Gulungan Cinta di Tengah Wabah Kolera

Djambi 1909

2024-11-29 08:00:39 - almatheaaa

"Het spijt me van je vader," ucapku lemas menghadap batu nisan yang masih asri seakan kejadian itu baru saja terjadi. 


     Sejak setahun kemarin dia pergi meninggalkanku, rasa sesak bahkan mati rasa akan kepergiannya masih lekat. Katanya setelah ayah selesai tugas, bersama-sama kita akan kembali pulang ke Limburg untuk memetik anggur segar di kebun Opa. Namun, harapan anak berkulit putih lembut dengan rambut yang sangat dominan blonde itu hanya tinggal cerita. Keinginan kembali ke Belanda hanya tinggal dialog lama antara ayah dan anak.


“Menir Djo, bersiaplah sore nanti giliran kau bertugas di Jambi, setelah tugas itu selesai kau dapat pulang ke Limburg, tinggalkan saja anakmu di sini, ia sudah tenang dengan Tuhan,” ucap Sam.


“Jika dia tau tugas Ayahnya ini tinggal sebentar lagi, pasti dia akan sangat bersemangat untuk pulang ke Limburg.” Bayang-bayangan akan suaranya untuk mengajak pulang masih melekat ditelingaku. Bising ini terus membuatku semakin merasa bersalah meninggalkannya untuk bertugas di Makassar. 


“Kolera di Jambi sangat parah?” tanyaku pada Sam.


“Jikalau kau tau, sangat parahnya sampai dokter kita tak ada yang mau pergi ke sana.” Jelas Sam. 


       Semenjak kolera ini masuk Hindia-Belanda, tak ada waktu untukku beristirahat. Awalnya tugasku hanya mengajar di Stovia, aku mengalah untuk menjadi relawan dokter kolera hingga pergi ke sana-kemari meninggalkan anakku. Kolera yang kian parah membuat Penjajah Hindia-Belanda pusing dan mengalami kerugian yang cukup besar. Belanda akan tetap menyuruh warga pribumi bekerja untuknya. Jika tidak, Belanda juga tidak akan bisa membayarku sebagai dokternya.


      Ini bukan tanahku, namun ketika melihat Jambi, nuansa yang selalu kurindukan tentang Limburg berhasil membuatku merasa hidup kembali. Kereta yang mengantarkanku membuat mataku kembali bermimpi jalanan Limburg di sekitar rumah kami di sana. Banyak sekali anak-anak berlarian ke sana-kemari menggiring sapinya untuk memakan rumput. Batavia yang selalu kupijak untuk mengajar maupun bekerja jauh berbeda dengan Jambi.


Welkom, en erg leuk dat we je ontmoeten Menir Djo, kabar batavia?” ucap Jendral Welmurs dengan pasukannya. 


“Bukankah berlebihan menyambut seperti ini Jendral?” sapaku balik.


      Bincang-bincangku dengan Jenderal Wermuls cukup panjang. Kolera yang tak kunjung usai menjadi pembahasan kami yang tidak pernah selesai. Sebagai Jenderal Jambi, Welmurs sangat dirugikan, tabiatnya untuk menyuruh warga tetap bekerja menggebu-gebu. Tugasku katanya hanyalah mengobati yang sudah sangat parah saja. Welmurs sangat benci menunda-nunda, keuangan Jambi menurun membuat Hindia-Belanda makin ganas mempekerjakan warga dengan kerja rodi.


     Pemandangan yang sangat jarang dilihat di Batavia, mereka sangatlah kurus dengan alat perkebunan dan pengawasan yang cukup mencekam. Batinku berkecamuk mengenai apakah Belanda seperti ini kepada pribumi. 


“Di Batavia hampir tidak pernah aku melihat ini, apakah ini tidak keterlaluan? Pasalnya mereka sedang banyak terserang kolera.” Semua pertanyaan ini menghantui pikiranku. Telingaku dengan lantang mendengar cambukan Belanda bagi pribumi yang lama bekerja. Ingin rasanya aku menutup mata melihat ini semua.


