Pergi Bersama, Pulang Tanpa Siapa
“Dharma! Dharma!” teriak seseorang berkaki jenjang jauh di sana sambil berlari menghampirinya.
Walau dalam keadaan penuh dengan reruntuhan, Dharma menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari sumber suara itu.
“Yu! Bayu!” teriak Dharma menemukannya.
“Kamu harus dengar Dhar! Kamu harus percaya sama aku Dhar!” ujar Bayu dengan napas terengah-engah.
“Lian….Lian…kemana sekarang dia?!” Bayu mengeraskan suaranya agar terdengar di tengah kebisingan kota.
…
Kala itu kota dilanda hujan, hujan yang tak henti-hentinya turun, air dari parit mulai keluar menyamai jalan kota.
“Pluk!Pluk!pluk!” suara kencang dari cipratan kaki anak muda.
Dharma, Dharma Putra lengkapnya, anak laki-laki asli Surabaya itu berlari ditengah hujan, dengan tas di kepalanya, ia tak lagi menghiraukan keramaian jalan.
“Emak!” panggil Dharma setelah sampai di depan pintu toko.
Tanpa cerita sepatah katapun Emak langsung membawakan teh hangat dan bergegas menyuruh Dharma mandi.
“Kenapa baru pulang?” tanya Emak selepas Dharma mandi.
“Tadi tanding bulu tangkis sebentar mak, malah lupa waktu” jawabnya sembari menggaruk tengkuk kepala yang tidak gatal.
“Kamu kok malah jadi seneng bulu tangkis, bukannya katanya mau belajar yang rajin biar nanti bisa masuk ke sekolah yang di Jakarta itu?” tanya Emak lagi dengan nada bercanda.
“Dharma, mau ganti Mak, Dharma mau jadi pemain bulu tangkis, biar bisa wakilin Indonesia lawan mereka yang matanya sipit itu” balas Dharma sambil memperagakan matanya yang menyipit. Emak tertawa.
“Bisa ya berubah-ubah gitu”
“Bisalah Mak” Dharma membalas dengan tawa kecil.
Setelah mengobrol, Emak kembali menjaga warung soto yang berada di depan rumah. Dharma melipat satu tangannya, dan satunya ia jadikan tumpuan, dengan tertawa kecil di barisan meja belakang, ia melihat Emak dan Bapaknya bercanda sambil menyiapkan dagangan selanjutnya.
Malamnya Emak menyampaikan apa yang Dharma bilang tadi siang kepada Bapak. Alih-alih Bapak menolak dan tidak setuju, justru sebaliknya yang membuat Emak membulatkan matanya dengan sempurna.
“Lho?! Ya udah kalau gitu kita carikan Dharma sekolah di Jakarta, kita seriusin sekalian” jawab Bapak.
“Bapak beneran?! Nanti kalau Dharma kenapa-napa? Dharma sendirian lho pak” dengan halus Emak menyuruh Bapak berpikir dua kali.
“Dharma itu udah besar Mak, umurnya udah sebelas tahun” balas Bapak sambil memegang kedua pundak Emak.
Emak menghela napas. Sementara di balik tirai dapur Dharma diam-diam mendengar pembicaraan mereka. Rasa senang dan sedih itu kini campur aduk, bagaimana jika Bapak benar akan perkataannya? Bagaimana jika ia memang benar akan pergi ke Jakarta? Informasi yang seharusnya tidak ia dengar, kini membuatnya gelisah dalam tidurnya.
Besoknya Bapak tidak ada di warung.
“Mak?! Bapak mana mak? Sekarang kan hari libur, Bapak malah gak dirumah?”
Emak yang sedang duduk merajang sayuran untuk soto nanti sore diam tidak menjawab.
“Emak?” Dharma memanggil Emaknya yang ada di depannya.
Emak menghela napas.
“Bapakmu itu serius mau cariin kamu sekolah di Jakarta, katanya punya kenalan, namanya Pak Sigit. Rumhanya di ujung belokan sana” Emak angkat bicara.
“Pak Sigit? Yang jadi langganan soto Emak itu kan?” Dharma memastikan.
“Iya Dharma, Pamannya Lian Sari itu lho yang suka main sama kamu” Emak menoleh dengan mata lemas.
