Cerita Narasi: Antara Aku, Alzi, dan Daka

Sebuah cerita fantasi karya Muhammad Rafli Ghazali yang mengandung amanat janganlah menjadi orang yang sedikit-sedikit marah, bahkan sampai ingin memb*n** dua sahabatnya sendiri, tapi jadilah orang yang pemaaf dan sabar meski berkali-kali tersakiti.

2023-10-30 11:47:36 - Fitri Isnaeni

*TERINSPIRASI DARI TERE LIYE*

Namaku Fazli, aku seorang siswa berusia 17 tahun di Quarnaum Outerconstellation School. Aku memiliki sahabat bernama Daka dan Alzi. Yaa, meskipun mereka sering bertengkar, entah itu dari hal-hal kecil seperti hutang 500 perak yang belum dibayar dengan alasan bokek, rebutan antre mengambil makanan, hingga hal-hal serius seperti rebutan seseorang, dan lain-lain. Tapi, itu semua belum puncak dari masalahnya. Karena puncaknya terjadi pada hari ini.

“Woi, kalau main tuh yang bener,gitu doang gabisa main.” Teriak Alzi.

“Lah, elu kali yang kagak bisa main, apaan coba KDA 492.” Balas Daka.

“Gini-gini gw ga mundur pas lagi kontes ya. Ga kayak elu, udah tau kena gank masih aja maksa, giliran kontes malah mundur, mana elu yang bawa retri lagi.”

“LAH, YA NAMANYA MAIN ITU HARUS ADA TEAMWORK, UDAH TAU KITA KALAH POSITIONAMALANE DARI AWAL DITAMBAH LAGI ELUMMGA ADAGUNA, MAU MAKSA NGE-LORD HAH?! TUGAS LU ITU PAS KITA KONTES LUSPLIT PUSH!! BUKANNYA MALAH MAKSA LORD.” Daka bangkit dari duduknya dan mencengkeram kerah baju Alzi.

BUM! BUM! BUM! Alzi membalasnya dengan pukulan berdentum ke arah ulu hati Daka sebanyak tiga kali. Daka mengamuk, ia mengambil kursi dan melemparnya ke arah Alzi. Tak sampai di situ, ia pun segera memukulkan kursi tersebut ke arah Alzi. Alzi, yang sudah babak belur, menyerang Daka menggunakan pisau yang selama ini ia simpan untuk berjaga-jaga. Daka yang tidak menyangka hal tersebut pun tert*s*k di bagian perut, ia kemudian banyak mengeluarkan darah, bahkan dari mulutnya pun menyembur darah.

Alzi, yang bahkan tidak menyangka akan perbuatannya terhadap Daka, sangat terkejut dan merasa ketakutan. Akhirnya, mau-tidak mau ia pun terpaksa melakukan suatu tindakan. Melarikan diri. Sementara Daka yang merasa bahwa ia sebentar lagi akan meninggal, hanya bisa berkata lirih “To.. long.. tol.. ong.. aku..”

Gelap.

 ***


“Daka, luudah sadar?” Daka mendengar seseorang memanggilnya. Ia membuka matanya dan melihat ke seseorang yang sedang menatapnya khawatir. Ya, itulah aku, Fazli.

“Fazli? Kok lu di sini? Ini di mana?” Daka heran dengan keadaan di sekitarnya.

“Lah, ini di kelas XII. Lagian malem-malem ngapain lu di sini? Ini berdarah juga kenapa?” tanyaku sambil terus menggunakan teknik regenerasi untuk Daka.

“Dit*s*k Alzi, tadi gw kira gw udah meninggal, makanya gw kaget liat muka lu.” Jawab Daka sambil hendak duduk di atas kursi.

“Heh, sudah tau sekarat gini masih aja mau gerak.” Kataku sambil memapahnya duduk di atas kursi.

“Daripada elu sembuhin gw, mending lu cari Alzi.” Kata Daka kepadaku.

“Oke, hati-hati.” Jawabku singkat.

Aku pun mengambil hoodie-ku dan bergegas menuju sebuah tempat.

Splash! Splash!

Di belakang sana, Daka terus melakukan teknik regenerasinya meskipun tak secepat dan sekuat punyaku.

Kota Mati. Ya, kesinilah aku menuju. Sebenarnya tempat ini bukan “Kota Mati”, lebih cocok jika dipanggil “Tempat Hampa”. Karena tempat ini tidak memiliki catatan tentang adanya kehidupan dalam sejarah panjang Klan Quarnaum. Tidak ada kehidupan? Ya, tempat ini tidak memiliki udara apalagi oksigen.

