Arah Mata Tenggara
swlsmat tinggal smwa, sy mw ke dunia animeh
2023-11-21 13:01:59 - nasywa
Suara itu menghantuiku.
Gelap ruangan ini mencekik leherku, bayangan seram itu selalu hadir ke dalam lamunanku. Ruangan ini membuatku tak lagi mengenal apa itu cahaya. Aku ingin keluar dari rasa kelam ini, entah ini kegelapan atau kekelaman. Yang aku tahu, hanya rasa bersalah yang tak berkesudahan.
Sudah genap dua tahun semenjak kejadian mencekam itu, aku masih merasa terikat oleh emosi saat itu. Perasaan ini membuat akal pikiranku lumpuh. Aku terperangkap, meski aku selalu berusaha keluar dari sangkar ini. Namun hasilnya nihil, aku selalu saja terjebak dan tak mampu untuk keluar dari rantai ini.
Jakarta, Juni 1998
Lelaki kelahiran Yogyakarta, namaku Tenggara Disegara. Orang-orang biasa memanggilku dengan nama Gara, atau teman temanku biasa memanggilku dengan sebutan “Si Arah Mata Angin”. Entahlah, mengapa mereka memberikanku sebutan itu, mungkin karena namaku Tenggara, jadi orang-orang berpikir bahwa aku dilahirkan menjadi pemandu arah agar tidak mudah kehilangan arah. Namun pada kenyataannya, Tenggara “Si Arah Mata Angin” pun juga merasa kehilangan arah.
Saat ini, aku menjadi salah satu mahasiswa Fakultas Seni di salah satu kampus ternama. Menulis, menulis, dan menulis telah menjadi pelengkap dalam keseharianku. Sering kali aku pergi ke luar hanya untuk mencari inspirasi dari foto yang aku tangkap melalui kamera kesayanganku. Kamera menjadi salah satu penolong untuk membantuku menyampaikan emosi. Atau mungkin caraku mengekspresikan diriku.
Sore ini, aku memutuskan untuk menemui ayahku. Orang bilang, ayahku adalah seorang yang terhormat. Entahlah, bagiku ayahku hanyalah bapak-bapak pada umumnya, yang kebetulan saja ia adalah seorang komandan. Aku juga tidak akan bisa menjawab tentang detail pekerjaan ayahku. Karena aku tak pernah mencari tahu soal itu, itu bukan urusanku. Yang aku tahu, dia adalah orang yang sangat tertutup, keras terhadap semua hal yang ada di dunia ini. Aku memang anaknya, namun bukan berarti sepenuhnya aku mengenal siapa ayahku.
Aku mengetuk pintu. Tak lama kemudian, terdengar suara sepatu delta mendekat ke arah pintu kayu yang aku ketuk ini.
“Apa benar Ayah memanggilku?” aku bertanya setelah melihat wajah laki-laki paruh baya dengan badan jangkung. Setelah mendengar pertanyaanku itu, ia tersenyum tipis.
“Gara, Ayah ingin meminta tolong.” Nada ayah terdengar serius.
“Ayah bisa berterus terang padaku. Aku sangat paham Ayah tak suka berbasa-basi.” Dengan wajah yang datar, aku menjawab ucapan si Komandan.
Komandan itu hanya terdiam. Kedua bola matanya terlihat tajam. Wajahnya memperlihatkan keraguan yang sama sekali tak bisa aku tebak alasannya. Laki-laki itu beranjak dari kursinya, mengambil sebuah foto yang ada di meja kerjanya, lantas meletakkannya di hadapanku. Terlihat seorang perempuan dengan rambut hitam kecokelatan sebahu, senyuman lebarnya juga tercetak jelas di foto itu. Wajah perempuan itu tampak tak asing.
“Ayah ingin kamu ikuti perempuan itu, coba cari tahu apa yang ia lakukan. Maksud Ayah, kau kan andal dengan kameramu itu. Ayah ingin kau bisa mengambil gambar dari semua kegiatan perempuan itu.” Pinta si Komandan dengan wajah yang tetap saja datar, tak berubah sedari tadi.
“Jadi maksud Ayah, Ayah ingin aku memata-matai perempuan itu?” tanyaku heran, untuk apa aku mengikuti perempuan ini. Aku bahkan tak mengenal siapa yang ada di foto itu.
“Hindia, nama perempuan itu adalah Hindia.”
Hindia? Siapa? Aku tak pernah mendengar namanya. Maksudku, apa hubungannya dengan Ayahku? Apa ia adalah simpanan ayahku? Ah, mana mungkin. Ayahku tak pernah tertarik dengan perempuan lagi semenjak ibu pergi meninggalkan kami.
“Kau tak perlu berpikir macam-macam. Perempuan itu bukan milik Ayah.”
***
Aku memutuskan untuk kembali ke kos. Aku dan ayah memang tidak satu rumah karena alasan kuliah. Lagi pula aku juga tidak begitu dekat dengan ayahku. Aku mengingat foto yang ayah berikan padaku. Aku berulang kali memikirkan bagaimana caranya untuk bertemu dengan Hindia saat perjalanan pulang ke kos. Siapa sebenarnya perempuan ini? Bagaimana aku bisa menemukan Hindia?
