelas di atas meja. Ceritanya yang panjang pasti membuat tenggorokannya kering.
"Kakek bilang Mantyasih dan Mantaseh memiliki arti beriman dalam cinta kasih. Nyatanya Prasasti itu dibuat untuk memenangkan kursi raja setelah simbah darah perang saudara. Tidak ada cinta-cinta dan kasihnya." Kataku penuh kecewa menanggapi cerita Kakek.
Kupikir ini adalah cerita 'cinta klasik' zaman kerajaan yang keren tak tertandingi seperti di novel-novel, ternyata di balik satu lempeng tembaga itu ada nyawa melayang yang tak terhitung jumlahnya akibat perebutan takhta dan perang saudara.
"Mantyasih menggambarkan jarak ribuan tahun yang panjang antara kehidupan kita dan para pendahulu. Cinta kasih Dyah Balitung terletak pada perjuangannya untuk mengobarkan kembali kejayaan Mataram dengan menebar kasih pada rakyatnya. Bukan cinta-cinta remaja, enak saja!" Kata Kakek dengan pandangan agak kecewa padaku.
"Lalu apa hubungan Dyah Balitung dengan Kakek?" Tanyaku penasaran.
Kakek hanya menggaruk kepalanya tanpa menjawab sepatah katapun. Rasanya aku ditipu dua kali.