Jejak perjuangan pahlawan bangsa di tanah Semarang.
Pagi ini udara terasa lembap, daun-daun masih basah terkena embun, dan dari jauh aku melihat secercah sinar matahari mulai muncul di balik bukit kecil tempat bangunan peninggalan berdiri. Tertulis di atas pintu yang ada pada bangunan tersebut “Brongebouw Moedal”, orang desa menyebutnya tuk mudal.
Namaku Asna, aku tinggal di desa kecil dekat Gunungpati, Semarang. Tahun ini, 1945, ketika orang bilang negara kita sudah merdeka. Akan tetapi, aku ragu akan hal itu, beberapa minggu terakhir aku masih mendengar suara tembakan. “Kalau benar sudah merdeka, kenapa masih ada perang?” pikirku. Aku yang masih sibuk dengan pikiranku, tiba-tiba mendengar suara dari dapur.
“Asna, tolong bantu ibu, Nduk!” aku segera membuang jauh-jauh pikiran yang masih berlalu-lalang di kepalaku, segera menuju dapur menghampiri ibu. Kulihat ibu sedang sibuk menata makanan yang terbungkus oleh daun pisang. “Ada apa, Bu? Butuh bantuanku mencari bahan yang kurang?” tanyaku sambil mendekat. “Tidak, Nak. Ibu mau kamu mengantar makanan-makanan ini”.
“Mengantar ke mana Bu? Makanan sebanyak ini untuk siapa saja?” tanyaku.
“Bawakan ini ke bapakmu dan para pejuang di gubuk sawah tempat mereka biasa istirahat ya, Nduk!” Jawab ibu sambil memberikan bakul berisi singkong rebus dan makanan yang telah disiapkannya sejak pagi.
Aku pun segera keluar rumah membawa bakul itu dan berjalan melewati sawah. Di tengah hamparan sawah, terlihat orang-orangan sawah yang berdiri tegak dengan tangan lurus, seperti menggantikan manusia. Ada yang berbeda dari orang-orangan sawah tersebut. Mereka tidak memakai caping ataupun pakaian yang sobek-sobek, melainkan jaket lusuh militer yang membuat mereka terlihat seperti manusia.
Semakin dekat aku berjalan, orang-orangan sawah itu terlihat semakin jelas dan sepertinya itu bukan sekedar orang-orangan sawah yang dipasang untuk menakut-nakuti hama, mereka sengaja ditempatkan di titik-titik tertentu. Tidak jauh dari situ, aku melihat beberapa pria duduk di sekitar gubuk kecil. Diantaranya, aku melihat bapakku yang sedang duduk berbincang dengan beberapa rekannya di sana dan segeralah aku menghampirinya.
Bapak melihatku dan menghentikan percakapannya. “Nduk, kok kamu di sini?”
“Ibu menyuruhku membawakan makanan ini, pak.” aku mengangkat bakul yang kubawa dengan perlahan. Belum sempat bapak menjawab, seorang pria datang dan berdiri di sudut gubuk.
Bapak langsung memperkenalkan orang itu sebelum kutanya. “Asna, ini Komandan Soediarto.”
“Beliau yang memimpin jalannya perlawanan di sini, semua strategi dan keputusan berada di bawah komandonya.”
Komandan Soediarto tersenyum kecil dan berkata, “Berani sekali datang sendirian kamu, Nak”
Aku hanya bisa tersenyum kaku, bingung harus membalas bagaimana.
“Tapi terima kasih ya, yang kamu bawakan ini sangat berarti untuk kami yang sedang kelaparan ini.”
Aku meletakkan bakul. Tatapanku kembali tertuju pada orang-orangan sawah di kejauhan. “Komandan, kenapa orang-orangan sawah itu memakai baju tentara?” tanyaku memberanikan diri. Komandan Soediarto menunjuk ke arah Brongebouw Moedal dan berkata, “Mereka itu bagian dari strategi kita, Nak”.
“Bagaimana caranya?” tanyaku penasaran. "Musuh menguasai Semarang sejak Oktober, dan target kita ada di sana, di tuk mudal itu.” Aku menengok ke bangunan tua Brongebouw Moedal yang di sekelilingnya terdapat pagar kawat yang berduri. “Tempat itu dijaga ketat, di situlah sumber air Semarang. Kalau air itu berhenti, mereka pastinya akan panik dan pergi ke sini.”
