"Di jalan itu, aku mengerti. Di jalan itu pula, aku menatap masa depanku."
Hari Sabtu.
Di malam yang sunyi…
“Pakcik, kopi hitam dua, ya!” Rudi, teman satu kelasku itu setengah berteriak kepada Pak Amir,
penjaga warung. Aku dan Rudi sedang menghabiskan malam Minggu di warteg langganan kami.
“Ai, aku ini kan gakminum kopi hitam, Rud!” Aku protes kepadanya.
“Tidak apalah sesekali, lagi pula kan kita mau lembur ini. Kau tahu, Ahmad, percaya atau tidak,
malam Minggu adalah waktu luang terbaik untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah kita.
Meski itu harus mengorbankan waktu terbaikmu untuk bersenang-senang.”
“Terserah kau, lah.” Aku mengangkat bahu, duduk di salah satu kursi kosong. Rudi hanya menyengir,
ikut duduk di salah satu kursi.
Tahun-tahun itu, aku memang sedang sibuk-sibuknya kuliah. Mulai dari tugas-tugas yang diberikan dosen semakin menggunung, kegiatan organisasi yang semakin padat, ditambah aku juga harus mempersiapkan sebuah acara seminar bisnis di kampus kami, mulai dari dekorasi ruangan, merancang spanduk dan baliho, hingga promosi kampus. Karena kebetulan aku ditunjuk sebagai ketua panitia dalam acara tersebut.
Sementara di depanku, Rudi sedang menyimak siaran radio RRI (Radio Republik Indonesia) milik
Pak Amir. Suaranya tidak terlalu jernih, mungkin karena radio tua. Bagian depan dan belakangnya terlihat usang dan rapuh. Tetapi kami masih bisa mendengarnya dengan baik. Seperti berita yang sedang disiarkan malam ini.
“Setelah sekian lama, investasi Jepang yang direncanakan di Indonesia akhirnya berpotensi menjadi kenyataan. Untuk itu, Presiden mengundang Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka untuk datang ke istana guna membahas lebih lanjut kesepakatan rencana ini. Kabarnya, PM Tanaka akan tiba di tanah air pada hari Senin, tanggal empat belas Januari mendatang. Sementara di sisi lain…”
Tidak terdengar suara lagi dari radio itu. Entah apa masalahnya. Yang kutahu kemudian Pak Amir mengantarkan pesanan dua kopi hitam kami.
“Terima kasih, Pak.” ucap aku dan Rudi serempak.
Pak Amir diam sejenak, kemudian berbicara, “Kalian tahu arti dari berita tadi?”
Rudi menjawab, “Artinya, tidak lama lagi produk-produk buatan Jepang akan bermunculan di Indonesia. Begitu bukan, Pak?”
Aku tidak mau kalah, “Tenaga kerja dalam negeri juga akan terdesak karena berdatangannya para tenaga kerja asing. Benar begitu, Pak?”
“Kalian berdua benar. Sudah bertahun-tahun penanaman modal asing semacam itu direncanakan pemerintah. Sebut saja Freeport yang sudah menguasai sumber daya alam Indonesia bagian timur sejak beberapa tahun lalu. Ditambah lagi dengan yang satu ini. Kalian tahu, investasi asing di dalam negeri justru akan membuat praktik korupsi lebih marak terjadi. Ini semua hanya akal-akalan pemerintah saja. Rakyat seharusnya tidak tinggal diam mengetahui hal ini, terutama kalian mahasiswa sebagai generasi muda.” Pak Amir menatap kami berdua. Meski pendidikannya hanya tamat di Sekolah Rakyat, namun semangat belajarnya yang tak pernah padam membuatnya seakan tahu segala hal.
Aku dan Rudi masih mencerna kalimat Pak Amir barusan. Niat kami ke sini untuk menyelesaikan tugas kuliah seketika buyar digantikan oleh rasa penasaran terhadap berita hangat itu. Bahkan aku tidak peduli saat akhirnya radio itu nyala kembali dan menyiarkan berita tentang Piala Dunia yang akan dilaksanakan di Jerman Barat.
Dan di atas segalanya, aku dan Rudi sama sekali tidak menyadari bahwa berita kedatangan PM Jepang tadi akan berdampak serius sekali terhadap masyarakat, terutama di Jakarta, kota kami.
****
Senin, 14 Januari.
Pagi hari yang cerah..
Aku melangkah memasuki kampus. Saat tiba di kelas, tidak ada siapa-siapa di sana. Samar-samar aku mendengar suara beberapa orang dari ruang rapat. Aku juga mendengar suara Rudi. Sedang apa mereka di situ? Aku memutuskan untuk berjalan ke sana. Semakin aku mendekat, suara-suara itu semakin jelas terdengar.