“Menir, beristirahatlah di rumah ini, bekerjalah mulai besok,” pinta Welmurs.


“Apakah mereka terus bekerja sampai larut?” tanyaku melihat pribumi yang masih bekerja tak henti-henti di sepanjang perjalan menuju rumah singgahku.


“Mereka sangat suka bermalas-malasan, lagi pula kita akan memberhentikan jika sudah memenuhi target,” ucap Welmurs.


      Sebelum masuk rumah singgahku, mataku menangkap segerombolan anak kecil di pinggiran kebun tengah merebahkan diri di antara jerami padi yang membentang panjang. Mereka asyik tertawa di tengah gelap malam. Hanya tinggal bulan dengan sayu-sayu menyinari. Pikiranku terbayang bagaimana jika anakku masih hidup dan tertawa bebas dengan teman-temannya. 


      Jika dilihat dari pemandangannya, aku betah lama-lama tinggal di sini. Asri sekali, ramai orang pribumi melakukan pekerjaannya. Tak jarang aku mengenal bahasa mereka, asing bagiku namun sangat menarik. Welmurs jarang menemuiku, aku berjaga di rumah singgah dengan pasien kurang dari lima orang. Apakah kolera di sini langsung menghilang setelah kedatanganku? Jika seperti ini terus, aku akan cepat kembali ke Batavia. Rasa rindu menemuinya sudah menggebu-gebu dalam hatiku.


“Sam, jika kulihat-lihat pribumi yang kerja di ladang kian sedikit, ke mana mereka semua?” Tanyaku heran, hari ini sudah sepi sekali pribumi yang berlalu lalang. Kota yang cukup menyenangkan ini tiba-tiba mulai suram. 


“Menir Djo, mungkinlah mereka diletakkan di ladang atas,” kira-kira Sam. 


“Yang penting langganan kopiku terenak di Jambi tidak mungkin ikut pindah kan?” Gurauku pada Sam. Semenjak dua hari lalu, pasien terakhir kami kembali sehat, dia anak bangsawan yang sangat manja, membuatku dan Sam jengkel merawatnya. Setelah tidak ada yang harus kurawat, aku habiskan waktu berkelana ke kedai kopi pojok sana. Sedikit agak jauh memang, namun rasanya tak ada yang bisa menandingi. Bahkan demi Tuhan ini kopi terenak yang pernah aku coba selama menjelajah nusantara. 


“Menir Djo! Menir Menir!” Teriak Damang. Lantas aku mencari sumber suara itu. Mataku menangkap pemuda gagah berlalu menggendong anak kecil di pundaknya. Tampaknya sangat lelah, aku bisa melihat peluh yang bercucuran di sekujur wajahnya. 


      Wajahnya lemas, tangan dan sekujur tubuhnya menggigil dingin. Tangannya mengepal memegang baju pemuda tadi. Aku terkejut melihatnya, ini bisa dipastikan gadis kecil ini terserang kolera. Dengan segera aku menyuruh pemuda tadi membawa ke rumah singgahku. Langkahnya sangat cepat seakan kekhawatirannya sangat tinggi.


“Sejak kapan anak ini seperti ini?” tanyaku.


“Dua minggu lalu Menir” jawab pemuda tadi. Aku terheran mendengar penjelasan pemuda tadi. 


      Di mana letak pemerintahan Belanda yang katanya mengayomi pribumi agar mereka mau bekerja untuknya. Apakah selama ini aku hanya dipekerjakan untuk warga kelas atas saja. Semakin dalam mendengarnya aku makin yakin bahwa kolera ini masih banyak bahkan darurat yang menyebar antarwarga pribumi.


“Apakah banyak warga yang terserang juga?” tanyaku.


