Cerita misterius di balik sejarah kelam bangsa
“Sungguh malang.” ucap Bapakku, seorang perwira tentara. Beliau mengatakannya sambil menyeruput kopi hangat di ruang keluarga. Aku yang baru saja pulang sontak bertanya “Berita duka apa lagi hari ini Ayahanda?”, Bapak menjawab dengan nada campur antara sesal dan murka “Satu lagi anggota PERS hilang. Temanmu, Tono.” Seketika itu, aku berlari dan menutup kamar, bersandar di balik pintu dan mengenang masa lalu. Tanpa sadar, air mataku menetes, tanda duka dan murka yang membara di tengah kerusuhan 1998 ini.
Dua tahun lalu, aku tanpa sengaja menemukan seorang wartawan di balik kamar mandi sekolahku. Aku yang panik dengan spontan berlari, namun orang itu menarikku dan memintaku merahasiakan misinya. Ia adalah Tono, anak seumuranku yang menjadi wartawan untuk menghidupi keluarganya. Aku yang penasaran menanyakan beberapa pertanyaan, dengan antusias Tono pun menjawabnya. Itulah pertama kali aku berbicara dengan Tono dan kami pun menjadi sahabat.
Hari demi hari kami semakin akrab. Aku membantu Tono dengan memberi tahunya beberapa tempat persembunyian yang lebih cocok. Tono pun memberi tahuku berita terkini sehingga aku bisa memberi berita yang lebih cepat untuk berjaga-jaga apabila terjadi kerusuhan di daerah tempat tinggalku. Kadang kala matahari senja menjadi cahaya yang menyinari jalan kita sembari bercengkrama, atau sekedar bersenda gurau. Persahabatan kami tumbuh tanpa memandang latar belakang satu sama lain.
Sabtu, 4 April 1998. Tono memberitahuku bahwa penembak misterius sedang mengincar para wartawan. Ia pun bercerita bahwa ia termasuk ke dalam daftar target saat sedang mengintip ke markas tentara melalui kaca ventilasi. “Jaga dirimu, sembunyi! Aku tak ingin melihat kabar buruk tentangmu!” Bentakku. Tono hanya tersenyum dan menjawab “Aku ini lincah, percayalah padaku. Kerusuhan ini akan berakhir berkat jasaku, dan namaku akan dikenang.”. Aku menahan ekspresi sedihku dan meninggalkan Tono tanpa berpamitan. Tak kusangka hari itu adalah hari terakhir aku melihat wajahnya.
Aku merenung di balik pintu, air mata masih mengalir deras, umpatan pada pihak tentara terus kulantunkan hingga bapakku mendobrak pintu dan membentakku “Untuk apa kamu mendukung wartawan yang menggerogoti pemerintahan kita?!”. Aku membalas bentakan itu “Apa gunanya pemerintah jika suara rakyat masih tak didengar?! Lantas menyebar berita faktual justru dianggap oposisi?!” Tanganku membanting pintu dengan keras hingga suara kusen pintu yang retak terdengar jelas.
Aku mengambil buku catatanku, aku teringat bahwa temanku pernah berkata bahwa jika aku pergi ke gereja tua di dekat bukit dan menyalakan dupa, hal itu akan mengkoneksikan dimensi manusia dan roh. Aku pergi melalui jendela kamarku dengan membawa uang jajan sisa untuk membeli dua puluh dupa dan pergi ke gereja tua tersebut. Aku menyalakan dupa tersebut namun terus-terusan gagal mengkoneksikan dimensi manusia dan roh. Aku tak berputus asa, aku terus mencoba hingga tersisa satu dupa.
Dupa terakhir menyala, hawa tak biasa menyelimuti sekelilingku bersamaan dengan tenggelamnya matahari senja. “Sangat inginkah kamu bertemu denganku?” Terdengar suara yang tak asing di telingaku, itu suara Tono. Aku melompat bahagia karena bisa bertemu dengan Tono. Ia pun mengatakan bahwa aku tidak perlu khawatir, ia sudah tenang berada di alam roh. Tono memamerkan kemampuannya “Kini aku bisa terbang bebas,” katanya, “Aku tidak perlu lagi sembunyi untuk mendengar perbincangan para tentara.” lanjutnya. Air mataku berhenti mengalir “Syukurlah jika kamu bahagia.” kataku bersamaan dengan senyum yang kembali mekar setelah ditelan kesedihan.