Komandan Soediarto menunjuk ke arah deretan orang-orangan sawah. "Orang-orangan sawah itu, mereka diletakkan bukan untuk sekedar menakut-nakuti hama, tetapi juga untuk menakut-nakuti musuh. Mereka itu umpan. Kalau musuh datang mengejar kita, mereka akan melihat orang-orangan sawah itu di depan, dan mereka akan berpikir itu pasukan kita.”
“Bagaimana bisa orang-orangan sawah itu akan mengelabui mereka, Komandan?”
“Kita tarik talinya, gerakannya akan membuat musuh menembak ke arah orang-orangan sawah itu tanpa tahu bahwa di belakang sana ada kawanan mereka sendiri.”
“Kemudian apa yang akan terjadi?”
“Mereka akan menembaki kawan mereka sendiri”
Tak lama setelah itu, terdengar dentuman keras dari jauh. Aku menelan ludah. Bapak yang sadar bahwa aku sedang ketakutan langsung mengusap pundakku dengan perlahan.
“Tidak usah takut, Nduk. Kadang perang memang terdengar lebih menakutkan daripada kenyataannya.”
“Tapi nanti Bapak akan pulang kan?” tanyaku dengan suara yang sedikit bergetar.
“Bapak tidak mau berjanji apa-apa padamu. Doakan Bapak dan para pejuang lainnya selamat, itu saja Nduk, Bapak minta tolong.”
Mendengar bapak berkata seperti itu, aku langsung memeluknya. Dalam hati, aku berharap kalau ini bukan pelukan terakhirku dengan bapak. Bapak mencium keningku dan mengusap kepalaku. Ia memberikan tatapan seolah-olah…
Tatapan bapak kali itu, sedang berusaha meyakinkan anaknya bahwa semua akan baik-baik saja.
“Asna, tunggu di sini ya Nduk. Jangan kemana-mana, tunggu sampai ada yang jemput!”
Bapak berbalik badan dan mulai berjalan bersama Komandan Soediarto dan para pejuang yang lain. Aku meremas bajuku erat-erat, mencoba mengatur napas.
Baru beberapa langkah, aku mendengar suara Komandan Soediarto berteriak lantang kepada pasukannya. Duar! Suara dentuman terdengar sangat kencang. Aku menutup telinga, tetapi suara itu terlalu besar untuk dihindari. Beberapa menit setelahnya, suara tembakan menjadi tak karuan. Aku mendengar beberapa teriakan manusia. Perang saudara di antara musuh berhasil dilakukan berkat ide cerdas Komandan Soediarto.
Dengan penuh rasa khawatir, aku masih menunggu di gubuk kecil, mengingat pesan terakhir yang diucapkan oleh bapak sebelum melangkah bersama pejuang. Langkah kaki mulai terdengar, para pejuang telah kembali. Di antara kerumunan para pejuang, pandanganku mencari sosok yang paling aku tunggu, Bapak.
Komandan Soediarto ada di antara mereka. Ia melihatku, namun matanya penuh duka.
“Komandan!” panggilku. “Bapak mana?”
Komandan Soediarto memegang bahuku, tangannya bergetar dan kulihat beberapa pejuang di belakang menunduk. “Asna, bapakmu telah berjuang sampai akhir.”
Satu kalimat itu terasa seperti mimpi. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku, tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Komandan Soediarto.
Satu hal yang terlintas di pikiranku saat itu hanyalah…
Selama aku masih mengingat suara bapak dan wajahnya sebelum pergi, maka ia belum benar-benar jauh. Ia hanya sedang menunggu untuk bertemu denganku di tempat yang lebih baik.
Perihal pertanyaanku tentang “Tapi nanti bapak akan pulang kan?” terjawab sekarang.
Bapak pulang ke tempat yang lebih baik, untuk selamanya.
Sumber:
https://radarsemarang.jawapos.com/features/724556755
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/910158
Sebuah cerita fantasi karya Aviva Octavia