“Delapan-sembilan tahun lalu kakak-kakak tingkat kita berani saja melakukannya. Dan lihatlah, mereka berhasil melakukannya. Lalu sekarang, buat apa kita ragu-ragu lagi?” Anton berkata.
Almira membalasnya, “Itu berisiko, Anton! Tidak mungkin kita berdemo hanya gara-gara ada kunjungan dari Perdana Menteri luar. Itu tidak terhormat,”
“Kita bukan berdemo karena kedatangan PM itu, tetapi karena tindakan sewenang-wenang pemerintah yang seenaknya saja menanamkan modal asing di negara kita! Dan itu harus dilakukan,” Siswono sependapat dengan Anton.
Wati berseru kesal, “Hei! Kau juga seenaknya saja menyuruh kita melakukan demo!”
Siswono tidak terima, “Siapa bilang aku yang menyuruh? Tidak hanya di kampus kita, kampus-kampus lain juga mengancam demonstrasi besar-besaran dalam waktu dekat. Kalau perlu besok,”
Rudi setengah kaget, “Apa?! Besok?”
“Bisa saja. Kalau PM itu benar-benar datang malam ini, mungkin besok pagi-pagi sekali para demonstran dari kampus lain sudah turun ke jalan.”
“Itu ide buruk!” Yanti menutup mulut dengan tangannya.
Satu ruangan terdiam. Aku hendak memasuki ruangan, tetapi suara derap kaki berirama yang sudah sangat kami hafal itu lebih dulu menggema di lorong-lorong. Siapa lagi kalau bukan Pak Harfi, dosen sekaligus Profesor Fisika di kampus kami. Tidak ada yang berani menatap matanya langsung, apalagi saat beliau sedang bad mood. Lalu apa? Seperti tangan yang refleks terangkat saat tersentuh benda panas, begitupun kami sekarang. Pontang-panting berlari kembali menuju kelas masing-masing.
Tidak banyak yang terjadi pagi hingga sore hari ini. Pelajaran berlangsung seperti biasa. Perdebatan di ruang rapat tadi sejenak terlupakan.
****
Senin sore.
Setelah selesai jam kuliah, aku memutuskan untuk langsung pulang. Namun, sore itu, suasana di jalan-jalan kota tampak tak seperti biasanya. Semua sudut kota dipenuhi orang-orang. Dan yang paling menarik perhatian, salah satu dari mereka berdiri di tengah-tengah kerumunan sambil memegang mikrofon dan berbicara dengan lantang,
“Saudara-saudaraku! Kita baru saja mendapat kabar bahwa PM Tanaka akan tiba di tanah air malam ini! Membahas kelanjutan rencana proyek investasi Jepang di negeri ini. Itu artinya sebentar lagi nasib buruk akan menimpa bangsa kita! Produk lokal tersingkir, harga-harga naik, dan rakyat sengsara! Apakah keadaan seperti ini harus kita biarkan atau kita lawan, saudara-saudara?!”
“LAWAN!” Orang-orang di sekitarnya serempak berteriak kencang.
“Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang akan semakin marak terjadi, apakah akan kita biarkan atau kita lawan?!” Orang itu berkata lagi.
“LAWAN!”
“Kebijakan otoriter pemerintah selama ini, apakah kita biarkan saja atau kita lawan?!”
“LAWAN!”
“Maka dari itu, saudara-saudara sekalian. Malam ini juga, kita akan melakukan DEMO! Di kota ini, di jalan besar ini. Ajak seluruh teman-teman kampus kalian, kalau perlu kerabat dan sanak saudara juga! Ini semua demi kebaikan kita! Demi kebaikan perekonomian bangsa kita! Dan demi kesejahteraan rakyat Indonesia!”
Kata-kata itu disambut dengan gemuruh tepuk tangan oleh kerumunan yang semakin ramai.
“Sekali lagi, saudara-saudara! Kita harus buktikan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar! Bangsa yang selalu menghargai jasa para pahlawannya! Bangsa yang selalu menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan! Dan bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri! MERDEKA!”
“MERDEKA!”
“MERDEKA!”
“MERDEKA!”
Aku menelan ludah. Ternyata ini lebih serius dari yang aku bayangkan. Namun tak ada yang bisa kulakukan sekarang. Ibu pasti telah menunggu aku pulang. Aku harus menggantikannya menjaga warung. Tetapi lagi-lagi aku dibuat heran setelah sepasang mataku melihat warung kami yang selalu buka tiap hari kecuali saat lebaran itu tutup. Ada apa gerangan? Mengapa warung tutup? Di mana Ibu?