Aku kembali ke rumah, bapakku masih belum mau melihat wajahku. Aku mengambil langkah lurus menuju kamarku dan merebahkan diri. Aku menghitung uang jajanku dan menyisihkannya untuk membeli dupa. Aku sedikit tertawa mengingat tingkah lucu Tono saat ia sudah menjadi roh.
Keesokan harinya setelah sekolah aku kembali ke gereja tua, menyalakan dupa, berkomunikasi dengan Tono, bersenda gurau, dan kembali ke rumah. Hari-hari berlalu dengan kegiatan rutin yang sama. Namun sayangnya hal itu tak bertahan lama, belum sampai sebulan sejak aku bisa kembali berkomunikasi dengan Tono, hal tak menyenangkan terdengar di telingaku. Orang tua Tono menderita sakit karena terlalu keras memikirkan Tono, mereka pun tak memiliki penghasilan karena ditinggal oleh Tono, satu-satunya tulang punggung keluarga.
Aku mendatangi gereja setelah pulang sekolah dan menyalakan dupa, “Tono!” teriakku. Tak berselang lama Tono datang menghampiriku dan menanyakan apa yang terjadi. Aku menjelaskan bahwa orang tuanya sangat khawatir hingga jatuh sakit. Tono ingin menangis, namun sebagai arwah, ia tak mampu menyalurkan emosinya, “Maafkan aku, aku pergi tanpa berpamitan.”. Tono menceritakan kronologi kejadian pembunuhannya. Tono bercerita bahwa ia melakukan tugasnya seperti biasa, menyelinap ke markas tentara, mendapatkan informasi, dan segera kabur. Namun pada hari itu ia tak sengaja terjerat akar beringin yang ada di teras markas tentara tersebut, ia berusaha melarikan diri namun ia sudah terjebak, cahaya terang dari senapan nampak di sudut bangunan dan seketika ia pun kehilangan nyawa tepat di sana.
Tono juga mengatakan bahwa ia sampai sekarang belum mengetahui di mana jasadnya. Ia hanya ingat bahwa ia tak diperlakukan selayaknya mayat pada umumnya, ia hanya dibungkus dua lembar daun pisang dan dikuburkan entah di mana. Hal itu mengejutkanku, aku berlari tanpa mengatakan salam perpisahan pada Tono. Detik itu, aku bertekad bahwa aku akan menemukan mayat Tono, dan memberikan bukti nyata pada dunia atas kekejaman yang terjadi di negara ini.
Sejak itu hariku tak lagi sama. Guruku bertanya pada seisi kelas “Alpa lagi? Dasar anak itu.”. Ibuku berkata “Ini bocah tiga hari hilang. Coba balik, kutimpuk juga palanya.”. Temanku bertanya “Mana nih pivot andalan, hari gini bukannya ikut sparing malah hilang.”. Ya, aku kabur dari rumah dengan bekal seadanya dan mulai berkeliling kota, mencari jejak yang tersisa. Aku tak peduli teriknya mentari atau tusukan angin dingin di malam hari, derasnya hujan kuhadapi, bahkan penembak misterius yang menjadi berita hangat tak sedikitpun aku gubris. Tujuanku satu, mencari mayat Tono.
Aku mencari di setiap sudut kota, tong sampah, sungai, dan rumah tua. Hasilnya nihil, tak sedikitpun jejak kudapatkan. Di tengah kebingungan itu aku beristirahat di bawah pohon besar di taman kota.
“Hidup itu tak adil ya?” Ucap seorang gadis keturunan cina yang mendatangiku sembari membawa sebotol air minum.
“Tahu apa dirimu?” Jawabku sembari membuang muka.
“Jaimbanget jadi orang, aku lihat kamu tidur di sini selama 3 malam loh.” Gadis itu mengejekku. Aku membalikkan wajahku dari arah gadis itu tanpa mempedulikan ejekannya.
“Hidup di tengah pemerintah yang tak adil, demokrasi yang terbatas, dan etnisku bahkan dijadikan kambing hitam. Aku tak tahu hidup di mana saat ini.” Keluh gadis itu.
“Kurasa kematian lebih baik.” Lanjutnya.
Aku terdiam dan merenungi nasibku, hidup di keluarga tentara namun bersahabat dengan wartawan yang keduanya saling menyerang satu sama lain saat ini. Aku juga senang melihat Tono terbang dengan bebas tanpa beban. “Kamu ada benarnya.” Jawabku singkat mendengar ocehan gadis tersebut. Kami pun mulai berbincang dan mengenal satu sama lain, tanpa butuh waktu lama kami pun menjadi teman, nama gadis itu adalah Chan Xin. Sedikit demi sedikit aku mulai menceritakan kisah keluargaku, Tono, dan berbagai cerita lainnya.
