12 juta hanya untuk kebutuhan Kusno!!
Di sebuah negara bernama Indonesia, tepat setelah 20 tahun negeri ini dinyatakan merdeka, Presiden Kusno menggagaskan sebuah ide untuk membuat sebuah patung dirgantara.
“Narso, saya mau membuat sebuah patung dirgantara untuk menghormati para pahlawan penerbang Indonesia” kata Presiden Kusno.
“Tapi untuk apa Pak Presiden?” tanya Narso.
“Kita memang belum bisa membuat pesawat terbang, tetapi kita punya pahlawan kedirgantaraan Indonesia yang gagah dan berani. Kalau Bangsa Amerika, Bangsa Soviet, bisa bangga pada industri pesawatnya, kita juga harus punya kebanggaan!! Jiwa patriotisme itulah kebanggaan kita! Karena itu saya ingin membuat sebuah monumen manusia Indonesia yang tengah terbang dengan gagah berani, untuk menggambarkan keberanian bangsa Indonesia. Kalau dalam tokoh pewayangan seperti Gatotkaca yang tengah menjejakkan bumi” jelas Presiden Kusno panjang lebar.
“Patung seperti apa yang ingin Pak Presiden buat?” tanya Narso
“Seperti ini lho, So. Seperti Gatotkaca menjejak bentala” jawab Presiden Kusno sambil berpose.
Akhirnya Narso pun menyetujui permintaan Presiden Kusno dan bergegas untuk membuat patung dirgantara. Patung yang akan dibuat oleh Narso ini menampilkan figur seorang laki laki berotot dengan sehelai kain terjuntai di bahu yang seolah tertiup angin, tangan kanannya yang memegang sebuah pesawat, tatapan matanya yang tajam, dan gestur tubuhnya yang digambarkan melaju dan akan melesat menuju angkasa.
***
Beberapa hari pun berlalu, Narso dan rekan rekannya mulai membuat patung dirgantara tersebut. Setelah model patung dirgantara selesai, Narso mengusulkan kepada Kusno agar patung yang rencananya berbentuk manusia dengan memegang pesawat di tangan kanannya untuk diubah.
“Pak, patung yang memegang pesawat di tangannya kok terlihat seperti mainan, Bagaimana kalau tidak usah ada pesawat? Cukup dengan gerak tubuh dan gerak selendang saja?” ujar Narso
“Ya sudah So, kalau menurutmu lebih baik ya tidak usah dipasang, tidak usah dibuat” jawab Kusno
Setelah disepakati, Narso pun kembali melanjutkan pembuatan patung dirgantara tersebut.
***
Hari demi hari berlalu, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Tepat pada tanggal 30 September 1965 negara Indonesia mengalami peristiwa G30S PKI, yang menyebabkan pembuatan patung dirgantara sempat diberhentikan.
“Eh.. eh.. eh.. apa pembuatan patung pancoran itu merupakan simbol komunis?” ujar salah satu warga.
Banyak warga Indonesia yang menyangka bahwa patung dirgantara ini merupakan simbol komunis. Hingga akhirnya Presiden Kusno mendapat hantaman dari dalam negeri. Banyak masyarakat Indonesia yang menyangka bahwa dalang dibalik peristiwa G30S PKI adalah PKI itu sendiri. Presiden Kusno yang ketika itu dekat dengan PKI, ikut terseret, bahkan Presiden Kusno pernah disebut sebagai dalang G30S karena dituding ingin melenyapkan oposisi sebagian perwira tinggi Angkatan Darat terhadap kepemimpinannya.
Akhirnya banyak mahasiswa-mahasiswa yang melakukan aksinya untuk meminta pembubaran PKI sekaligus menuntut Presiden Kusno untuk turun jabatan. Akhirnya statusnya yang menjadi Presiden seumur hidup dicabut oleh MPRS karena peristiwa pemberontakan PKI ini. Buntutnya, Presiden Kusno dilengserkan dan Pak Hartono diorbitkan.
Setelah dilengserkan, Presiden Kusno memasuki masa karantina politik alias menjadi tahanan rumah. Pada Mei 1067, pihak berwenang memutuskan bahwa Kusno tidak lagi diperkenankan untuk menetap di Jakarta. Ia hanya diizinkan untuk tinggal di salah satu paviliun Istana Bogor. Beberapa bulan tinggal di paviliun, Kusno mendapat surat yang menyatakan haknya untuk tinggal di lingkungan istana kePresidenan dicabut. Akhirnya ia pun pindah ke rumah peristirahatan “Hing Puri Bima Sakti” di Batutulis, Bogor. Karena kondisi suhu di Bogor yang dingin, menyebabkan penyakit yang diidap Kusno sering kambuh. Anak anak Kusno pun meminta izin kepada pemerintah agar ayahnya boleh tinggal lagi di Jakarta. Permintaan itu pun dikabulkan langsung oleh Presiden Pak Hartono.
Akhirnya Kusno dipindahkan dari Bogor ke Wisma Yaso, Jakarta Selatan. Wisma Yaso adalah rumah kediaman Kusno dengan istrinya yang lain, Ratna Sari Dewi. Tetapi atas perintah Kusno, Dewi pun pergi meninggalkan Kusno untuk menetap di Perancis. Kesunyian pun mewarnai hari hari Kusno di Wisma Yaso.
Disisi lain ternyata Narso sudah tidak mempunyai bahan-bahan dan uang untuk melanjutkan pembangunan patung dirgantara. Dana awal pembangunan patung dirgantara ini sepenuhnya menggunakan dana milik Narso sebesar Rp12.000.000. Pemerintah ketika itu hanya menyiapkan dana sebesar Rp5.000.000, Presiden Kusno pun ketika itu turut mengeluarkan pribadi sebesar Rp1.000.000 demi proyek tersebut. Sisanya pun sebesar Rp6.000.000 masih menjadi utang pemerintah.