“Banyak Menir, kami semua terisolasi di pedesaan kami, tak ada bantuan dari Belanda, Kami juga diberitahu bahwa Menir Djo dan Sam di sini hanya untuk mengobati para bangsawan yang mampu membayar ke Belanda. Akhirnya kami hanya bisa meratapi nasib kami, banyak yang sudah berpulang, Menir.” ungkap pemuda itu. Aku mendengarnya hanya mampu menatap sendu dan merasa terhina sebagai dokter yang tidak bisa diandalkan. 


      Setelah gadis kecil tadi sudah lebih baik, pemuda itu izin pamit untuk pulang karena takut keberadaannya di rumah singgah diketahui belanda. Pemuda itu izin berpamitan dan ingin segera pergi walaupun aku sudah melarangnya karena kondisi gadis itu baru saja membaik.


“Kalau kau takut dengan Belanda, aku ini sejatinya juga Belanda, antar aku dan Sam ke desa kau itu,” pintaku. Pemuda tersebut kaget mendengar tuturku, wajahnya seakan menanyakan akankah aku aman dari Belanda jika melakukan hal ini. Dengan pasti aku menganggukkan wajahku memberi jawaban yakin akan tindakan yang kulakukan. 


      Sekitar dua kilometer kami berjalan, matahari kian menurun, senja ini sungguh menakjubkan. Dataran tinggi Jambi cukup memanjakan mataku, tiba-tiba kota Limburg kembali terlintas di pikiranku. Melihat gadis tersebut tengah tertidur lemas di gendongan pemuda itu, berhasil membuatku kembali rindu dengannya. Jika diingat sudah dua bulan semenjak terakhir aku pergi ke pemakamannya.


“Tidakkah kau lelah Nak Muda?” tanya Sam.


“Tidak, sudah biasa, adikku lebih ringan dibanding pekerjaanku memanen kebun setiap hari,” jelas Pemuda tadi dengan senyum getir.


“Mengapa kalian tidak protes ke Belanda mengenai wabah kolera tersebut?” tanyaku.


“Welmurs tidak akan peduli itu, kecuali jika aku mau membayar, kami pribumi sangatlah berkekurangan jika mengenai uang, upah kami tidak seberapa, dan sering kali ada pemungutan pajak hasil panen kami sendiri,” jawabnya.

 

      Semakin aku mendengar hal tersebut, semakin yakin bahwa Belanda bertindak sangat licik dan tidak memberikan hak atas upaya yang warga pribumi berikan. Dengan batin masih bergelut dengan apa yang aku lakukan berhasil memenuhi batinku sepanjang perjalanan. Namun, rasa menyesalku tidak dapat menolong anakku sendiri yang kesakitan membulatkan tekadku. Dengan langkah pasti akan apa yang aku kerjakan.


“Sebanyak itu, Menir Djo.” jelas pemuda itu kepadaku saat kita sampai di bangunan dengan pondasi kayu rapuh namun cukup luas. Bangunan ini berisi anak-anak hingga dewasa yang terkena kolera. Aku sekilas melihat dua orang yang sibuk memberikan obat kepada beberapa pribumi yang kesakitan.


“Belanda! Belanda kemari!” teriak salah satu warga.

“Tenang, mereka yang menolong Iyah tadi, aku yang mengantarkannya,” bela Pemuda tadi. Saat dengan dijelaskan siapa aku dan Sam, tiba-tiba seorang laki-laki cukup berumur mendorongku dan mencekik leherku.


“BELANDA BIADAB, KAMI KELAPARAN DAN KESAKITAN ATAS ULAH KALIAN!” ucapnya dengan nada yang cukup tinggi. Sam mencoba melerai dengan beberapa orang. Napasku terengah-engah atas kejadian yang baru saja terjadi ini. Salah satu warga memberi aku minum. Di saat sudah mulai membaik, aku jelaskan kepada warga sana mengenai apa niatku. Melihat mereka seperti ini membuat pandanganku mengenai Belanda yang aku temui ternyata dilihat dari mata pribumi sangatlah menjijikkan. Dengan teganya warga pribumi dibuat sakit olehnya, bahkan tidak diberi akses pengobatan.


“Sam bantu aku memeriksa pasien satu persatu,” titahku pada Sam.


