Karena yang Terlupakan, Hanya Butuh Waktu untuk Gemilang

Cerita ini tentang suatu peristiwa terlupakan dalam sejarah yang berdasarkan kejadian nyata dan sudah mendapatkan bumbu fiksi. Harap pembaca bijak menyikapi dan mencari sumber sejarah untuk mengecek kebenaran peristiwa.

2025-11-17 04:35:24 - Fitri Isnaeni

Aku bukan seorang pahlawan. Sejujurnya aku sendiri merasa tidak layak mendapatkan penghargaan Bintang Mahaputra Utama kala itu. Apalagi untuk suatu hal yang bahkan siapa saja bisa melakukannya. Namun, sepertinya takdir memang senang bermain-main denganku. Aku hanya memungut ‘sebuah kertas’ dari tong sampah di rumah Laksamana Maeda yang kurasa bisa kujadikan sebagai pemanis di berita yang akan kutuangkan dalam surat kabarku. Tapi siapa sangka? Tindakan itu membawaku kepada gelar ‘pahlawan’ yang katanya secara luar biasa menjaga keutuhan, kelangsungan, dan kejayaan Negara Republik Indonesia. 

Tahun 1978, aku datang berkunjung ke Istana Negara karena mendapat panggilan langsung dari Presiden Soeharto. Katanya aku layak disebut ‘pahlawan’ karena jasaku pada negara. “Jasa apa pula itu?” pikirku kala itu. Dan ternyata, itulah awal segalanya. Hidupku tidak lagi sama berkat ‘gelar’ hebat itu.

***

“Bur … Burhanuddin!” seru temanku memanggilku

Ya, itulah namaku. Nama yang Ayahku berikan kepadaku. Meskipun aku sendiri tidak pernah tahu seperti apa sosok Ayahku. Aku masih terlalu kecil untuk mengingat seperti apa sosok ayah yang katanya adalah seorang pegawai pabean di Aceh Barat itu. Ayahku meninggal satu minggu setelah kelahiranku dan hanya namakulah yang mengingatkanku padanya. Karena itu, aku lebih senang menambahkan nama ayahku di belakang namaku, Buhanuddin Mohammad Diah. Itulah namaku sekarang.

Ibuku harus bekerja keras menghidupi kedelapan anaknya, tujuh kakakku dan aku, selepas kepergian ayahku. Sampai pada akhirnya tubuhnya menyerah dan meninggalkanku bersama kakakku saat aku berumur delapan tahun.

Kakakku secara bergantian mengurusku sejak saat itu. Menulis telah menjadi duniaku sejak aku mengenalnya. Bermula dari pendidikan di sekolah dasar HIS Kutaraja dan berlanjut ke Taman Siswa di Medan, menulis menjadi satu hal yang tidak pernah jemu kugeluti. Sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan studi formal di Middelbare Journalisten School di Kesatrian Instituut Bandung yang berhasil kuselesaikan tahun 1937.

***

“Bung, bagaimana menurutmu?” tanya Chairul Saleh membuyarkan lamunanku yang berkelana ke masa lalu.

Aku sedang berdiskusi dengan panitia sementara yang beranggotakan para pemuda yang menginginkan Indonesia segera merdeka. Begitu mendengar kabar bahwa Jepang sedang pontang-panting berusaha bertahan setelah dijatuhi bom di dua wilayahnya, Hiroshima dan Nagasaki, para pemuda ingin segera menyatakan kemerdekaan. Sayangnya golongan tua berbeda pendapat. Soekarno, Hatta, Subarjo, Yamin, dan Abikusno terlalu berhati-hati.

“Bagaimana mungkin kita menunggu keputusan Jepang untuk menyatakan kemerdekaan kita sendiri? Apa yang mereka pikirkan? Bagaimana bisa mereka seperti itu!” 

“Sepertinya mereka terlalu patuh dengan Jepang, Bung. Sampai lupa perderitaan yang sudah kita alami 3,5 tahun karena kebengisan mereka.”

“Aku terkesan dengan ucapan Bung Chaerul di depan golongan tua: ‘Pemuda-pemuda menghendaki Negara Republik Kesatuan dan ingin merdeka sekarang juga! Siapa merintangi perjuangan kami, adalah penghalang dan pengkhianat!’ dan aku setuju dengannya.”

Rekan-rekanku sangat marah dan tidak sabar dengan golongan tua yang tidak mau memproklamasikan kemerdekaan secepatnya. Kami memilih pergi meninggalkan sidang sebagai bentuk aksi demonstratif. Kami hanya ingin mencantumkan kata-kata “Republik Indonesia” dalam anggaran dasar, seperti itu saja ditolak?

