Dia Ditatap Cermin (Cerpen)
Cerpen kedua dari trilogi "Dia Menatap Cermin"
2023-08-17 20:57:56 - ℤ𝕦𝕓𝕒𝕪𝕪𝕣~
Kau menatapnya, tapi bukan berarti kau tidak ditatap olehnya. Lantas, kenapa kau berusaha untuk merasakan seluruh emosi orang itu? Karena, cermin telah membuatmu menatapnya..
Musim dingin. Atau lebih tepatnya, musim hujan telah tiba. Tibalah saatnya payung bekerja. Karena gedung asrama putra berbeda dengan sekolah. Sebenarnya itu cukup dekat. Tinggal berjalan tidak sampai 1 menit, sampai. Masalahnya adalah, apa kita bisa bertahan dengan tidak basah kuyup di satu menit itu, ketika hujan sedang deras-derasnya. Begitu pula dengan putri. Dan entah kenapa, puncak hujan adalah ketika waktu pulang telah datang.
***
Aku berusaha mati-matian mengikuti sisa pelajaran hari ini senormal mungkin. Karena kemarin malam, hingga saat ini, pikiranku sepenuhnya memikirkan seseorang. Ai. Tapi, semakin aku memikirkannya, semakin dalam lamunanku tentang dirinya.
Fokusku hilang sepenuhnya saat jam pelajaran terakhir.
Mr. Faisal memasuki ruangan seperti biasa. Cengiran wajahnya, genggaman tangannya yang kokoh pada spidol di tangannya. Dan sebelum duduk, menggaruk kepalanya terlebih dahulu yang tidak gatal itu. Lantas, tersenyum sendiri sekali lagi. Ini tepat seperti yang teman-temanku bicarakan.
“Murid baru ya?” Mr. Faisal bertanya. Aku tersontak dari lamunanku. “Zuhri, Mr. Faisal.” Aku memperkenalkan diriku dan Mr. Faisal mengangguk. Aku pernah membaca nama-nama guruku, jadi aku juga mengenal guru kimiaku.
Aku masih mengatur nafasku, mau bagaimana lagi? Pikiranku sudah sepenuhnya buyar ketika Mr. Faisal bertanya kepadaku. Tapi, semakin terputus, semakin pikiranku jauh membawaku pergi dari pelajaran.
“Baik, hari ini kita akan membahas..”
Dan belum selesai kalimat Mr. Faisal, pikiranku sudah pindah ke cerita masa laluku. Cerita itulah yang selalu membuatku melamun pada hari ini. Ai.
Bel pulang berbunyi.
Untuk ke sekian kalinya, aku dipanggil ke ruang kepala sekolah. “Kau sudah berlebihan, Zuhri.” Kepala sekolah mengucapkan kalimat yang paling kubenci selama hidupku. “Kau sadar, apa yang telah kau perbuat? Prast sampai masuk rumah sakit gara-gara kau memukulnya berkali-kali.. Berapa kali bapak bilang? Tidak usah diladenin, biarkan saja seperti angin lalu. Lagian kalian itu sekelas, harusnya kalian berteman.” Kepala sekolah masih saja menasihatiku sesuatu yang lagi-lagi, aku benci.
Andai saja beliau tau, andai saja. "Bukan aku yang mulai, Pak!" Rasanya aku mau berteriak begitu saja di hadapannya. Tapi, buat apa? Percuma. Sudah beberapa kali aku bilang begitu. Jawabannya? Tapi tetap saja tidak boleh adu kekerasan. Bosan mendengar kalimat itu, aku memutuskan untuk tidak mengatakannya lagi.
Aku menatap mata kepala sekolah, mata itu seperti menyalahkan semua kejadian tadi kepadaku. Mata itu seperti berkata. Kamulah yang bertanggung jawab! Kamulah yang tidak bisa menahannya! Kamulah.. Mataku berair, sedih rasanya dituduh seseorang yang harusnya bisa memercayai kita. Aku? Aku yang salah? Aku menunduk, mencoba menahan air mataku yang tumpah. Kepala sekolah tidak tahu, tidak tahu kejadian sebenarnya.. Kepala sekolah sok tahu!