Untunglah ada Pak Hansip di ujung jalan, dia berkata setengah berteriak ke arahku, “Mad! Ibumu sudah tutup warung dari tadi siang! Kabarnya bakalan ada demo besar-besaran nanti di bandara, katanya bakalan sampai ke jalan ini juga. Ibumu gak mau ambil risiko.”
Nafasku mulai menderu. Matahari sebentar lagi tenggelam. Masalah ini sepertinya akan berlarut-larut. Belum sempat aku melangkah lagi, terdengar suara seruan “MERDEKA” disertai teriakan takbir sekumpulan orang dari arah perempatan lampu merah. Tidak hanya di sana, dari gang-gang kecil pun bermunculan orang-orang dengan usia sepantarku. Disusul dari arah kiri jalan besar juga datang belasan mahasiswa dari kampusku. Aku bisa melihat Anton dan Siswono di antara mereka. Rudipun ada di sana.
Aku bergegas menghampiri mereka. “Apa yang akan kalian lakukan?” tanyaku.
“Kau tidak melihat apa yang dilakukan orang-orang saat ini, Mad?!” Anton menyergah.
Aku terdiam sejenak, “Aku tahu, tapi ini sudah maghrib…”
“Kau pikir demo hanya dilakukan di pagi hari, heh?” Bantah salah satu mahasiswa yang sepertinya dari kampus lain yang ikut bergabung.
“Lebih baik kau ikut kami saja, Mad. Agar kau tahu perkembangan situasinya.” Rudi berbicara.
Aku menoleh. Berpikir sebentar.
“Ayolah, waktu kita tidak banyak, PM itu boleh jadi sudah di tiba di Halim, kita bisa terlambat.”
Mereka mulai berjalan lagi.
Aku akhirnya memutuskan ikut. Nanti-nanti saja pulangnya. Karena Ibu juga mungkin tidak sedang di rumah. Sebab kompleks tempat kami tinggal mayoritas dipenuhi oleh kos-kosan mahasiswa. Maka jangankan mobil, sepeda saja tidak akan bisa lewat dalam situasi seperti ini.
Setelah berjalan hampir satu kilometer, terlihat jalanan semakin dipadati oleh orang-orang yang kebanyakan adalah mahasiswa. Situasipun sepertinya semakin memanas lantaran sejumlah pasukan ABRI terlihat menghadang gerakan dari para demonstran di depan sana. Orang-orang berseru-seru, menyuruh agar pasukan ABRI itu menyingkir dan tidak menghalangi gerakan mahasiswa.
Perseteruan itu kian mencapai puncaknya. Dari arah belakang, datang lagi sekitar ratusan mahasiswa dengan tujuan yang sama. Dan pertempuran itu tidak bisa dihindari lagi. Entah siapa yang memulainya, tiba-tiba melayang sebuah lemparan batu yang mengenai kaca truk ABRI dengan telak hingga membuatnya pecah. Disusul dengan lemparan-lemparan berikutnya, bahkan ada yang membawa bom molotov dan tidak segan melemparkannya ke arah pasukan ABRI yang berjaga di depan.
PRANG! BOOM!
Pecah sudah keributan itu. Pertempuran terbagi menjadi dua kubu. ABRI melawan mahasiswa.
Di tengah-tengah kekacauan yang terjadi, aku meraih tangan Rudi dan mengajaknya untuk kabur dari sana. Sebab kami tidak membawa senjata apa pun, berdiri terus di sana hanya akan mengantar nyawa sendiri.
Sementara itu, keadaan semakin tidak terkendali, pasukan ABRI menyemprotkan gas air mata ke udara. Situasi di jalan kian mencekam. Langit malam dipenuhi asap kabut. Pergerakan mahasiswa benar-benar terhambat kali ini. Dan aku tahu, pasukan di depan siap memuntahkan peluru senjata mereka kapan saja.
“Kita pulang saja, Rud! Di sini sangat berbahaya. Orang tua kita di rumah pasti cemas sekali. Orang-orang ini, mereka melupakan tujuan kita yang sebenarnya di sini!” Aku berseru di tengah ingar-bingar kekacauan yang semakin ricuh itu.
Sebelum Rudi menjawab, Anton lebih dulu menarik tangannya kembali dan berkata keras, “Ahmad! Kalau kau mau pulang, mbok ya jangan ngajak orang lain gitulho! Kami ini sudah bertekad bulat sejak awal, ingat pepatah lama itu! Sebelum ajal menjemput, berpantanglah untuk mati! Jangan dengarkan dia, Rud! Biarkan pengecut itu pulang sendiri saja.”
Aku antara kesal dan hendak tertawa mendengarnya. Sebab peribahasa yang disebutnya tadi sangat tidak nyambung dengan keadaan kami saat ini. Namun, Rudi adalah teman baikku, aku tidak akan membiarkannya terseret ke dalam peperangan yang berbahaya dan juga sebenarnya sangat tidak diperlukan itu.
