Ayah, Ini ke Mana Arahnya?
sambil dengerin musik "ayah ibu" karnamereka
2025-09-17 13:56:04 - ラフィーにはフレイヤがいる🤙😝
Sudah lama aku nggak nanya arah ke siapa-siapa. Dulu, tiap kali bingung, aku tinggal nengok ke samping. Ada ayah. Kadang jawabannya cuma anggukan, kadang cuma senyum, kadang cuma tangan yang nunjuk ke depan. Tapi itu cukup.
Sekarang, aku udah dewasa. Punya rumah sendiri, kerja sendiri, hidup sendiri. Tapi ada satu hal yang nggak pernah bisa kulakukan sendiri: menjawab pertanyaan yang dulu paling sederhana.
“Yah… ini ke mana arahnya?”
Aku bertanya itu lagi, malam ini. Di kamar yang sepi, di antara tumpukan kerjaan dan suara jam dinding yang nggak pernah berhenti. Nggak ada yang jawab.
Ayah sudah nggak ada. Sudah bertahun-tahun. Tapi rasanya baru kemarin aku lihat beliau duduk di teras, menyeruput kopi, sambil bilang, “Kalau bingung, jangan berhenti. Jalan saja pelan-pelan.”
Aku jalan pelan-pelan. Tapi rasanya nggak sampai-sampai.
Kadang aku menyetir jauh, tanpa tujuan. Lewat jalan-jalan yang dulu pernah kita lewati bareng. Lewat warung yang dulu sering kita singgahi. Lewat masjid kecil tempat ayah dulu suka duduk lama setelah salat.
Dan di tengah semua itu, aku bertanya lagi: “Yah… ini ke mana arahnya?”
Dulu, arah itu sederhana. Ke sekolah, ke pasar, ke rumah nenek. Sekarang, arah itu rumit. Ke masa depan yang nggak pasti, ke keputusan yang berat, ke hidup yang kadang terasa kosong.
Aku pernah coba cari jawabannya di buku, bertanya ke orang-orang pintar di seminar motivasi. Tapi nggak ada yang bisa jawab kayak ayah dulu. Jawaban yang nggak ribet, tapi bikin tenang.
Aku buka lemari tua di rumah lama. Ada jaket ayah yang masih tergantung. Masih ada baunya. Bau hujan, bau kopi, bau pelukan yang nggak pernah aku dapet lagi.
Di saku jaket itu, aku menemukan kertas kecil. Tulisannya sudah pudar, tapi masih bisa kubaca: "Kalau kamu bingung, jangan cari arah di luar. Cari di dalam."
Aku duduk lama. Nangis pelan. Nggak karena lemah, tapi karena rindu.
Rindu dituntun. Rindu ditenangkan. Rindu ditatap dan dibilang, “Kamu nggak sendiri.”
Sekarang aku sendiri. Tapi mungkin nggak sepenuhnya. Karena di setiap langkah yang aku ambil, ada jejak ayah yang nggak pernah hilang.
Dan meski aku masih sering bertanya, “Yah… ini ke mana arahnya?” Aku mulai mengerti, bahwa arah itu bukan soal tempat. Tapi soal keberanian buat terus jalan, meski nggak tahu ujungnya.
Dan ayah, meski sudah nggak ada, tetap jadi kompas yang diam-diam bekerja. Di hati. Di ingatan. Di setiap keputusan yang aku ambil dengan gemetar.