rizzaarnts 1 week ago
Syntax error #bahasa

Sebuah Janji yang Hilang

Janji adalah kata-kata yang diucapkan hati, dan harus ditepati oleh waktu.

Tahun 1820, di desa kecil yang indah, waktu terasa berhenti dan membeku. Suasana sangat kacau saat itu. Teriakan orang-orang yang kesakitan menyayat hati setiap orang yang mendengarnya. Reruntuhan rumah kayu ada dimana-mana. Langit gelap, disertai suara gemuruh, seakan-akan bertanya, mengapa manusia selalu menyakiti satu sama lain?

Mala, seorang gadis berambut cokelat lebat yang harus menerima kenyataan bahwa kedua orang tuanya baru saja ditembak oleh Belanda karena berusaha melindunginya, putri mereka satu-satunya yang tersisa, karena kakaknya telah pergi meninggalkan rumah. Saat itu, malam sangat mencekam. Pasukan Belanda datang dari segala penjuru mengepung warga, menghabisi mereka seketika. Keluarga Mala sedang tertidur pulas, sesaat setelah Belanda mendobrak rumah mereka, menghajar kedua orang tua Mala tanpa ampun, hingga akhirnya tewas tertembak. Mala tak punya waktu untuk berduka, bau darah terus menusuk hidungnya. Ia bergegas bersembunyi di bawah meja makan, meringkuk ketakutan. Jantungnya berdebar kencang, keringat mulai mengalir di pelipisnya.

“Tidak ada orang lain di sini!” Suara seorang prajurit dengan bahasa Belanda keras terdengar.

“Periksa gudang! Bisa saja ada yang bersembunyi. Kapten tidak mau ada saksi mata yang tersisa,” balas suara yang lain.   

Pada saat itu, terjadi peperangan antara Belanda melawan kaum padri dan kaum adat. Orang tua Mala adalah kaum adat, mereka adalah penduduk asli Minangkabau yang memegang teguh adat istiadat dari leluhur mereka. Pada awalnya, kaum adat berperang dengan kaum padri, yang terdiri atas ulama-ulama dan umat muslim yang ingin menerapkan syariat islam dengan benar di Minangkabau, memberantas tradisi-tradisi yang menyimpang dari ajaran islam. Karena kondisi terdesak, kaum adat meminta pertolongan kepada pihak Belanda. Merasa mendapat kesempatan, Belanda menyetujui hal tersebut. Namun tanpa disadari oleh rakyat Sumatera Barat, Belanda tengah melakukan devide et impera atau politik adu domba untuk memecah masyarakat pada saat itu. Merasa dikhianati, kaum adat akhirnya berdamai dengan kaum Padri, mereka saling membantu untuk melawan Belanda. Pada saat peperangan yang terjadi antara kaum Padri dan kaum Adat, kekacauan yang sama juga terjadi. Pada hari itu, kaum adat yang sedang melakukan ritual tertangkap basah oleh pasukan kaum Padri. Saat itu, Mala dan kakaknya, Sarah bertengkar hebat. Sarah sudah lebih dulu mengetahui desas desus tentang campur tangan Belanda, ia ingin menghindari perang. Namun, tidak ada orang yang percaya padanya. Tatapan terakhir Sarah yang penuh kekecewaan masih teringat jelas di benak Mala.

Mala merasa bersalah. Ia teringat janji mereka dulu sebelum kekacauan besar terjadi, di bawah pohon kenari tua di pinggir desa. Mereka berjanji akan selalu bersama, melindungi satu sama lain, tidak peduli apapun yang terjadi pada Minangkabau.

“Jika kita terpisah, ingatlah selalu bahwa aku akan selalu ada untuk melindungimu, apapun yang terjadi. Pergilah ke tempat di mana air dan langit bertemu."

Janji itu sangat membekas di ingatan Mala.

Mengingat kejadian tersebut, Mala mulai bergerak seperti bayangan, menjauhi reruntuhan desa yang terbakar. Berbekal pisau sang ayah yang selalu ia sisipkan di pinggangnya, Mala bergerak mengikuti arus sungai yang mengarah ke laut, tempat dimana air bertemu dengan langit. Jasad kedua orangtuanya tak bisa dikuburkan saat ini, ia telah menjadi buruan oleh Belanda, keselamatannya merupakan prioritas. Malam itu, Mala menyadari satu hal: Perang ini bukan lagi tentang kaum Adat melawan kaum Padri, namun tentang orang Minangkabau melawan penjajah Belanda. Dalam gelapnya hutan yang ia lewati, Mala hanya punya satu tujuan: Menemukan kakaknya dan bersama-sama lagi membangun keluarga mereka, melanjutkan perjuangan kedua orang tuanya. Entah apa yang menantinya di ujung perjalanan, apakah Sarah masih hidup? Yang ia tahu, janji itu harus dipenuhi.