Di tengah gentingnya situasi Jepang, tidak terlihat ada niatan dari golongan tua untuk segera menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk bergerak sendiri sesuai keyakinan kami masing-masing.

***

Situasi Jepang semakin tidak baik-baik saja. Semakin hari mereka tampak semakin gusar dan mudah curiga dengan segala perkumpulan yang dilakukan lebih dari tiga orang. Karena hal itu pula, kami semakin berhati-hati jika akan berkumpul.

“Bung, malam ini di rumahku kita latihan silat ya. Aku akan mengundang dua pelatih yang bisa tidak kaleng-kaleng.” ucap Bung Chaerul tiba-tiba ketika melihatku di lorong.

“Bung ada-ada saja, ha ha ha”, tawaku terhenti ketika melihat kode alisnya yang penuh makna. Aku langsung memahami maksud dari ajakannya tersebut. Sebagai dalih dan untuk membodohi Jepang, Bung Chaerul sengaja mengumpulkan kami di rumahnya untuk ‘berlatih silat’ dengan dua pelatih yang juga diundangnya.

***

Hari itu tanggal 14 Agustus 1945. Jepang semakin pontang-panting mempertahankan diri. Dengan menelan pil pahit, mereka terpaksa menyerah pada sekutu. Seketika itu juga darah kami mendidih dengan semangat perjuangan. “Ini saatnya! Ini kesempatan emas yang tidak boleh dilewatkan.”

Kami segera berkumpul dan mengadakan rapat untuk menentukan langkah taktis berikutnya untuk dapat segera memproklamasikan kemerdekaan. Sayangnya, Soekarno dengan tegas menyatakan ketidaksetujuannya.

Inilah leherku, saudara boleh membunuh saya sekarang juga. Saya tidak bisa melepaskan tanggungjawab saya sebagai ketua PPKI. Karena itu saya tanyakan kepada wakil-wakil PPKI besok.

***

Hingga pada akhirnya 16 Agustus 2025, tokoh-tokoh PPKI melakukan pertemuan di rumah Laksamana Tadashi Maeda. Sebagai seorang jurnalis, aku turut hadir untuk mendokumentasikan peristiwa bersejarah ini. Aku diberi amanah untuk menyebarluaskan informasi kemerdekaan yang akan segera dilakukan dalam hitungan jam. Semua orang di rumah itu tampak tidak sabar, antusias, dan bersemangat. Akhirnya setelah berbagai gejolak, pertumpahan darah, dan perbedaan pendapat, kami berkumpul untuk membahas suatu kedaulatan yang tidak lagi hanya angan-angan. Melainkan impian yang sudah ada di depan mata. Begitu dekat dan tampak sangat mudah diraih, tapi ringkih dan harus hati-hati.

Dari pojok ruangan aku mendengar diskusi para tokoh penting itu.

“Bagaimana jika seperti ini?” Soekarno menyerahkan selembar kertas yang ia robek dari jurnal kecilnya. Dalam sekejap, kertas itu telah berpindah tangan ke banyak pihak, mendapat tambahan, coretan, masukan.

“Bagaimana saudara sekalian? Apakah sudah setuju dengan naskah ini?”

“Setuju.”

“Iya, saya setuju.”

Dengan suara terbanyak menyatakan kesetujuannya. Naskah tersebut perlu diresmikan.

“Mari Bung kita tanda tangan.” Ajak Soekarno kepada seluruh anggota forum.

“Sebentar, saya tidak setuju jika semuanya bertanda tangan di naskah itu.” Sukarni menyatakan pendapatnya.

“Mengapa Bung? Bukankan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat juga ditandatangani oleh semua orang dalam forum?”

“Saya juga setuju, bukankah banyak golongan tua yang adalah kolaborator Jepang? Bagaimana nanti jika menjadi masalah di kemudian hari?” Suara lain menimpali dan menguatkan pendapat Sukarni.

“Lalu maunya Bung bagaimana? Apakah golongan muda saja yang tanda tangan? Sedangkan kami golongan tua hanya melihat? Tidak bisa seperti itu Bung!” Situasi mulai memanas. Golongan tua dan golongan muda sama-sama memiliki pendapat yang kuat.

“Sudah Bung, kita selesaikan dengan damai!”

“Baiklah kalau begitu, bagaimana baiknya?”