“Egarrr! Buka pintunya!” Tiba-tiba terdengar teriakan dari luar pintu kamar kosku.
Ah itu pasti si Hendrik. Aku membatin.
Egar adalah nama panggilan untukku dari Hendrik. Dia adalah teman dekatku. Laki-laki kulit sawo matang dengan kedua matanya yang sipit. Aku bertemu dengannya karena kami berdua sering menghabiskan waktu di pinggir jembatan yang ada di dekat kos-kosan kami. Tak seperti hubungan pertemanan yang lain, kami bahkan tidak mempunyai banyak kesamaan. Tapi satu hal yang kami sama-sama suka, langit jingga di sore hari.
Aku bergegas bangkit dari tempat tidur, berjalan membukakan pintu untuk Hendrik.
“Hari ini mau nyore di mana, Rik?” Aku bertanya selagi aku membukakan pintu untuk Hendrik. Aku terkejut. Hendrik datang dengan keadaan yang kusut, lusuh, acak-acakan. Badannya yang sedikit kekar itu penuh lebam. Mata sebelah kirinya bengkak membiru.
“Adikku Gar…” jawab Hendrik dengan suara terbata-bata, badannya terlihat bergetar ketakutan.
“Adikku dihajar aparat Gar.”
“HAH? Dihajar bagaimana maksudmu?” Aku berteriak terkejut.
“Adikku, Hindia. Dia menjadi ketua aktivis dari peristiwa kemarin Mei, aku pikir urusan ini sudah selesai. Namun di belakang, adikku tetap saja berulah. Dia ingin menegakkan keadilan. Dia penuh amarah, tidak terima. Aku dan kedua orang tuaku takut Gar. Kami bingung menghadapi Hindia yang begitu meluap-luap ingin meminta keadilan negara. Dia menyimpan dendam karena toko keluarga kami kini sudah hancur dan dibakar. Papaku disiksa, ibuku dihajar habis-habisan. Kami sekeluarga terpaksa tinggal di kosanku untuk sementara waktu. Lalu aku dikabarkan bahwa Hindia ikut mendemo di depan gedung Negara. Aku tak tahu apa yang ada dipikirkan adikku itu. Aku dan keluargaku tak bisa menahannya.” Hendrik tak bisa membendung air matanya. Terlihat ia sudah berusaha untuk menahan air matanya dari awal.
Aku terkejut mendengar hal itu. Aku tak tega dengan Hendrik. Tak pernah aku melihat dia sepanik dan setakut ini. Aku lebih terkejut karena ternyata Hindia adalah adik dari teman dekatku. Aku bergegas mengambil foto yang ayah berikan padaku. Aku ingin memastikan, apakah Hindia yang ayah maksud adalah adik Hendrik?
“Ini adikmu, Rik?” tanyaku sambil menunjukkan perempuan itu.
“Bagaimana kau bisa mendapatkan foto adikku?” tanya Hendrik dengan heran.
“Aku menemukannya di jalan Rik, entahlah, aku tertarik untuk mengambil foto ini.” Maaf aku harus berbohong kepadamu.
“Jika kau membutuhkan tempat tinggal, kau bisa tinggal di kosanku sampai keadaan membaik. Kau bisa ajak Papa dan Mamamu untuk tinggal bersama di sini. Urusan aku tinggal di mana, itu belakangan. Aku bisa tinggal di rumah Ayahku sampai semua keadaan kembali membaik.” Sahutku dengan harapan bahwa tawaranku akan meringankan beban Hendrik dan keluarganya. Mendengar itu, Hendrik hanya menunduk. Air matanya kini sudah jatuh membasahi pipinya. Aku bingung bagaimana aku mengatasi Hendrik yang penuh kesedihan.
***
Aku membawa semua barang-barangku dari kos, termasuk kamera kesayanganku. Aku juga bilang pada ayah bahwa aku memutuskan untuk tinggal bersamanya karena bayaran kos yang semakin mahal. Dan ayah pun memperbolehkan aku untuk tinggal bersamanya.
“Aku sudah menemukan Hindia, Yah.” Aku mencoba untuk membuka pembicaraan.
“Adik temanmu, kan?” tanya ayah memastikan.
“Jadi, Ayah kenal Hendrik?” Aku mengerutkan kening. Bagaimana mungkin ayah mengenal Hendrik? Aku saja belum pernah mengenalkan temanku ini pada ayah.
“Ya, begitulah. Oh ya! Soal permintaan kemarin, tidak perlu dilanjutkan.” ucap ayah datar lantas meninggalkanku yang saat ini penuh dengan banyak pertanyaan.
Aku bingung dengan kondisi ini. Seolah-olah hanya aku yang tidak tahu apa-apa. Ayah terlalu misterius. Apakah karena aku kurang mengenal ayahku? Situasi ini penuh dengan teka-teki.
