Nasruddin sampai di Baghdad, metropolitan yang penuh orang. “Bagaimana orang bisa tidak -hilang- di tempat seperti ini?” pikirnya. Nasruddin memasuki kedai, ingin tertidur sejenak karena mungkin kelelahan.
Masalahnya, ia takut, kalau bangun nanti ia tidak mengenal -siapa- dirinya.
Seorang kawan, setelah mendengar masalah ini, memberi saran, “Ikatkan balon ke kakimu. Kalau kamu bangun, carilah orang yang ada balon-terikat di kakinya. Itulah kamu.”.
Nasruddin mengangguk. Nasruddin tidur.
Ketika ia bangun, ia melihat balon-terikat tadi di kaki kawannya. Nasruddin berseru, “Bangun! Kamu adalah saya. Lantas, ya Allah, siapa saya?”
Cerita ini merupakan “reminder” (pengingat) agar kita selalu awas dengan identitas yang sedang kita kenakan.
Identitas adalah “siapa” diri kita. Sifatnya mudah berubah. Dua jam kemarin kita seorang pekerja, mungkin 2 jam kemudian kita seseorang yang mudah marah karena menghadapi kemacetan.
Kita perlu suatu pengingat, yang sangat kita percaya bahwa itu “benar”.
Cerita tentang balon yang terikat di kaki itu, adalah atribut yang kita kenakan. Entah itu label, ucapan, doa, apa saja, yang tidak bisa terlepas dari diri kita, agar tidak -hilang- di tengah metropolitan yang penuh orang dan godaan.
Itulah cara kita menghargai usaha keras kita dalam membangun identitas.
Credit : Taman Merah