Aku pun mengajak Chan Xin ke gereja tua, “Jika kamu penasaran dengan kematian, mengapa tidak berkunjung ke dimensi roh sejenak?” Tanyaku, Chan Xin spontan mengikuti ajakanku. Kami menyalakan dupa dan dalam sekejap arwah Tono datang. Aku mengenalkan Chan Xin pada Tono dan sebaliknya. Kami pun menanyakan pada Chan Xin mungkinkah ia tahu di mana lokasi mayat Tono, tanpa berpikir lama Chan Xin menjawab “Aku ingat! Sebulan yang lalu tercium bau bangkai di lapangan tempatku bermain!”. Dengan semangat optimis yang baru, aku meminta Chan Xin mengajakku ke lokasi tersebut. Chan Xin pun menerima permintaanku dengan antusias. Kami pergi ke lapangan yang disebutkan Chan Xin.
Setelah kami tiba, aku menggali tanah menggunakan tanganku di lokasi yang disebutkan Chan Xin. Tanganku terasa sakit namun aku tak peduli, aku mengingat tujuanku mencari mayat Tono tidak bisa berhenti di sini. Emosiku meluap antara marah pada oknum yang membunuh Tono, namun juga tenang karena mayat Tono hampir kutemukan. Aku berteriak seperti orang gila, tetapi tubuhku yang tak makan selama 3 hari tak sanggup menahan itu semua. Aku terjatuh pingsan di sana.
Aku berhalusinasi, Tono mendatangiku “Ayo pergi.” Ucapnya. Tono membawa sebilah belati “Kematian itu tenang bukan? Tinggallah bersamaku di alam roh.”. Aku tak bisa bergerak, merenung atas semuanya yang telah terjadi, berita bapakku, awal persahabatanku dengan Tono, pesan terakhir Tono, meninggalnya Tono, bentakan bapak, kabur dari rumah, mencari mayat Tono, pertemuanku dengan Chan Xin, menggali mayat Tono. Aku menjawab dengan nada kesal “Tono tidak akan menanyakan hal yang sama, ia merelakan nyawanya demi demokrasi negara. Aku menghargai harapannya, aku tak akan mati sia-sia tanpa berjuang sepertinya. Kamu bukan Tono!”. Aku menyadari semuanya, arwah yang kulihat selama ini bukanlah arwah Tono, itu adalah bagian dari diriku yang mencari alasan untuk lari dari semua masalah ini. Bayangan itu sekejap menghilang seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Aku kembali sadar, aku meneruskan menggali hingga coklatnya daun pisang yang membusuk terlihat di antara celah galianku. Aku meneteskan air mata, mayat Tono ditemukan, senyum bahagia terukir. Aku menatap Chan Xin “Jaga nyawamu, ya?” ucapku lirih.
Aku mengangkat mayat Tono dan membawanya ke keluarganya. Orang tuanya memperlakukan mayat Tono dengan layak, menyolatinya, mengafaninya, menguburkannya. Aku kembali ke rumah dengan menunduk, aku mengucapkan permintaan maafku dengan tulus kepada kedua orang tuaku. Ibuku hanya membuang nafas dan bapakku masih belum sudi melihat wajahku. Aku masuk ke kamar dan kembali menjalani kehidupanku seperti remaja biasanya. Kerusuhan 1998 pun sudah mereda selepas aku kembali ke rumah.
40 hari kemudian aku kembali ke gereja tua tersebut, di sana aku melihat Chan Xin sedang menyalakan dupa. Aku menyusulnya, dan mengikuti ritual tersebut. “Kita tak bisa berkomunikasi dengan Tono lagi, ya?” tanyaku, Chan Xin hanya menggeleng. Arwah Tono tidaklah nyata, ia hanyalah halusinasiku entah dari mana, tapi entah kenapa itu terasa nyata “Kehidupan harus kita hargai, kan Chan Xin?” tanyaku, Chanxin mengangguk.
***
Cerita ini hanyalah karya fiksi, Latar belakang waktu dan peristiwa bersejarah tahun 1998 digunakan sebagai inspirasi untuk alur cerita dan penokohan. Beberapa elemen sejarah bersifat faktual tetapi tokoh, dialog, dan kejadian spesifik dalam cerpen ini adalah rekaan.