Yogyakarta, September 1998
Kini, semua hal berlalu begitu saja, aku sudah melewati situasi rancu itu. Ayah pun juga terlihat merahasiakan hal itu. Selama ini, aku dihantui rasa penasaran. Namun aku memutuskan untuk tidak mencari tahu lebih lanjut. Satu hal yang aku cemaskan, sejak saat itu, setelah dua bulan tinggal di kosku, Hendrik dan keluarganya menghilang entah ke mana. Aku sudah berusaha untuk mencarinya. Namun nihil, pencarianku menjadi usaha yang sia-sia. Seolah ditelan bumi, Hendrik tidak meninggalkan jejak sama sekali.
Ah, mungkin Hendrik pergi mencari tempat tinggal yang lebih aman. Aku menggeleng, berusaha menghilangkan pikiran buruk tentang Hendrik.
Tapi kenapa ia tidak pamit? Suara itu datang tiba-tiba dalam pikiranku.
Ah, sudahlah, mungkin waktu memang tidak memberi kesempatan pada Hendrik untuk bertemu denganku. Aku mengedikkan bahu, berusaha acuh dengan suara-suara lain yang menyusul, keluar-masuk di kepala.
Aku memutuskan melangkahkan kakiku ke ruang tamu, demi mengusir pikiran-pikiran buruk tentang Hendrik, aku akan menonton TV. Entah apa pula yang akan diberitakan, aku tidak terlalu peduli.
“TENGGARA!” Terdengar suara teriakan ayah dari dalam kamarnya. Aku terkejut, sontak berlari untuk menghampirinya.
Mataku terbelalak melihat kamar ayahku penuh dengan kobaran api. Aku buru-buru menghampiri ayahku, namun terlambat. Kayu panas sudah mendahuluiku. Tentu saja aku kalah cepat.
“GARA, TOLONG AYAH!” Suara ayahku terdengar kesakitan. Aku mencoba untuk menyelamatkan ayahku. Sungguh. Ini kali terakhir aku mendengar suara ayahku sebelum akhirnya ayahku menghilang ditelan api sialan itu. Nafasku tak beraturan, asap dari api ini menusuk ke dalam ragaku. Tubuhku seperti mati rasa. Aku tak bisa merasakan apa pun selain rasa panas dari api di sekitarku. Air mataku sudah berjatuhan sedari tadi. Kematian ayah adalah kesalahanku. Aku sibuk mengutuki diriku sendiri.
Tak lama kemudian, rumah kami sudah dikelilingi oleh warga sekitar, mereka berteriak meminta tolong. Beberapa warga juga berusaha untuk memadamkan si jago merah itu. Tapi apa daya, api itu sudah terlanjur membakar seluruh isi rumah kami. Pikiranku sudah kacau, aku juga terjebak di dalam lautan api ini. Aku mencoba berjalan keluar, berusaha untuk mencari jalan. Aku tak peduli lenganku tergores dan bersentuhan dengan api. Aku ingin segera bisa keluar dari sini dan mengakhiri semua ini.
Ketika aku mencari jalan keluar, terdengar suara petugas pemadam kebakaran. Aku dengan segala perasaan bersalahku, Aku dengan semua rasa tak tahu diri. Berlari meninggalkan ayahku sendirian di lautan api itu. Maafkan aku, Yah.
Perlahan aku bisa menghirup lagi udara normal. Mulai kuhirup udara tanpa asap bau sangit dan tanpa rasa panas. Tubuhku gemetar, aku sudah tak punya energi lagi untuk berlari atau bahkan berjalan. Aku merasa tubuhku akan ikut roboh bersama hancurnya rumah ini. Aku terjatuh ke tanah. Tanah penuh abu. Aku berusaha untuk tetap sadar. Dalam posisi tubuhku yang sudah tersungkur ini, mataku yang mulai terasa berat ini melihat sosok laki-laki yang perawakannya sangat familiar. Sosok laki-laki dengan kulit sawo matang dan terlihat kedua matanya yang sipit. Ia tersenyum menyeringai. Mata laki-laki itu terlihat penuh amarah dan dendam.
Jakarta, 2000
Sudah genap dua tahun setelah kejadian menyeramkan itu. Kini aku sudah mulai beraktivitas seperti biasa. Menjadi Tenggara yang sehari-harinya sibuk dengan tugas kuliahnya. Ditambah lagi sekarang aku mengisi waktu luang untuk bekerja di salah satu studio foto kecil yang ada di dekat kampusku. Keadaanlah yang mengharuskanku untuk memenuhi semua kebutuhanku sendiri.
Walaupun aku sudah mencari banyak kesibukan. Tetapi ketika tidak ada seorangpun di sekitarku, rasa bersalah itu selalu datang menghantuiku. Aku merindukan ayahku. Walau kami memang tidak sedekat itu. Benar kata orang, “Terkadang kamu harus kehilangan seseorang sebelum akhirnya menyadari betapa berartinya seseorang itu di kehidupanmu.”