Tiga hari tiga malam perjalanan, ia tiba pada sebuah lembah yang gersang. Bau air laut mulai tercium dari lembah tersebut. Di sana, ia melihat 3 tenda yang didirikan berjejeran. Jantungnya berdegup kencang, tidak tahu siapa yang berada dibalik tenda tersebut. Ia melihat segerombolan orang yang berpakaian lusuh dengan api unggun di tengah-tengah mereka. Mala bersembunyi di balik semak-semak, berusaha agar tidak terlihat oleh orang-orang tersebut. “Brakk!!!” tiba-tiba, ia menabrak seseorang pemuda saat hendak berbalik badan.

“Siapa kamu?” Kata pemuda tersebut dengan suara lantang.

“S-saya kaum adat, saya kesini hendak mencari kakak saya." jawab Mala dengan gagap. Ia sontak mengangkat pisau yang ia bawa, mengarahkannya ke pemuda tersebut.

Pemuda tersebut berpenampilan sederhana. Baju katun yang ia kenakan telah robek di beberapa bagian. Ikat kepala merah menjadi ciri khas dari pemuda ini. Tubuhnya tegap dan gagah, menunjukkan bahwa ia adalah pemuda yang kuat.

Pemuda tersebut terkejut dengan ancaman pisau Mala. Ia hanya mengangkat tangan, isyarat damai.

“Turunkan pisaumu Nona, aku bukan belanda. Aku juga kaum adat, namaku Arsa”.

Mala masih ragu. Setelah apa yang terjadi padanya dan keluarganya, ia merasa sulit untuk mempercayai siapa pun. Mala kemudian bertanya kepada Arsa “Mengapa kau ada di sini? Apa yang kau lakukan?”

“Aku sedang berjaga, lembah ini adalah tempat pengungsian sementara bagi mereka yang berhasil kabur dari pertempuran di pedalaman”. 

“Bagaimana denganmu? Kau belum memperkenalkan dirimu”.

“Aku Mala, semua keluargaku telah menjadi korban kekejaman Belanda, orang tuaku tewas tertembak beberapa hari lalu”. Mata Mala berkaca-kaca, namun ia berusaha menyembunyikan kesedihannya dari Arsa. “Aku mencari kakakku, namanya Sarah, ia sudah lama ditangkap oleh Belanda. Dia pernah berjanji, jika kami terpisah, kami harus bertemu dimana air dan langit bertemu, dia bilang aku akan aman jika kami hidup bersama”.

“Tempat itu pasti laut. Ya, kita memang berada di dekat laut. Hari sudah gelap, mari ikut aku. Kita harus hati-hati, daerah ini mulai diawasi Belanda”. Arsa mengajak Mala ke tenda. Di sana, ia bertemu dengan beberapa kaum adat yang selamat dari pertempuran di pedalaman, mereka menyambut Mala dengan hangat. Malam itu, Mala membagikan kisahnya yang pilu. Orang-orang yang mendengarkan ceritanya merasa sedih dan turut berduka atas peristiwa yang dialami Mala. Arsa mendengarkan cerita Mala dengan saksama, ia merupakan pemuda yang memiliki empati tinggi.

Selama beberapa hari, Mala melanjutkan perjalanan bersama kelompok kecil itu. Mereka bergerak sembunyi-sembunyi, menghindari rute utama. Arsa ternyata merupakan seorang pemburu ulung. Ia yang memimpin kelompok kecil tersebut . Arsa piawai dalam melacak jejak dan memastikan mereka tidak kekurangan pasokan makanan dan air bersih.

Mala dan Arsa menjadi teman baik. Arsa mengajari Mala banyak hal, mulai dari cara mengasah pisau ayahnya, membaca jejak di lumpur, hingga mencari pasokan makanan dan air bersih. Arsa merupakan cahaya terang bagi Mala di tengah gelapnya kehidupannya saat itu. 