Tanpa pikir panjang, aku bergegas berlari ke arah Rudi. Namun, entah kenapa kakiku kini terasa lemah dan lariku mulai melambat. Pikiranku juga melayang ke mana-mana. Aku bahkan tidak mendengar bahwa di depan sana, salah satu pasukan ABRI yang sepertinya adalah komandan mereka telah meletuskan tembakan peringatan sebanyak tiga kali. Dalam situasi seperti itu, aku justru tidak memedulikan peringatan tersebut dan mempercepat langkahku ke arah Rudi.
Maka apa yang terjadi setelahnya?
DOR!
Satu peluru dari pistol komandan tersebut melesat tepat ke arah kakiku.
Aku mengaduh. Sakit sekali rasanya. Aku berusaha untuk terus berjalan, tetapi fisikku yang sudah lemah sejak tadi membuatku seakan tidak berdaya sama sekali. Di tengah kerumunan demonstran itu, tubuhku perlahan tumbang. Sayup-sayup, aku mendengar suara yang tak asing bagiku.
“Ahmad! Ahmad!”
Kesadaranku perlahan mulai hilang. Pandangan sekitarku juga mulai buram. Tetapi suara itu masih terdengar di telingaku,
“Ahmad! Bertahanlah, kawan!”
Orang itu akhirnya tiba di depanku. Namun, saat itu juga, pandanganku sempurna gelap.
Aku tidak tahu apa-apa lagi.
****
Gelap.
Aku perlahan membuka mataku. Kepalaku terasa sakit sekali.
Aku menatap sekitar. Aku ada di mana? Tetapi sepertinya ruangan ini tidak asing bagiku. Tidak salah lagi, aku sekarang berada di rumah. Tepatnya di kamarku.
Aku tertegun sejenak. Bukankah sebelumnya aku ada di jalan itu? Ke mana semua orang? Di mana teman-temanku sekarang? Dan di mana Rudi? Pertanyaan-pertanyaan ini langsung muncul di kepalaku.
Aku menoleh ke samping. Perhatianku terpusat ke arah sebuah lampu petromaks dan secarik kertas di atas meja belajarku. Dilihat dari bentuknya, sepertinya itu bukan kertas biasa. Aku tidak bisa mengabaikan rasa penasaranku. Dengan tenaga yang belum sepenuhnya terkumpul, aku bangkit dari kasur dan berjalan ke arah meja itu.
Segera kulihat tulisan di kertas itu. Dan tebakanku benar, itu memang bukan kertas biasa. Itu adalah sebuah surat. Meski mataku masih terasa berkunang-kunang, aku memaksakan diri untuk membacanya.
Untuk sahabatku,
Ahmad Hasyim.
Assalamualaikum.
Selamat pagi, selamat siang, sore atau malam, kapanpun engkau membaca surat ini.
Ahmad, apa kabarmu? Semoga engkau selalu diberikan kesehatan dan selalu berada dalam lindungan-Nya. Saat aku menulis surat ini, aku tidak tahu apa yang harus aku ungkapkan. Tetapi sejak malam itu, aku tahu. Kaulah teman terbaik yang pernah aku miliki selama ini.
Kau tahu, Ahmad? Malam itu bukanlah akhir dari segalanya. Keesokan harinya, pertempuran yang lebih besar kembali meletus di tengah kota. Aku dan teman-teman pun ikut serta. Korban jiwa berjatuhan, ratusan orang dilarikan ke rumah sakit, dan situasipun menjadi kacau balau hari itu. Malari, begitulah orang menyebut peristiwa besar ini. Meski akhirnya usaha kita (mahasiswa) gagal, namun saat itu juga aku tahu bahwa kaulah yang terbaik di antara kami. Pengorbananmu saat itu sungguh tak akan pernah kulupakan.
Jalan itu seakan menjadi bukti perjuangan mahasiswa dalam menentang kebijakan pemerintah yang sangat otoriter itu. Bukti bahwa generasi muda akan selalu berdiri di depan untuk menegakkan ‘kemerdekaan’ bangsa ini. Dan bukti bahwa kau, Ahmad Hasyim adalah salah satu dari mereka.
Tak ada lagi yang bisa kusampaikan saat ini. Karena aku pun sedang sibuk dan banyak kerjaan. Tapi aku janji, setelah mendapat kabar tentang kesembuhanmu nanti, aku akan langsung menemuimu. Bahkan saat jam kuliah sekalipun. Ah, itu bercanda saja. Mana mungkinlah aku mau disidang sama Pak Harfi. Cukup sekali saja saat sidang skripsi nanti…
Semoga cepat sembuh, Ahmad.
Temanmu,
Rudi Hartadi
Jakarta,
18 Januari 1974