“Cukup Bung Karno dan Bung Hatta saja yang menandatangi. Dengan catatan ‘atas nama bangasa Indonesia’ sehingga mewakili kita semua.”

“Ide bagus, saya setuju.”

Tercapailah kesepakatan bahwa Soekarno dan Hatta yang menandatangi sebagai ‘perwakilan bangsa Indonesia’. Meskipun mereka sama-sama golongan tua, sepak terjang mereka telah diakui dan semua anggota setuju jika merekalah yang mewakili Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

“Ti, Ti, tik, tik!” Seru Bung Karno ketika meminta Sayuti Melik menyalin naskah proklamasi menggunakan mesin tik. Tak menunggu waktu lama, Sayuti telah menyelesaikan naskah proklamasi dengan mesin tiknya. Setelah itu, Soekarno membuang kertas coretan naskah proklamasi yang berupa coretan secarik kertas karena sudah ada versi tiknya yang lebih rapi.

“Ayo sudah siang, segera kita siapkan proklamasi. Pukul 10.00 semuanya harus sudah siap.”

Segera semua orang sibuk menempatkan diri masing-masing. Mereka segera menghubungi pers untuk menyebarkan berita proklamasi yang akan segera dilangsungkan supaya seluruh rakyat Indonesia dari berbagai penjuru mendengar berita baik ini.

Di tengah hiruk pikuk ini, aku melihat kertas yang dibuang oleh Soekarno. Kertas coretan yang tampaknya sudah tidak lagi berharga. Kertas yang sudah teronggok di tempat sampah seolah tidak lagi bermakna. Kuulurkan tanganku, kugapai kertas itu dan kuratakan kembali. Bekas remasan tangan dan coretan tampak sangat jelas. Aku menyelipkannya di jurnal yang selalu kubawa ke mana-mana.

Berita kemerdekaan Indonesia tersiar ke mana-mana di seluruh penjuru. Menggaungkan semangat rasa lega yang tak terkira. Setelah bertahun-tahun hingga berabad-abad diinjak-injak dan direndahkan oleh bangsa lain yang datang tanpa tahu diri, akhirnya menghirup udara bisa terasa senyaman ini, selega ini. Euforia kemerdiaan menjadi berita hangat yang menjadi buah bibir di mana-mana. Semua orang merayakan dengan gegap gempita. Orang tua yang kehilangan anaknya karena dibawa Jepang, lelaki yang cacat akibat perang, perempuan yang kehilangan suaminya, anak-anak yang kehilangan Ayah dan terpisah dari Ibunya. Air mata bahagia menggores wajah mereka yang kotor dan berdebu. Meskipun rasa kehilangan masih ada, setidaknya angin segar memberi mereka harapan untuk bisa hidup lebih nyaman dengan identitas berdikari sedikit lebih lama. Di tengah hiruk pikuk itu, kertas coretan yang tampak tak berharga itu terlupakan. Terselip di buku-buku yang kemudian berdebu dan terpinggirkan.

***

Agustus 1967

Semua orang tampaknya sudah lupa dengan naskah asli teks proklamasi. Mereka hanya mengetahui bahwa naskah proklamasi adalah naskah yang telah di tik oleh Sayuti Melik. Hingga aku rasa Indonesia perlu tahu akar mereka yang sebenarnya, naskah asli tulisan Soekarno yang masih kusimpan rapi disela jurnalku semasa aku menjadi jurnalis.

Agustus 1967 pada peringatan proklamasi kemerdekaan. Aku merasakan kembali proklamasi kala itu. Peringatan proklamasi kali ini menggunakan naskah yang sudah lama kusimpan rapat-rapat. Dari pengakuan inilah orang-orang mulai ‘melabeliku’ dengan pahlawan. Orang yang mengamankan naskah proklamasi kemerdekaan.


***

Hingga akhirnya Mei 1992, aku menyerahkan naskah itu kepada Presiden Soeharto. Siapa yang akan menyangka. Naskah yang pernah terbuang di tempat sampah, terlupakan selama berabad-abad, akhirnya menemukan tempatnya kembali sebagai naskah penting dan ditempatkan di Arsip Nasional.

Terkadang sesuatu yang tampak tak berharga hanya perlu dimunculkan ke permukaan untuk mendapatkan perhatian dan pamornya. Butuh waktu bertahun-tahun untuk menyadari pentingnya suatu makna. Seperti naskah proklamasi tersebut yang sudah lama terlupakan, ia hanya butuh waktu lebih lama untuk mendapatkan tempat yang sebenarnya.

More Posts