Folder Rindu

Kadang cuma satu detik, kadang agak lama. Tapi cukup buat bikin kita percaya rindu itu bisa jadi energi. Karena kami tahu, perpisahan itu absurd. Tapi rindu... rindu itu selalu log in.

2025-09-11 15:15:39 - ラフィーにはフレイヤがいる🤙😝

Folder Rindu

Pagi itu masih sepi banget. Ruang TPDS belum ada suara, belum ada gerakan. Tapi satu benda yang sudah nyala lebih dulu sebelum matahari sempat muncul. Chromebook tua, penuh stiker aneh yang kayaknya ditempel asal-asalan tapi punya cerita masing-masing. 

Isyal sudah duduk di depannya. Wajahnya kalem, tidak banyak gerak. Tapi matanya... matanya seperti menyimpan sesuatu. Bukan rahasia besar, tapi lebih terlihat seperti perasaan yang belum sempat dia ceritakan ke siapa pun. Ia mengetik pelan, jari-jarinya seperti menari di atas keyboard, lalu menutup layar dan pergi tanpa suara. 

Aku masuk beberapa menit kemudian, hanya menemukan secarik kertas di atas Chromebook.

“Jangan ubah gaya kampanyemu. Tetap absurd. Tetap berani. Dunia butuh itu.”

Aku membuka Chromebook, menemukan file bernama “LogOut_Isyal,” membaca isinya, lalu menambahkan satu kalimat; “Aku nggak akan ubah gaya. Tapi aku akan ubah cara rinduku.”


Hari-hari berikutnya, aku tetap aktif di TPDS, tapi rasanya seperti ada ruang kosong di antara baris-baris ide. Setiap kali membuka Chromebook, aku menulis pesan-pesan kecil di folder “Untuk Isyal” “Hari ini aku bikin kampanye tentang nasi jagung. Absurd banget.” “Gagal bikin semua orang ketawa. Kamu pasti ngakak kalau lihat.” “Chromebook ini masih nyala. Tapi rasanya sepi.”


Entah kenapa, setiap kali aku menulis, layar terasa lebih hangat, seolah menyimpan semua rindu yang tak sempat dikirim.

Lama-lama, teman-teman mulai ikut menulis di folder itu. Tidak ada yang menyuruh, tapi semua seperti mengerti bahwa ini bukan sekadar tempat menyimpan file, tapi ruang bareng-bareng buat mengingat Isyal dan semua momen yang tidak sempat kita ulang. Chromebook yang dulu cuma dipakai buat presentasi, sekarang jadi tempat curhat digital. 

Di situ, kita menulis semua perpisahan yang tidak berani kita ucapkan langsung karena di sana, tidak ada yang takut dilupakan. Aku membuka folder “Untuk Isyal,” lalu menulis, Log out bukan akhir. Kadang, itu cuma jeda sebelum log in di tempat lain.” Layar berkedip, lalu mati, tapi muncul satu notifikasi “Isyal telah membaca pesanmu.”

Tak ada yang tahu bagaimana itu bisa terjadi, Chromebook bahkan tak terhubung ke internet saat itu. Misteri kecil yang tak pernah dijelaskan, tapi cukup untuk membuatku tersenyum. Aku menutup layar perlahan, lalu menempelkan satu stiker baru di bagian belakang, gambar dua anak kecil duduk di bawah pohon beringin, menatap langit. 

Sejak itu, Chromebook jadi tempat anak-anak menulis surat buat teman yang pindah, guru yang pensiun, atau mimpi yang belum sempat hidup. Setiap tulisan bikin layarnya nyala sedikit lebih terang, seperti ikut menyimpan rindu dan harapan yang tidak sempat diucap.

Di antara semua file, ada satu folder yang tidak pernah dihapus “Untuk Isyal”. Isinya ratusan pesan dari aku, teman-teman TPDS, bahkan adik kelas yang cuma tahu kisahnya. Chromebook itu jadi saksi bahwa perpisahan bukan akhir. Kadang sunyi, kadang absurd, tapi selalu berarti. Dan meski Isyal sudah tidak di Bandungan, Chromebook itu tetap nyala. Persahabatan kami belum pernah benar-benar log out.


Kadang, saat ruang TPDS sudah penuh suara dan tawa, ada satu sudut yang tetap tenang, meja tempat Chromebook itu diletakkan. Tidak ada yang berani memindahkan, apalagi mematikan. Seperti ada kesepakatan tak tertulis diam-diam, bahwa benda itu bukan cuma alat, tapi semacam penjaga kenangan.


