Kota Semarang adalah ibu kota dan kota terbesar di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kota ini merupakan pelabuhan pada masa penjajahan Belanda dan masih menjadi pusat regional serta pelabuhan penting hingga saat ini. Kota ini dinobatkan sebagai destinasi wisata terbersih di Asia Tenggara oleh Standar Kota Wisata Bersih ASEAN (ACTCS) untuk periode 2020–2022.
Kota Semarang memiliki luas wilayah sebesar 37.378 km2, jumlah penduduk resmi pada pertengahan tahun 2025 adalah 1.700.658 jiwa.
Kota Semarang juga memiliki 26 kabupaten. Sekarang, Kota Semarang dipimpin oleh Ibu Agustina Wilujeng Pramestuti dan Bapak Iswar Aminuddin sejak 20 Februari 2025. Kota Semarang memiliki luas wilayah administratif sebesar 373,70 km2, sekaligus merupakan administrasi kota madya terluas di Pulau Jawa. Secara etimologis, nama “Semarang” berasal dari kata “Asem” yang berarti “asam/pohon asam” dan kata “arang” yang berarti jarang, jika digabungkan menjadi “asam yang menjadi jarang-jarang”
Penamaan “Semarang” ini bermula ketika Ki Ageng Pandanaran I pergi ke pulau bernama Pulau Tirang. Di sana ia melihat pohon asam yang jarang-jarang tumbuh berdekatan. Nama “Semarang” sempat berubah saat zaman kolonialisme Hindia Belanda menjadi “Samarang”. Seperti kota besar lainnya, Semarang juga dibagi menjadi seperti berikut: Semarang Pusat, Semarang Timur, Semarang Barat, Semarang Selatan dan Semarang Utara.
Pada tahun 1678, Kesultanan Mataram yang menggantikan Pajang menyerahkan Kota Semarang kepada VOC (Belanda) sebagai bagian dari perjanjian setelah terjadi pemberontakan oleh Trunojoyo. Belanda membangun sebuah benteng berbentuk segi lima, yaitu Benteng Vijfhoek, dekat pelabuhan. Benteng ini menjadi awal dari lahirnya Kota Lama. Benteng ini berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan, sehingga Semarang menjadi salah satu kota penting di Jawa selama masa kolonial.
VOC terus mengembangkan infrastruktur pelabuhan dan membangun permukiman dengan gaya Eropa, seperti Gereja Blenduk yang dibangun pada tahun 1753.
Gereja ini sekarang menjadi ikon Kota Lama. Komunitas Tionghoa yang sudah ada sejak sebelum masa kolonial membangun kelenteng Sam Poo Kong, yang menjadi pusat budaya Tionghoa di Semarang. Pengaruh budaya Tionghoa semakin kuat, terutama di daerah Pecinan (sekitar Gang Lombok dan Gang Warung) yang menjadi pusat perdagangan.
Pada tahun 1906, Belanda membentuk pemerintahan Gemeente Semarang berdasarkan Stadblat Nomor 120 dengan wali kota yang diisi oleh orang Belanda.
Sistem ini memperkenalkan administrasi modern dengan fokus pada pembangunan pelabuhan, rel kereta api, serta bangunan seperti Lawang Sewu yang dibangun antara 1904 sampai 1907 sebagai kantor Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij. Semarang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah, gula, dan kopi, yang menarik perhatian para pedagang dari berbagai belahan dunia.
Masa Pendudukan Jepang dan Kemerdekaan
Pada 1942, Semarang diambil alih oleh Jepang dari Belanda.
Pemerintahan beralih ke tangan Shico, pemimpin militer Jepang, dengan fokus pada eksploitasi sumber daya untuk mendukung perang. Lawang Sewu digunakan sebagai penjara dan markas militer, meninggalkan cerita menegangkan tentang tahanan yang tidak berdosa yang menderita perlakukan kasar. Legenda ini masih menghantui gedung tersebut hingga hari ini.
Setelah proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945, Semarang menjadi pusat perjuangan, dengan Pertempuran Lima Hari (15–20 Oktober 1945) melawan sisa pasukan Jepang. Peristiwa ini menunjukkan semangat heroik dan perlawanan rakyat Semarang.
Pada tahun 1946, Semarang ditetapkan sebagai Kota Praja dengan bupati sebagai pemimpin.
Tahun 1957, status Semarang berubah menjadi Kota Madya. Sejak tahun 1999, Semarang menjadi Kota Otonom berdasarkan Undang-Undang Otonomi Daerah. Sejak tahun 2005, Walikota Semarang dipilih secara langsung oleh masyarakat.