“Siap, Menir.” 


     Dua hari sudah aku dan Sam bolak-balik membantu warga pribumi. Setiap pagi aku kembali dan setiap malam kami pergi menemui mereka, sekadar memberikan mereka obat dan pemahaman mengenai apa yang harus terjadi. Hari ini aku mendapat surat mengenai kepulanganku ke Belanda karena tugasku di Jambi telah selesai. Aku bimbang membacanya, ini kesempatan kami untuk pulang ke keluarga kami masing-masing. Namun, pribumi di desa tersebut masih banyak yang terjangkit kolera. 


“Besok pagi temani aku menemui Welmurs,” ucapku pada Sam.


“Akankah nanti malam kita pergi lagi? Aku takut, sepertinya Belanda mengetahui apa yang kita lakukan,” ucapnya dengan lemas.


“Biarkan saja, malam ini agenda kita membagi obat Sam,” ucapku sebelum beranjak ke kamar untuk beristirahat. Mataku terpejam dengan kantuk yang cukup hebat, sayup-sayup aku mendengar dia memanggilku. Dengan samar aku melihatnya duduk di samping ranjang. Gadis yang selalu kurindukan sampai kapanpun itu.


“Papa nanti malam susul aku ke sini ya, aku kesepian, Pa.” ucapnya.


“Iya, nanti Papa susul.” jawabku sebelum mataku menutup dengan sempurna.


      Dengan tas berisi obat-obat, aku dan Sam siap pergi untuk membagikannya. Agak berbeda, hari ini aku merasa lebih lemas semenjak bangun tidur tadi. Kepalaku pening bukan main, kakiku lemas sekedar untuk berdiri. Namun, kami tetap harus membagikan semua obat ini agar mereka segera lekas sembuh. Sesampainya kami di rumah luas tersebut, dengan rinci aku mulai membagi obatnya. Semuanya harus rata agar cepat sembuh dan lekas reda wabah ini.


“HENTIKAN PEKERJAAN YANG KAU LAKUKAN ITU MENIR DJO! ATAU KAMI TEMBAK” teriak Welmurs dari luar ruangan. Dengan hati berdegup kencang aku mencoba mengintipnya, dan benar saja Welmurs datang dengan pasukannya. Aku menyuruh warga diam dan tetap ditempat.


“Tidak keluar maka akan kami serang secara sepihak!” jelasnya kembali. Jantungku berdegup bukan main. Apakah salah jika aku membantu mereka? Melihat Welmurs mulai mendekat lewat jendela, aku kembali berpikir akan apa yang harus kulakukan. Kakiku membawaku keluar rumah dan menyerahkan diri untuk Belanda.


“TANGKAP AKU DAN JANGAN SAKITI SAM MAUPUN WARGA PRIBUMI!” ucapku.

“Menangkap? Hahahahaha tentu saja langsung kubunuh.” bersamaan dengan jawaban tersebut, pistol ditembakkan tepat ke arahku. Suaranya menembus semua telinga yang berada di situ. Tangis Sam dan warga pribumi melihat kejadian yang sangat tidak terduga ini. Lalu, prajurit dengan jumlah cukup banyak menangkap kami semua dan membawa kami ke tawanan. 


     Sudah sebulan semenjak kejadian itu, Kolera masih kian parah. Namun kini, Jambi sudah berganti gubernur Belanda semenjak Welmurs ditangkap atas tindakannya. Jambi kini memiliki pusat kesehatan khusus yang dibentuk Gubernur Remur agar kolera cepat teratasi. Pribumi mendapat perlakuan khusus sehingga mampu menghapuskan jejak Belanda yang sangat kejam. Remur cukup adil dan bijaksana sehingga dari sinilah periode Jambi berhasil maju dibuatnya. 


“Aku akan menggantikanmu Menir, dan aku akan menceritakan tentangmu kepada seluruh warga Limburg ketika nanti aku pulang, berbahagialah menemui gadis kecilmu,” Ucap Sam.

More Posts