Suatu hari, adik kelas bernama Naya duduk di depan Chromebook. Ia baru masuk TPDS, belum tahu banyak soal Isyal. Tapi ia buka folder “Untuk Isyal”, baca beberapa pesan, lalu menulis satu kalimat pendek

“Aku tidak kenal kamu, tapi aku suka gaya kampanyemu. Aku juga mau berani.”

Kalimat itu membuat kami semua diam. Bukan karena sedih, tapi karena sadar warisan Isyal bukan cuma soal ide absurd, tapi soal keberanian buat jadi diri sendiri.

Sejak itu, folder “Untuk Isyal” berubah fungsi. Bukan cuma tempat curhat, tapi juga tempat deklarasi. Tempat anak-anak menulis janji ke diri sendiri. Janji buat tetap absurd, tetap jujur, tetap berani.

Ada yang menulis

“Hari ini aku gagal total di presentasi. Tapi aku pakai baju batik warna ungu, karena Isyal pernah bilang ‘warna absurd bikin ide lebih hidup.’”

Ada juga yang menulis

“Aku naksir orang yang suka matematika. Aku bikin puisi tentang rumus. Absurd banget. Tapi aku kirim.”

Dan setiap kali ada yang menulis, layar Chromebook itu menyala sedikit lebih terang. Kadang cuma satu detik, kadang agak lama. Tapi cukup buat bikin kita percaya rindu itu bisa jadi energi.

Suatu malam, aku sendirian di TPDS. Hujan turun pelan, dan suara rintiknya kayak irama yang pas buat menulis. Aku buka folder “Untuk Isyal,” lalu menulis

“Aku capek. Kampanye OSIS makin ribet. Tapi aku tetap pakai gaya absurd. Hari ini aku nyanyi lagu tentang kentang rebus di depan kelas. Semua ketawa. Tapi aku tahu, kamu pasti tepuk tangan paling kencang.”

Saat aku selesai menulis, layar berkedip lagi. Tapi kali ini muncul satu file baru “Isyal_Reply.txt.” Isinya cuma satu kalimat

“Aku nggak pernah log out dari kalian. Aku cuma pindah layar.”

Aku tidak tahu siapa yang menulis itu. Bisa jadi cuma glitch, bisa jadi ada yang iseng. Tapi rasanya... hangat. Rasanya seperti pelukan digital dari seseorang yang sudah pergi, tapi tidak pernah benar-benar hilang.

Besoknya, aku cerita ke teman-teman. Mereka tidak kaget. Malah ada yang bilang

“Ya wajar. Chromebook itu sudah kayak portal. Tempat rindu bisa log in.”

Dan sejak itu, kami mulai bikin sesi rutin “Log in Rindu.” Setiap Jumat sore, anak-anak TPDS duduk bareng, buka folder “Untuk Isyal”, dan menulis apa pun yang mereka rasakan. Kadang lucu, kadang sedih, kadang absurd banget. Tapi tidak ada yang menertawakan.

Karena di ruang itu, semua perasaan diterima. Semua rindu punya tempat.

Ada yang menulis

“Aku pengen jadi penulis absurd kayak kamu. Tapi aku masih takut. Folder ini bikin aku berani nyoba.”

Ada juga yang menulis

“Aku baru tahu kamu dari cerita Kakak. Tapi aku menulis di sini karena aku juga punya rindu yang nggak tahu harus dikirim ke mana.”

Dan setiap tulisan, entah kenapa, bikin suasana TPDS makin hidup. Bukan karena kami jadi jago menulis, tapi karena kami belajar jujur.

Chromebook itu sekarang sudah tidak bisa dipakai buat browsing. Tapi kami nggak peduli. Karena fungsinya sudah berubah. Ia bukan alat digital, tapi semacam pohon beringin virtual. Tempat orang duduk, cerita, dan menatap langit.

Di bagian belakangnya, stiker anak kecil di bawah pohon beringin makin pudar. Tapi kami tidak ganti. Karena itu bukan sekadar gambar. Itu simbol. Bahwa meski dunia berubah, rindu tetap punya akar.

Dan di antara semua folder, “Untuk Isyal” tetap jadi yang paling sering dibuka. Kadang cuma buat baca ulang. Kadang buat menambah satu kalimat. Kadang buat menangis sebentar, lalu tertawa lagi.

Karena kami tahu, perpisahan itu absurd. Tapi rindu... rindu itu selalu log in.


More Posts