“Aku yakin kau akan bertemu dengan kakakmu," kata Arsa pada suatu pagi saat mereka mencari kayu bakar.

“Aku harap dia baik-baik saja.” harap Mala.


Keesokan harinya, perjalanan mereka terhenti di sebuah tebing curam yang langsung menghadap ke birunya air laut. Tempat dimana air dan langit benar-benar bertemu. Mala berjalan ke arah tebing. Di bawahnya, ia melihat 3 orang yang sedang berkemas. Mala merasa tidak asing dengan salah satu wanita. Rambutnya, cara ia berdiri, dan postur tubuhnya. Itu adalah Sarah. Mala merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. “Sarah!” teriak Mala, langsung menuruni tebing. 

Sarah berbalik badan dengan wajah yang tegang. “Mala? Kau…”

Mereka berpelukan. Pertemuan itu penuh tangis dan kelegaan. Mala merasa amat senang, ia telah bertemu dengan anggota keluarga satu-satunya yang tersisa.

“Bagaimana kau bisa ada di sini, kak?” Tanya Mala dengan suara yang bergetar. 

“Aku ada di sini, untuk menepati janjiku Mala, aku berjanji, kita akan bertemu di tempat di mana air dan langit bertemu, tinggallah bersamaku, kau akan aman di sini”.

Tiba-tiba, susana reuni yang manis berubah menjadi tegang. Terdengar suara dari semak-semak, bukan suara hewan, ternyata itu adalah prajurit Belanda yang muncul dari segala penjuru, senapan mereka teracung.

Mala dan Arsa terkejut, ternyata mereka telah masuk jebakan, Sarah berkhianat. Mala menoleh ke Sarah yang telah berubah dingin, seolah ia tak melakukan apapun. 

“Kenapa kak?” Mala berteriak, ia menangis bercampur dengan rasa marah.

“Aku tidak punya pilihan, mereka menawarkan imbalan yang sangat besar, mereka menghargaiku, tidak seperti kalian!” balas Sarah.

“Tapi aku ini adikmu, kak! Kau sudah berjanji!”

“Dia kapten.” Sarah menunjuk ke arah Arsa.

Ternyata, selama ini kelompok tersebut memburu Arsa yang telah lama menjadi sasaran Belanda. Dialah yang selama ini mengatur kelompok perlawanan. Sebenarnya, beberapa hari terakhir, Sarah dan kelompok Belanda telah memperhatikan gerak-gerik kaum adat yang mengungsi di lembah, mereka menunggu waktu yang tepat untuk menangkap mereka. Saat inilah waktu yang tepat itu. Belanda akan menghabisi semua kaum adat. Mala merasa sedih dan marah, perasaannya bercampur menjadi satu. Untuk terakhir kalinya, ia menatap Sarah dengan perasaan yang amat kecewa, kakak yang selama ini ia tunggu, yang sangat ia sayangi, anggota keluarga satu-satunya yang tersisa, pada hari ini telah berkhianat. Menyerahkan adiknya sendiri ke tangan Belanda. Mala dan Arsa diasingkan ke tempat yang sangat jauh hingga akhirnya mereka meninggal karena wabah penyakit yang menyebar di tempat pengasingan tersebut.

Resensi Buku Non Fiksi "Maaf Tuhan, Aku Hampir Menyerah"

Resensi Buku Non Fiksi "Maaf Tuhan, Aku Hampir Menyerah"

https://lh3.googleusercontent.com/a/AGNmyxbI7dhMgZukXFeCcMSlsx8NvH0dBTFEnkHAFv0SUA=s96-c
corry aflah shinta
2 years ago
Pemanfaatan Teknologi dalam Lingkungan Akademik

Pemanfaatan Teknologi dalam Lingkungan Akademik

1680166578.jpg
printoutln("Kaka")
2 years ago

Resensi: Rasa yang Tercipta dalam Cerpen Rindu Kau Rangkai Karya Nagi...

https://lh3.googleusercontent.com/a/AAcHTtdGmF2e-ItdsdYE9TgImFhDGKHoAxklhdWBSBppAr7_YA=s96-c
Fitri Isnaeni
2 years ago
Lelah? Sama, Aku Juga Mau Tidur

Lelah? Sama, Aku Juga Mau Tidur

1755527446.jpg
Nabil Versi Akal Sehat
3 months ago
Stainless Steel Straw

Stainless Steel Straw

1709266450.jpeg
Nasywa A.
2 years ago