Sesak. Teknik menahan nafasku kurang baik jika dibandingkan dengan Daka, aku menyesal tidak pernah melatihnya. 2 menit, aku sempat tersengal dan itu sangat mempengaruhi nafasku.

“Bukunya Daka mana sih, di simpannya di dalam tanah lagi.” Kataku dalam hati.


5 menit, semua masih berjalan normal.


10 menit…


30 menit…


“Ya ampun Faz, nafasmu baru ditahan 30 menit udah lemes gini.” Kataku pada diriku sendiri.

Aku telah tiba di tengah kota, dan bukunya Daka masih belum ketemu juga. Karena tidak ketemu-ketemu, akhirnya aku menggunakan alternatif lain. Teleportasi tingkat tinggi.

Splash! Splash! Splash! Splash! Akan sangat mengesankan jika kalian melihat tubuhku membelah menjadi lima, tapi itu tidak usah dibahas sekarang. Lebih baik kita mencari bukunya Daka.


45 menit…


“Akhirnya ketemu juga bukunya Daka.” Kataku, tentu saja dalam hati.

“Buku Catatan” begitu judulnya. Aku mulai membuka satu persatu halaman buku tersebut. Tiba di halaman ke-49 aku terdiam.

“Aku tidak tau kenapa Alzi dulu sangat baik kepadaku, ia memang sedikit mengesalkan saat ditanya, karena ia selalu menjawab pertanyaanku dengan bercanda. Tetapi, aku sangat beruntung memiliki sahabat seperti dia, aku tidak tau harus membalasnya dengan apa. Tetapi, Aku sangat merindukan Alzi yang dulu. Alzi yang baik, Alzi yang pelawak, Alzi yang cerewet, Alzi yang.. entahlah, aku tidak tau bagaimana menuliskan Alzi yang dulu. Tapi, semenjak kelas XII. Tepatnya semenjak Alzi mengenal dia. Ia banyak berubah. Aku rindu saat aku, Fazli, dan Alzi selalu bertiga. Aku rindu saat aku, Fazli, dan Alzi……..”

Nafasku! Nafasku hampir habis! Aku bergegas mematikan bayanganku yang lain dan melakukan teknik teleportasi ke arah luar Kota Mati.

Splash! Splash!


30 detik…


GEDUBRAK! Aku langsung terjatuh di tanah terakhir yang kupijak dan menghirup udara sebanyak mungkin. 1 kali, 2 kali. Stabil, aku merasa nafasku sudah stabil. Aku melanjutkan membaca catatannya Daka.

“........” Kosong. Habis. Tidak ada lanjutannya. Lalu, di mana petunjuk keberadaan Alzi sekarang? Aku membuka semua halaman buku tersebut. Tidak ada petunjuk, hanya tentang kehidupan Daka sehari-hari. Tiba di halaman 171, –sebenarnya tidak ada “halaman” ke-171, “halaman” ini adalah hologram rancanganku yang hanya orang tertentu yang dapat melihatnya– aku menemukan petunjuk yang dituliskan dalam tulisan super tipis di pojok kanan atas, tepat di sebelah nama “Daka XII”.

Aku mengetuk pelan buku Daka, dan memasukkan password-nya.

BUFF! Muncul portal di depanku, lalu aku lompat ke dalamnya.

***

Gelap. Klan Archantum sedang terlelap. Aku mengendap-endap menuju gedung organisasi terlarang Klan Archantum.

Sepi, tidak ada penjaga. Aku keluar dari tempat persembunyianku dan melakukan teleportasi menuju ruangan informasi. Tak ada dokumen ataupun kertas berserakan, yang ada hanya sebuah hologram yang mengambang 10 cm dari lantai. Aku menyalakan hologram tersebut lalu memasukkan sebuah nama, mencari nama yang cocok, mencatat, beres. Keluar dari ruangan informasi, hendak melakukan teleportasi keluar dari gedung tersebut.

Splash! Splash! Splash! Splash! 

Hei! Itu bukan teknik teleportasiku, ada seseorang yang melakukannya. Aku menoleh ke belakang, terkejut melihat pukulan yang mengarah padaku. Sepersekian detik.

BUM! Aku terpental ke belakang. Bergegas bangkit lalu mengelap darah yang keluar dari mulutku dan memasang formasi bertarung. 

Splash! BUM! Splash! BUM! Splash! BUM! Tiga kali melepaskan pukulan berdentum, aku berhenti sejenak. Sedetik, keluar cahaya dari dalam kepul debu. Tameng. Ya, tameng transparan. Dia memiliki teknik tersebut.

