M. Rifkyy 1 year ago
agen intel nyamarr #budaya

I Have a Dream!

Mendengar kembali kalimat-kalimat sang legenda....

I Have a Dream!


Pada hari ini 60 tahun yang lalu, 28 Agustus 1963, sebuah sejarah tercipta di Amerika Serikat. 

Hari itu, Martin Luther King Jr., seorang diri naik ke atas “panggung”. Apa yang dilakukannya? Berbicara. Pidato lebih tepatnya. Disaksikan langsung oleh 200.000 lebih masyarakat Amerika.

Hebat sekali, bukan? Hanya berorasi saja, tetapi penonton dan pendengarnya mencapai ratusan ribu pasang mata. Apa sebenarnya yang disampaikan oleh sang tokoh revolusioner tersebut? 

Kalian tahu, semua orang pun tahu. Satu dunia berada pada situasi yang sedang panas-panasnya pada masa itu. Perang saudara dan bermacam krisis ekonomi sering terjadi di berbagai belahan dunia. Terutama di Amerika, hal-hal yang berkaitan dengan SARA seolah dianggap sepele dan diremehkan oleh berbagai kalangan masyarakat termasuk di jajaran pemerintahannya. Seolah hampir tidak ada keadilan yang tersisa saat itu. 

Bertahun-tahun setelah masa Perang Dunia II berakhir, hingga masa pemerintahan Presiden ke-34, Dwight D. Eisenhower, masih banyak terjadi kekacauan, pelanggaran HAM, hingga aksi diskriminasi dan rasisme terhadap orang-orang nonpribumi dan yang berkulit hitam saat itu. Tidak hanya soal ras dan latar belakang, masa itu juga banyak kelompok buruh yang turun ke jalan untuk melakukan aksi unjuk rasa. Mengapa mereka melakukannya? hal tersebut bisa saja disebabkan oleh aturan yang ditetapkan manajemen perusahaan atau regulasi dari kementerian pusat yang dianggap sewenang-wenang dalam menetapkan kebijakan upah minimum.

Dari masalah ekonomi, kekacauan itu terus melebar hingga memengaruhi sektor pendidikan di sana. Tak sedikit anak-anak dari keluarga kelas bawah yang tidak diberi haknya untuk mendapatkan pendidikan. Apakah ada yang berani terang-terangan menentang semua hal tersebut? Bisa dikatakan tidak. Hal itu seolah telah melekat dalam kultur masyarakat Amerika saat itu, bahkan hingga masa Presiden JFK sekalipun.

Hingga akhirnya, muncullah seorang pemberani dari tanah Georgia. Pada hari itu, di tengah aksi pawai untuk Pekerjaan dan Kebebasan di Washington, di atas tangga bangunan Lincoln Memorial, dengan suara pidatonya yang khas, mewakili seluruh lapisan masyarakat menyuarakan aspirasi mereka. Untuk kebebasan, keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran bersama. 

Itu merupakan 17 menit yang bersejarah. Semua menyimak pidato King yang penuh energi dan membara saat itu. Salah satu kutipan paling ikonik dalam pidato tersebut berbunyi, “I have a dream that my four little children will one day live in a nation where they will not be judged by the color of their skin but by their character.” Artinya adalah saya bermimpi kelak keempat anak saya akan hidup di suatu bangsa di mana mereka tidak dinilai dan dibedakan dari warna kulitnya, tetapi dari karakternya. 

Pidato tersebut seakan menggerakkan masyarakat untuk melakukan sebuah revolusi di mana kata keadilan mesti dijunjung setinggi-tingginya. Perdamaian di seluruh lapisan masyarakat harus tercipta. Dan rasa toleransi antarsesama harus diutamakan. Namun pada kenyataannya, apakah cita-cita tersebut sudah tercapai dengan baik? Tentu saja belum. Sikap diskriminatif dan pelanggaran hak-hak sipil warga masih sering terjadi pada waktu atau saat-saat tertentu. Tetapi setidaknya, King telah menyuarakan aspirasi rakyat untuk melakukan perbaikan di segala aspek berbangsa dan bernegara yang mengarah pada moralitas publik. Sebuah energi dan dorongan positif yang mesti diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Berkat pidatonya itu, MLK dianugerahi gelar Nobel Perdamaian pada 1964. Sebuah penghargaan tinggi untuk seorang aktivis muda seperti King. Bukan seorang aktivis profesional namanya jika hidupnya terbebas dari sentimen negatif orang lain serta aman dari segala bentuk ancaman. Itulah yang terjadi pada seorang Martin Luther King Jr. Pada 4 April 1968, saat ia sedang bersantai menikmati waktu di penginapannya, seseorang yang sudah sejak lama menjadi oposisinya memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengeksekusi King. Hari itu juga, seluruh masyarakat Amerika berkabung atas kepergian seorang aktivis muda pemberani itu. 

Meski King telah tiada, namun suara lantangnya saat berpidato hari itu akan terus terdengar dan tak akan lekang oleh waktu. Bahwa seluruh individu mesti menghargai individu lainnya, setiap kelompok sosial, suku, ras, dan agama, harus menghargai dan menghormati kelompok lainnya meski latar belakang mereka berbeda sekalipun. Bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Bahwa kesetaraan ialah yang terpenting. 

“Jika kau tak bisa terbang, maka berlarilah. Jika kau tak bisa berlari, maka berjalanlah. Jika kau tak bisa berjalan, maka merangkaklah. Apapun yang kau alami, kau harus tetap melangkah ke depan.” 

Martin Luther King Jr.

35
286
Dibalik Permen Karet

Dibalik Permen Karet

https://lh3.googleusercontent.com/a/AGNmyxYKZ-s4XsIaC9Al3R5ep1uEBVAvHMkuM9MhZQxr=s96-c
Afra Septi Kania
1 year ago

Cerita Narasi: Ikatan Tali Persahabatan

Sebuah cerita fantasi karya Ardha Karim Alfarrees yang mengandung amanat untuk janganlah b...

https://lh3.googleusercontent.com/a/AAcHTtdGmF2e-ItdsdYE9TgImFhDGKHoAxklhdWBSBppAr7_YA=s96-c
Fitri Isnaeni
1 year ago
Tumbuhkan Rasa Cintamu Untuk Negerimu

Tumbuhkan Rasa Cintamu Untuk Negerimu

1728274253.jpeg
ainun
6 months ago
Peran Pohon dalam Kelangsungan Hidup Manusia

Peran Pohon dalam Kelangsungan Hidup Manusia

https://lh3.googleusercontent.com/a/AEdFTp64ojUSJ2dXm_qvrWsF1bCkkAFxOK7hrZaWel8t=s96-c
Shulhan
1 year ago
Buto Pethakilan

Buto Pethakilan

https://lh3.googleusercontent.com/a/AGNmyxY_-GwmwmulI3_C36t7KFnOYdKYOkWt-qZQnObB=s96-c
Nagita Puspa
9 months ago