Dharma semakin keheranan, kenapa Bapak sangat ingin mencarikan sekolah, padahal baru satu hari setelahnya Emak bercerita, kenapa terburu-buru?
Dari jauh suara pintu terdengar.
“Bapaaak!” Peluk Dharma menghampirinya.
“Eh sini sini, ada yang manu bapak ceritain” Bapak mengisyaratkan dengan tangannya.
“Lusa besok to, kamu pergi bareng Lian ke Jakarta ya, sekolah bulu tangkis, nanti sambil belajar juga di sana” ucap Bapak.
Tidak tahu harus bersikap bagaimana, bukannya bahagia, Dharma malah menangis, Emak pun langsung berdiri menghampirinya.
“Lho kok nangis nak?” tanya Emak.
“Bapak pengen Dharma pergi ya? Kenapa buru-buru?” Dharma tanpa kepala dingin dengan pikiran buruknya mengatakan hal itu.
“Gak gitu nak, Bapak tuh sayang banget sama Dharma, dari awal Bapak emang pengen nyekolahin Dharma di luar kota, tapi belum kepikiran, waktu Dharma cerita ke Emak, baru Bapak kepikiran, katanya Lian juga mau kesana, jadi nanti Dharma gak sendirian” Balas Bapak dengan nada rendah.
Dharma masih saja menangis. Namun, mau bagaimanapun juga menangis tidak akan merubah keadaan. Walau hanya hilir mudik keluar kamar saja waktu bergerak cepat, lusa yang dikatakan Bapak kini sudah tiba.
Sebuah tas besar kini sudah ada di tangan Bapak, peralatan lainnya juga sudah terkumpul di dalam satu tas. Mereka sudah berdiri didepan pagar rumah. Melambaikan tangan pada Emak yang sedang berada di ambang pintu. Setelah jalan beberapa langkah, Dharma kembali memutar badan dan berlari memeluk Emak yang masih di ambang pintu.
“Jangan lupa kirim Soto ke Jakarta ya Mak”
Emak hanya tertawa sambil mengelus kepala Dharma.
Butuh waktu lama untuk sampai ke Jakarta, namun benar apa kata Bapak, ia akan benar-benar belajar bulu tangkis disana. Lapangan penuh dengan net itu yang menyambutnya lebih dulu.
Lian sari yang ikut bersamanya ikut tertawa lebar.
“Lian, Dharma, kalian baik-baik ya, jaga satu sama lain, buat Emak sama Bapak bangga ya!” kata Bapak sambil memegang tangan mereka berdua.
Setelah perpisahan yang tidak enak itu, bumi tidak pernah berhenti berputar, sehingga waktu terus bertambah, Lian dan Dharma terus tumbuh. Keterampilan mereka dalam bermain bulu tangkis meningkat, sehingga tujuh tahun setelahnya Lian dan Dharma berhasil memasuki persiapan sebagai Tim Nasional. Tentunya merekalah yang akan mewakili Indonesia dalam pertandingan selanjutnya. Tak butuh waktu lama dalam beradaptasi, mereka dengan mudah memenangkan piala Soedirman dan akan berlanjut pada pertandingan selanjutnya.
Selama sekolah, mereka dekat dengan salah seorang asli Surabaya juga, bernama Bayu Laksana. Namun, terkadang perkataan Bayu sering kali asal dalam bercanda apalagi ketika membawa candaan anti Tionghoa.
Namun Lian yang keturunan asli Tionghoa tidak mempermasalahkan hal itu, akan tetapi ada hal lain yang membuatnya gelisah walau sudah memenangkan beberapa pertandingan kecil, masih ada satu hal yang mengganjal di lubuk Lian.
Lian tak habis pikir, sehingga menyempatkan duduk di kursi di pinggir lapangan. Tanpa perintah, seperti Emaknya, Dharma menghampiri Lian, yang merasa ada yang tidak beres dengannya.
“Kenapa kamu Lin? Biasanya ceria kok malah murung” Tanya Dharma sambil menyodorkan sebotol minuman dingin.
“Gimana ya…menurutku ini masalah besar, tapi bisa jadi menurutmu masalah kecil” jawab Lian sambil menghembuskan nafasnya.
“Lho ya gak papa, kan kita harus berbagi, berbagi kesedihan juga, orang kita kesini bareng-bareng, berarti apapun itu keadaanya harus dirasain bareng-bareng” balas Dharma, sambil membersihkan keringatnya.