“Masih mau melanjutkan pertarungan?” Tanya orang tersebut.

Lu siapa?” Tanyaku was-was.

“Masa ga kenal sama teman sendiri?”

“Alzi? Lu Alzi?”

“Ya” Jawabnya singkat.

Lu napa mau b*n** Daka, hah? Lu waras?” Bentakku.

Sorry Faz, gw ga sengaja.. gw sebenernya ga ada niatan buat bun-”

BUM! BUM! BUM! Aku melepaskan tiga pukulan berdentum lagi, tepat di depan wajahnya. Telak, Alzi terkapar. Ia meringis, lalu berkata

Gw ga mau nyerang lu Faz, gw respect banget ama lu.”

Respect? Tadi lu mukul gw apa?! Kenapa lu ga sekalian b*n** gw kalau lu bisa?” Tanyaku dingin.

Sorry Faz, gw terpaksa.”


BUM! BUM! Dua kali. Tamengku bergeming.

Alzi membelah dirinya menjadi lima dan mengaktifkan sarung tangan pusaka Klan Quarnaum.

BUM! BUM! BUM! BUM! BUM!

Retak! Tamengku retak! Sebelum hancur betulan, aku memutuskan untuk melarikan diri.

Splash! Splash! Splash!

Di belakang, Alzi mengejarku. Sedetik, dua detik, tiga detik.

Splash! BUM!

Aku terkapar di tanah, pasrah. Alzi, yang tinggal selangkah lagi untuk memb*n**ku hanya diam. Tanpa mengucap sepatah kata pun, Alzi mengangkat sebelah tangannya. Aku memejamkan mata, mungkin inilah saatnya aku meninggal.

BUM!

Nafas? Aku masih bernafas? Aku membuka mata dan melihat Alzi yang terpelanting. Aku menoleh ke samping, dan melihat seseorang di sampingku.

“Fazli! Lu gapapa?” Tanyanya.

“Daka? Kok lu di sini?” Tanyaku balik.

Nyelamatin elu, tadi ada notifikasi di hologram gw. Katanya, ada orang yang pake buku gw untuk buka portal ke Klan ini. Itu pasti elu.” Terangnya.

“Terus ini Alzi diapain?” Tanyaku lagi.

“Terserah lu.

Alzi bangkit, ia menatap kami berdua berbicara tentangnya. Ia marah karena ia merasa tidak dipedulikan, ia marah karena ia merasa tidak dihargai. Ia mengeluarkan teknik yang sebelumnya kami tidak tahu bahwa ia menguasainya.

Splash! Splash! RRR!

Terdengar suara bergemuruh di sekitar kami, aku menoleh ke sana-kemari mencari sumber suara. Daka terlihat tegang. Tiba-tiba terdengar suara lantang

“Wahai, kalian sudah melewati batas kemarahanku, aku akan menghukum kalian malam ini.”

Splash! BAM! Splash! Splash! BAM! BAM! BAM!

Tanah yang kuinjak bergetar hebat, seperti ada tangan tak terlihat yang mengaduknya. Aku waspada.

“Teknik Bayangan Malam.” Ucapku perlahan.

Daka terkejut, “kok dia bisa menguasai Teknik Bayangan Malam? Itu kan teknik terlarang?”

Gatau, yang jelas teknik ini salah satu teknik mematikan yang pernah ada dalam sejarah panjang dunia paralel.”

DUAR!

Tubuh Alzi meledak, ia berubah menjadi bayangan hitam yang menyeramkan. Matanya yang merah membara menatap kami.

Sroom! Sroom! Sroom!

Bayangan itu mengeluarkan tombak-tombak gelap yang runcing, puluhan jumlahnya. Bayangan itu siap menghabisi kami.

“Teknik apa yang akan kita pake? Tameng transparan gak bakalan guna”, tanyaku cemas.

Bayangan itu seakan tahu apa yang kami bicarakan. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia menombakkan tombak-tombak tersebut ke arah kami.

Slash! Slash! Slash! Slash! Slash!

Puluhan tombak itu tinggal menunggu waktu, siap untuk menusuk tubuh kami.

Splash!

Tameng perak melindungi kami. Aku melihat Daka, ia sedang fokus menahan serangan menggunakan tameng dengan versi yang lebih tinggi dari punyaku.

DAK! DAK! DAK! DAK!

Suara tombak berbenturan dengan tameng berbunyi keras. Menyadari hal tersebut, bayangan hitam itu menggunakan trik lain.