Bahkan Narso sampai memiliki utang kepada bank dan pemilik bahan-bahan bangunan untuk membiayai dana awal pembuatan patung dirgantara. Pembuatan patung dirgantara ini juga tidak menggunakan dokumen perintah resmi negara, pembangunan ini murni soal kepercayaan. Proyek pembuatan patung ini Narso kerjakan atas perintah Presiden Kusno. Karena ada banyaknya kendala biaya, akhirnya patung dirgantara tersebut terbengkalai selama beberapa tahun di Studio Arca Yogyakarta dalam bentuk potongan-potongan yang siap dirangkai.
***
Pada Februari 1970, Narso mendapat panggilan untuk menghadap Kusno di Istana Bogor. Saat tiba di Istana Bogor, Narso melihat Suryadarma dan Leo Wattimena, pelukis Dullah dan beberapa teman dekatnya ikut dalam pertemuan tersebut.
“Gimana kabarnya saudara Narso?” kata Kusno
“Alhamdulillah baik Pak” jawab Narso
“Patung dirgantara gimana kabarnya?” tanya Kusno
“Sudah selesai Pak”jawab Narso
“Kok belum dipasang?”
“Sebelumnya saya minta maaf Pak. Saya sudah tidak punya uang, terpaksa semua pekerjaan saya tangguhkan. Saya disegel karena masih punya utang”
Kusno merasa tersentuh, tak lama kemudian ia pun memanggil Gafur dan Dullah yang duduk di belakangnya.
“Fur, mobilku jual saja yang Buick. Kalau sudah laku uangnya langsung serahkan ke Narso ya supaya cepat dipasang patungnya!”
“Aduh… Pak Kusno tidak usah repot-repot”
“Tidak papa, toh juga keinginan saya kan untuk membuat patung dirgantara”
“Makasih banyak Pak Kusno, kalau begitu saya pamit dulu”
Saat mau keluar Istana Bogor, Narso kembali dipanggil oleh salah satu staf Kusno. Ia memberikan uang sebesar Rp1.750.000 kepada Narso hasil dari penjualan mobil milik Kusno. Setelah mendapat uangnya, Narso bergegas kembali ke Yogyakarta untuk mempersiapkan pengangkutan patung ke Jakarta.
***
Selama satu minggu pemasangan patung dirgantara berjalan, Kusno melihat langsung pengerjaan merangkai patung tersebut. Setiap bagian dari patung tersebut memiliki berat sebesar 80-100 kg. Pemasangan patung ini dimulai dari bagian kaki sampai bagian pinggang yang kemudian di las untuk menyatukan setiap bagian patung.
Ketika sampai pengelasan pada bagian pinggang, Narso melihat ke arah bawah dan terlihat banyak orang yang sedang berkerumun melihat proses pemasangan patung tersebut, termasuk Kusno. Padahal, kondisi Kusno pada saat itu sedang tidak baik saja. Narso pun yang melihat Kusno bergegas untuk turun, namun dilarang oleh Kusno. Lewat megaphone milik pengawal, Kusno mengawasi gerak gerik Narso.
Minggu pertama April 1970, pemasangan patung sudah sampai di bagian pundak. Tangan kanan patung tersebut juga sudah terpasang, tinggal sebelah kiri yang sedang dalam tahap penyambungan. Selama proses pemasangan patung, Kusno tidak pernah absen untuk melihat proses pemasangan patung. Bahkan dalam kondisi kurang sehat pun Kusno tetap memaksakan diri untuk melihat proses pemasangan patung.
***
Pada bulan Mei 1970, Narso mendengar kabar kalau Kusno akan melakukan inspeksi kembali untuk ketiga kalinya. Narso pun kembali menunggu kedatangan Kusno. Hari demi hari berlalu, Kusno tak kunjung datang kembali. Suatu hari, Narso pun mendapat kabar bahwa Kusno tidak kembali datang dikarenakan penyakit yang diderita Kusno semakin serius.
Satu bulan berlalu, pada pukul 10.00 tanggal 20 Juni 1970, Narso yang kala itu sedang berada di puncak patung dirgantara, melihat iring iringan mobil jenazah melintas di bawah patung tersebut. Narso yang dari kejauhan melihat foto pigura Kusno yang sedang dibawa mengiringi mobil jenazah tersebut, langsung bergegas turun. Ternyata mobil jenazah tersebut adalah mobil jenazah Kusno dari Wisma Yaso yang akan diberangkatkan menuju Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Jenazah Kusno akan dibawa ke Blitar.
Setelah sampai di bawah, badan Narso seketika lemas melihat kejadian yang baru saja terjadi. Seolah olah apa yang dilihatnya barusan adalah sebuah mimpi yang tidak akan pernah terjadi. Setelah sadar, ia pun bersama rekan rekanya Gardono langsung bergegas menuju Blitar untuk menyusul mobil jenazah Kusno. Sampai di Blitar, upacara pemakaman Kusno pun dilaksanakan.
***
Seminggu setelah pemakaman Kusno, Narso bersama tim pekerja patung lainya pun kembali ke Jakarta untuk melanjutkan pemasangan patung dirgantara yang sudah mencapai tahap akhir pemasangan. Mereka membutuhkan waktu sekitar satu bulan untuk menyelesaikan patung tersebut.
Setelah satu bulan berlalu, akhirnya mereka pun menyelesaikan patung dirgantara tersebut. Narso menyelesaikan patung tersebut dalam kondisi yang belum diberi nama, belum diresmikan, dan masih memiliki hutang.