“Aku itu bimbang Dhar. Sampai sekarang aku masih belum dapat surat kewarga negaraan, nanti medali yang aku dapat jadi gak sah atas nama Lian Sari, bahkan bisa jadi juga bukan milik Indonesia”
“Hmm…makanya itu Lian, kita harus menang di Thomas Cup nanti, biar urusan kita bisa dipermudah” jawab Dharma, berharap menenangkan hatinya.
“Semoga aja bener kayak gitu Dhar” Lian dengan nada pasrahnya.
“Ya udah yuk, jangan lama-lama, latihan lagi” Dharma berdiri menepuk pundah lian dan menjulurkan tangannya. Lian tertawa kecil dan kembali latihan.
Saking menikmatinya, waktu menjadi tak terasa, tahun 1998 itu tiba, Thomas Cup segera di gelar, Dharma, Lian dan Bayu ikut serta dalam perwakilan Indonesia. Namun takdir berkata lain.
Kala itu Indonesia sedang krisis, kerusuhan dimana-mana, demo besar-besaran terjadi, polisi pun tak mampu menahan masyarakat yang semakin banyak bergabung. Parahnya mereka membakar seluruh harta kepemilikan etnis Tionghoa. Mobil-mobil yang bermerk cina itu di bakar di jalan, mereka menyerbu ruko dimana-mana, asap hitam telah memayungi Jakarta. Teriakan terjadi dimana-mana. Mereka percaya bahwa etnis Tionghoa menjadi pusat permasalah ekonomi di Indonesia.
Lian takut akan hal itu melanda dirinya, namun Dharma tetap menenagkannya. Keringat dingin itu kini membasahi tubuh Lian, tangannya gemetar memegang tangkai raket. Dharma tetap menguatkan Lian.
Namun Bayu, ternyata candaan yang Bayu lontarkan bukanlah gurauan belaka, melainkan ia benar, kerusuhan itu menghasut hati Bayu untuk membenci Lian.
Disamping itu Lian meminta izin untuk menyendiri menengkan dirinya, sebelum pertandingan dimulai.
“Dharma! Dharma!” teriak seseorang berkaki jenjang jauh di sana sambil berlari menghampirinya.
Walau dalam keadaan penuh reruntuhan Dharma tetap mencari menoleh kanan kiri sumber suara itu.
“Yu! Bayu!” teriak Dharma menemukannya.
“Kamu harus dengar Dhar! Kamu harus percaya sama aku Dhar!” Ujar Bayu dengan napas terengah-engah.
“Lian….Lian…kemana sekarang dia?!” Bayu mengeraskan suaranya agar terdengar di tengah kebisingan kota.
“Butuh tenang!” teriak Dharma.
“Ha?”
“Butuh tenang!” teriak Dharma Sekali lagi. Dharma menarik tagan Bayu mengajaknya masuk ketempat yang sedikit redam suara. Dharma memberi kode “Apa?”.
“Percayalah sama aku Dhar, Lian itu penghkianat, dibelakang kita dia berani nyuap panitia biar dia jadi pemenang, kamu gak heran apa Dhar? Lian itu sering dapat medali emas, kamu gak curiga Dhar?”
Mendengar perkataan sahabatnya, Dharma tidak percaya.
“Apaan si Yu!, aku kenal Lian dari kecil, dia gak mungkin kayak gitu, dia bisa menang karena memang dia bisa, Yu, kamu yang harusnya percaya sama aku! Jangan bilang gara-gara ribut diluar sana pikiranmu jadi kayak gini!” Dharma menaikkan suaranya, sambil menunjuk kepala Bayu dengan telunjuknya.
Bayu mengacak-ngacak rambutnya.
“Dharma!” teriak Bayu, membuatnya mundur satu langkah.
“Aku juga udah lama kenal kamu sama Lian, kamu kalau mau bukti tanya langsung sama Lian, berani? Gak kan? Dasar kamu itu lemah Dharma!” Bayu memuncak, meninggalkan Dharma sendirian.
Tak hanya Lian, kini mereka bertiga dipenuhi beban pikirannya masing-masing. 10 menit sebelum pertandingan dimulai, Dharma dan Lian bertemu, kali ini Dharma hanya melewatinya, Lian kembali kebingungan.
