Sinta dan Pohon Mangga
Semua itu ada prosesnya
2025-12-02 23:56:04 - Vall
Sinta adalah seseorang yang suka serba instan. Namun, kali ini ia ingin mencoba menanam pohon mangga. Ia terinspirasi dari ayahnya yang menjadi petani mangga. Melihat ayahnya memiliki kebun mangga yang begitu lebat dan rindang, Sinta merasa bahwa menanam pohon mangga mungkin tidak terlalu sulit hanya membutuhkan waktu saja. Lalu, ia mulai membuat kebun kecil di belakang rumahnya. Setelah mencari informasi di internet, Sinta memilih Mangga Manalagi yang terkenal manis, tetapi juga lama berbuahnya, bisa memakan waktu lima hingga tujuh tahun.
"Lima tahun hingga tujuh tahun? Itu waktu yang sangat lama, Ayah!" keluh Sinta kepada ayahnya.
Ayah Sinta hanya tersenyum mendengarnya, lalu melihat ke arah kebun mangganya sendiri yang rimbun. "Sabar, Nak. Pohon mangga itu mengajarkanmu untuk bersabar dalam menghargai waktu."
Sinta pun memulai penanamannya itu. Ia membeli bibit setinggi pinggang dan mulai menanamnya dengan semangat. Tiga bulan ini, Sinta menjadi tukang kebun yang penuh semangat. Setiap pagi dan sore, ia menyiram, dan membersihkan tanaman liar.
"Ayolah mangga, cepat tumbuh! Kau sudahku tanam selama berbulan-bulan, mengapa kau tidak segera meninggi? Seharusnya kau mulai bertumbuh sekarang!"
Namun, pertumbuhan mangga itu tetaplah lambat. Sangat lambat. Dalam setahun, mangga itu hanya bertambah tinggi beberapa jengkal saja dan tidak terlalu rimbun. Sinta mulai bosan menunggunya. Bibit mangga yang ditanam oleh temannya yang bernama Intan sudah berbuah di tahun pertama dengan indah. Ia mulai membanding-bandingkan dan merasa kesal.
"Ayah, kenapa pohon mangga milikku tidak segera tumbuh? Mengapa lama sekali? Mengapa mangga milik Intan cepat sekali tumbuhnya? Aku bahkan sudah memberi pupuk setiap pagi!" keluh Sinta suatu sore.
"Nak, mangga ini sedang mengalami pertumbuhan dengan membangun akarnya." jelas ayah Sinta sambil meminum kopi. "Pohon yang terlalu cepat berbuah adalah pohon yang lemah. Suatu saat ia akan cepat tumbang ketika diterpa badai. Mangga ini sedang menguatkan dirinya di dalam tanah dengan membangun akar itu. Dan itu pastinya akan membutuhkan waktu, dan butuh kesabaranmu untuk setia pada proses."
Sinta mengerti, tetapi hatinya masih dipenuhi rasa tidak sabarnya. Seiring berjalannya waktu, ia mulai lupa menyiram dan tanaman liar itu kembali tumbuh memenuhi kebunnya.
Di tahun kedua, setiap kali ia melihat pohon mangga itu, ia merasa seperti melihat suatu kegagalan karena tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Pernah suatu hari, ia berpikir, buat apa aku memelihara pohon lambat ini? Lebih baik aku tanam pohon pisang yang pasti cepat panen.
Namun, ia teringat kata-kata sang ayah, "Mangga ini sedang membangun akarnya."
Ia mungkin tidak mencintai pohon itu, tetapi ia mulai mencoba menghargai prosesnya. Ia hanya melakukan kegiatan yang minimal seperti memberi pupuk seminggu sekali, membersihkan tanaman liar sebulan sekali, dan menyiram secukupnya saja. Ia hanya fokus pada hidupnya saat ini.
Di tahun keempat, Sinta telah menemukan jalan hidup yang lebih tenang. Ia belajar bahwa proses adalah bagian dari hidup. Suatu sore, Sinta sedang duduk menikmati angin yang menyapanya di bawah naungan pohon mangga, yang kini sudah cukup tinggi hingga bisa memberikan sedikit bayangan yang teduh. Ia menyadari pertumbuhannya sangat halus dan bertahap, sehingga ia tidak melihat peningkatannya sehari-hari, tetapi melihat hasil akhirnya yang memuaskan.
Ia tersenyum. "Ayah benar. Aku terlalu fokus pada tujuan akhir, sampai lupa menikmati perjalanan."
Sinta mulai merawat pohon mangga dengan sungguh-sungguh, bukan karena ia menanti buah, tetapi karena ia menghargai pohon yang telah menemaninya belajar bersabar selama empat tahun.
Pada akhir tahun keenam, pohon itu sudah menjadi kokoh. Ia juga menikmati keteduhan di bawah ranting mangga.
Hingga akhirnya pada suatu pagi, Sinta terkejut melihat beberapa bunga mangga berwarna kuning kehijauan muncul di ujung ranting pohon. Jantungnya berdebar, ia merasa senang. Ini bukan hanya bunga, ini adalah hasil yang ditunggu selama tujuh tahun. Beberapa bulan kemudian, bunga itu perlahan menjadi buah-buah kecil. Hingga pada awal tahun ketujuh, buah-buah itu membesar dan menguning, mengeluarkan aroma manis yang khas. Hari itu, Sinta memetik buah mangga pertamanya. Buah itu terasa sangat manis, jauh lebih manis dari mangga yang pernah ia beli. Saat ia memotong mangga itu, ia tidak hanya merasakan rasa manis buah, tetapi juga rasa bahagia yang didapatkan karena telah bersabar dan tekun dalam menanam pohon mangga ini selama bertahun-tahun. Tak lupa ia juga membawa mangga itu kepada ayahnya yang telah membimbing saat menanam pohon mangga selama ini.
"Terima kasih, Ayah." kata Sinta tulus. "Mangga ini bukan hanya buah, tapi juga mengajarkan kesabaran terbaik dalam hidupku."
Ayah Sinta tersenyum, lalu memakan mangga pemberian anaknya itu. "Nak, pohon itu tidak tumbuh secara terburu-buru, tetapi ia juga tidak pernah berhenti untuk tumbuh. Itu rahasianya."
Sinta tertawa, hatinya sudah penuh dengan ketenangan seorang penanam mangga. Ia tahu, kesabaran sejati bukanlah hanya tentang menunggu, tetapi juga tentang apa yang kita lakukan selama masa itu.