Cerpen created by SOMEONE "special" Mohon kebijakan pembaca dalam menyikapi konten dalam cerita.
Hawa panas menyeruak masuk melalui celah-celah jendela di pagi hari yang sejuk. Jeritan-jeritan bagaikan sebuah lagu bagi seorang gadis kecil berumur 8 tahun. Ia tinggal bersama ibunya di rumah tua dengan kayu-kayu yang telah dimakan rayap. Pagi yang sunyi itu, ibunya menerobos masuk ke dalam kamarnya yang sempit dan menggendongnya keluar. Si jago merah melahap rumah-rumah yang ada di sekitarnya, menyebarkan asap hitam pemicu ketakutan.
“APAKAH ITU ULAH PARA PENJAJAH ITU LAGI!” teriak seorang lelaki yang telah memasuki kepala empat. Ia masih terlihat gagah dengan tubuh tegapnya dan ekspresi tegas yang ia tunjukkan. Matanya menatap cahaya merah yang kini mulai padam, menyisakan kepulan asap hitam pekat.
Mata pria itu melembut saat ia merasakan tangan gadis kecil yang meremas celana panjang hijau yang ia kenakan. “Ayah.., maaf…, Baginda saya takut .....” ucapnya sambil menyembunyikan wajah bulatnya. Sang Ayah menggendongnya dan tersenyum, “Kau tahu apa arti dari kejadian kali ini Anjani?” Tanya sang ayah, wajahnya masih terlihat tegas diselingi dengan senyuman yang lembut.
“Tidak,” ucap Anjani sambil menggelengkan kepalanya.
“Kamu harus melawan mereka, para penjajah kejam itu!” Ucap sang ayah tegas. Anjani hanya memandang kagum sang ayah yang merupakan pemimpin dari daerah tersebut. Ia menyandarkan kepalanya pada dada ayahnya, merasakan kehangatan yang jarang didapatkan karena ia adalah anak seorang pelayan.
Dor!!
Suara tembakan peluru yang memberi tanda bahaya, pertumpahan darah akan segera dimulai. Semua orang berlarian panik mencari tempat sembunyi. Saat Anjani ingin menarik pakaian yang dikenakan ayahnya, ia terkejut saat tangan kecilnya itu berlumuran darah. Ayahnya tumbang sambil menutupi kepala anjani yang berada di gendongannya, mengurangi resiko benturan pada kepala Anjani saat sang Ayah terjatuh. Asap hitam itu menutupi pandangan Anjani yang hanya dapat menangis. Sang Ayah hanya menyuruhnya berhenti menangis dengan senyuman yang sendu. “Anjani, kamu harus menjaga tanah ini sampai titik darah penghabisan!” Ucap sang Ayah sebelum kedua matanya menutup.
“Ayah?!” Anjani terus mengulangi panggilan itu “Ayah?!” Ucapnya berkali-kali. Tetapi ia hanya sendirian dengan asap hitam yang menemani, mentari mulai menunjukkan wujudnya, mengintip dari ufuk timur. Gadis kecil itu tertidur di atas pangkuan sang Ayah yang baru saja memeluknya beberapa saat yang lalu. Kericuhan terus terjadi, suara tembakan terus terdengar, tetapi Anjani hanya menangis dalam kesunyian.
***
“Anjani!” Teriak panik seorang wanita dengan pakaian pelayan yang terlihat berantakan. “Anjani!!” Suara itu membuat Anjani membuka matanya yang masih menolak untuk bangun. Ia menggosok kedua matanya dan mendapati Ibunya berdiri di hadapannya dengan wajah yang terlihat lelah. Saat ia hendak menceritakan tentang Ayahnya, sang ibu langsung menggendongnya pergi menjauh dari tempat itu. Meninggalkan sang Ayah yang tergeletak kaku tak bernyawa.
“Ibu, Baginda masih di sana,” Ucap Anjani menunjuk mayat yang tergeletak kaku membiru dengan tangannya yang berlumuran darah yang mengering.
Sang Ibu hanya melanjutkan langkah besarnya sambil menggendong Anjani. Tak lama kemudian terlihat sosok pria berseragam tentara yang terlihat samar menodongkan sebuah pistol ke arah sosok lain yang tergeletak di tanah, tak berdaya, itu adalah ayahnya. Mata gadis itu melebar saat ia mendengar suara tembakan itu, suara yang merenggut ayah darinya. Tanpa sadar air matanya mengalir deras tanpa suara, ia merasakan amarah tetapi juga merasakan ketakutan.
Nantikan lanjutan kisahnya ....
Sebuah cerita fantasi karya Ahmad Weli bertema persahabatan yang mengajarkan kita untuk ti...