BOOM!

Ia mengeluarkan bola hitam yang meledak jika terkena sesuatu. Tidak besar, tapi cukup untuk menghancurkan tameng yang dibuat Daka.

Hancur, tameng Daka hancur. Kami melihat bayangan hitam tersebut bergerak cepat ke arah kami berdua. Sekejap.

BUM! BUM! BUM! BUM! BUM!

Tanah di sekitar kami meledak, membuat kepul debu beterbangan. Aku mencoba melihat sekitar, perih sekali. Daka terbatuk-batuk pelan. Aku mencoba mengusir kepul debu tersebut. Cahaya pelan menyinari tubuh kami, semakin menerang, hingga kepul debu tersebut hilang. Digantikan cahaya yang sangat terang sekarang, mengiris setiap mata yang mencoba melihatnya. Tiba-tiba.

DOR!

Terdengar tembakan di kejauhan dan semakin mendekat. Aku bergegas memasang tameng transparan dilapisi tameng perak Daka.

DUAR!

Meledak. Energi yang dipancarkan tembakan tersebut sangat kuat, sehingga malam menjadi siang. Tapi, hei! Bukan tamengnya yang meledak. Tapi bayangan hitamnya. Hening. Aku dan Daka membuka lapisan tameng, melihat lembah gosong yang sangat luas di sekitar kami, di tengahnya bayangan hitam tersebut terkapar. Perlahan, bayangan tersebut bertransformasi kembali menjadi Alzi yang kami kenal. Beruntung ia berada dalam wujud “Bayangan” saat tertembak, sehingga ia tidak hancur berkeping-keping.

Melihat hal tersebut, aku dan Daka bergegas melakukan teknik regenerasi ke tubuh Alzi. Berkonsentrasi penuh, karena teknik ini banyak merusak organ vital ketika menggunakannya.


15 menit…


Tangan Alzi perlahan bergerak, kelopak matanya membuka. Hal pertama yang ia lihat aku dan Daka.

“Zi, lu aman?” Tanyaku cemas.

“Ama-” Alzi terbatuk pelan.

Daka mengusap punggung Alzi.

“Faz, Ka. Maafin gw ya? Gw tadi gelap mata mau ngeb*n** kalian, tapi untung di detik terakhir gw sempat membelokkan tembakannya ke arah gw sendiri.”

Kata Alzi, ia sangat menyesal.

Ia menyesal ingin memb*n** kami berdua, ia teringat saat kelas X dan kelas XI kami sering tertawa bersama, sering jalan-jalan bersama, suka dan duka kami lalui bersama. Ia sudah menganggap kami berdua sebagai saudaranya. Ia bersyukur memiliki sahabat seperti kami. Ia membenci saat dulu ia menusuk Daka, ia sangat membenci dirinya sendiri yang merusak segala persahabatan yang telah mereka bangun bersama sejak SD. Ia membenci saat dulu ia merebut seseorang yang padahal ia tau bahwa seseorang tersebut punya Daka. Ia merebut kebahagiaan Daka. Ia sangat menyesal.

“Faz, Ka. Maafin gw ya? Gw gaada niatan buat b*n** Daka, gw cuma emosi doang, ga lebih. Gw ga pernah benci kalian, apalagi sampengeb*n** gitu, nggak. Sekali lagi, maafin gw ya? Juga maafin gw Ka, waktu itu gw ngerebut dia dari lu. Gw nyesel banget. Maafin ya?”

“Yaa, gapapa. Lagian dia udah terlanjur ama lu. Dan juga lain kali kalau lu mau ngeb*n**gw jangan pake pisau gitu lah. Minimal lebih berkelas dikit”, canda Daka.

Gw sih terserah Daka, dia mau maafin yaudah. Tapi, kalau masalah lu mukul muka gw tadi belum selesai, ya”, jawabku.

“Haha, maaf-maaf.”

***

“Hai, apa kabar? Ini Alzi. Aku minta maaf kalau ini sangat menyakitkan. Aku mau kita putus aja ya? Aku mau kita temenan aja. Aku udah ga punya waktu dan tenaga buat ngurusin dunia percintaan, aku mau mulai serius sama hidupku yang baru. Aku mau ngerasain rasanya punya teman bahkan sahabat, bukan punya pacar. Makasih untuk waktu, tenaga, dan jiwamu yang udah kamu kasih ke aku. Aku harap kita ga jadi asing cuma gara-gara ini ya? Makasih.”

-Alzi

More Posts