Pikiran yang menggagu mereka membuat pertahanan mereka melemah, mereka tidak bisa fokus terhadap pertandingan, sehingga hanya pulang dengan medali perak.
Sempat Dharma dan Lian terpisah ketika hendak kembali kedalam bus, karena masyarakat melihat Lian yang bermata sipit dan menyerbunya, melemparnya dengan telur, memukulnya, dan untungnya Dharma masih berbaik hati, tidak lama Lian didalam kerumunan Dharma menggapai tangannya, dan berlari kedalam bus.
Tidak habis, bus yang dinaiki Lian kembali dilempari telur dan di pukul oleh warga, Lian hanya bisa menangis dalam diamnya.
Sesampainya diasrama, Dharma memberhentikan langkah Lian. Mengajaknya ke taman kesukaan mereka ketika sedang rehat.
Masih dengan baju jersey bertulisan “Indonesia” mereka duduk dan Dharma menjelaskan semua perkataan Bayu.
“Benar Lin? Pastikan aku bahwa Bayu salah, ayo Lin” Dharma memagang tangan Lian berharap ia menjawab dengan cepat.
Dengan kedaan yang mulai tenang, kini pipi Lian sempuran basah oleh air matanya, Dharma menyimpulkan apa yang dipikirkan Bayu benar, ia melepas genggam Lian menarik nafas panjang.
“Kalau masalah memberi uang, yang di bilang Bayu benar Dhar. Tapi itu bukan suap-menyuap, kamu tidak tahu itu Dhar”
“Kenapa kamu gak cerita si Lin? Apa susahnya cerita Lin?” Jawab Dharma tanpa menoleh.
“Lian Hua….itu…adikku…dia ikut kala itu jadi panitia, entah, aku pun belum berbalas surat dengannya lagi, aku tidak tahu pasti bagaimana ia bisa ikut dan duduk bersama para panitia disana” ucapnya terisak.
Dharma menoleh.
“Hua tinggal di Surakarta, kami hanya bisa berbalas surat, setiap kali dapat uang, aku beri separuhnya untuk Hua, aku harap bisa membantu kesendiriannya di sana, itulah kenapa setiap tengah malam aku keluar asrama, maafkan aku jika itu mencurigakan”
Kini Dharma memeluknya, entah kini yang benar siapa, tapi kini ia ikut bersedih. Setelah cerita panjang lebar itu. Bayu kembali bertemu dengan mereka berdua, dan Lian dengan pelan menceritakan semuanya.
Namun ternyata itu cerita terakhir dari Lian, Lian pergi ke Surakarta untuk menjempun Hua, Dharma menemaninya, benar, badan Lian Hua lebih besar dari Lian Sari, bahkan terlihat seperti Hua lah kakaknya.
Karena surat kewarganegaraan Lian tidak kunjung keluar, padahal sudah empat tahun Lian menunggu proses itu, akhirnya Lian menyerahkan medalinya untuk disimpan oleh Dharma.
“Kenapa memang Lin?”
“Aku mau pulang Dhar, terimakasih ya Dhar, sudah percaya sepenuhnya” jawab Lian
“Di tengah siang bolong gini masih sempat kamu bercanda Lin” Dharma menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu.
“Aku serius Dhar, keluargaku menunggu kepulangan ku, lebih baik aku jadi warga negara cina dan diakui disana”
“Tapi bagaiman jika ternyata kamu susah kembali ke Indonesia?”
“Maka dari itu, teruslah jadi perwakilan Indonesia, lawan aku untuk pertandingan selanjutnya Dhar, hanya itu cara termudah untuk kembali bertemu. Aku pamit Dhar, termikasih tumpangannya” jawab Lian
Lian Hua yang disampingnya, membungkuk pertanda pamit.
Kini Dharma tinggal sendiri menapat bayang mereka yang segera menghilang.
Teman yang ia kagumi sejak kecil, yang selalu ia temani, yang selalu berbagi cerita, hanya dengan memendam satu cerita sendirian hampir membuat persahabatan mereka pecah, dan kini tanpa pengakuan negara mereka memutuskan untuk pulang ke negara asalnya.
Selanjutnya Dharma berdiri dengan misi mempertahankan dirinya sebagai pemain Naisonal bulu tangkis Indonesia dengan tujuan medali dan kembali bertemu dengan sahabatnya.
TAMAT