“Nanti, kau minta maaflah kepada Prast ketika dia sudah sembuh. Sebenarnya kau harus dihukum berat, mencemarkan nama baik sekolah. Malu sekali Bapak jika sekolah lain tahu kalau anak-anak saya berantem sampai ada yang masuk ke rumah sakit.” Sepertinya itu adalah kalimat penutup kepala sekolah kali ini.
Omong kosong! Dasar sok tahu! Kalau tidak tahu apa-apa, jangan ikut campur dong! Air mataku mulai menetes, tanganku mengepal. “TAPI DIA MEMBUANG BOLA SAYA, PAK!” Tumpah sudah air mataku. Kepala sekolah menatapku, hendak menahan keterkejutannya. Seolah mengatakan, itu cuma bola. “Kau belilah lagi, masalah bola jangan dibawa serius..”
Kau belilah lagi. Itulah jawaban kepala sekolah. Susah payah aku mendapatkannya. Kepala sekolah tidak akan tahu, kenapa bola itu sangat berharga. Kepala sekolah tidak akan tahu, perjuanganku untuk mendapatkan bola itu. Dan Prast, dengan mudahnya membuat bola itu rusak? Membuat bola itu jatuh ke air mancur sekolah? Lantas membuangnya ke tanah berlumpur?! Keterlaluan! “Bapak sekolah sok tahu! Suka ikut campur! Kalau gak tau apa-apa, gak usah ikut-ikutan, lah!!” Brak! Aku membanting meja, lantas pergi meninggalkan kepala sekolah yang diam termangu melihat kejadian.
***
Sepi, hanya Ai yang masih menungguku di depan gerbang. Ia tersenyum gembira saat melihatku datang menuju ke arahnya. Rambutku berantakan, sangat berbeda dengan rambutnya yang tergerai indah, meskipun tingginya sedikit lebih pendek dariku. Aku berusaha untuk terlihat biasa saja di hadapannya. Tapi, Ai sepertinya tahu aku habis menangis.
“Kau terlihat, berbeda..” Ai tersenyum menatap wajahku, mencoba menghibur. Tapi, jelas sekali dia ingin bertanya kepadaku apa aku baik-baik saja. Khawatir.
“Kau terlihat seperti biasa Ai..” Aku tersenyum, mataku masih berkaca-kaca. Aku menunduk, Menghela nafas. Ai ikut terdiam, dia sepertinya tidak mau aku terlihat kacau seperti ini. Ingatan-ingatan dulu. Aku yang biasa menyapanya, aku yang biasa menyemangatinya, aku yang biasa..
(This paragraph was deleted)
Dan kita berdua hanya diam selama sisa perjalanan pulang.
Rumah Ai terlihat, ia berlari pulang, melambaikan tangan. Aku mengangguk pelan, lanjut melangkah.
“Kau terlihat keren dengan rambut seperti itu, Ri!” Ai berteriak ketika aku sudah jauh dari rumahnya. Aku menatapnya, tersenyum.
Terima kasih Ai..
***
3 hari kemudian.. Prast telah sembuh dari rumah sakit.
Teman baikku, Kinun (Aku memanggilnya Kiki) berlari menghampiriku. Tersengal. “Cepat Zuhri! Ai telah..” Dia tidak sanggup meneruskan, lalu menunjuk-nunjuk keluar, menunjuk ke bagian taman sekolah. “Ini darurat Zuhri!” Entah kenapa, jantungku berdegup lebih kencang. Firasatku tidak tenang. Aku melihat bola mata Kiki, terdapat kengerian di dalamnya. Tanpa pikir panjang, aku berlari keluar menuju..
Lamunanku terhenti.
“Zuhri! Zuhri! Perhatikan Zuhri!” Apa aku tertidur? Tidak, aku hanya sedang melamun, memikirkan kejadian itu. Pikiranku buyar, menatap ke sekelilingku. Wajah Mr. Faisal yang habis kesabarannya, Diqi yang sejak tadi berbisik memperingati, teman-teman lain yang heran melihatku, serta El yang tidak terlalu peduli.
“Lu mending keluar aje!” Mr. Faisal berseru kesal. Lengkap sudah pernyataan teman-temanku tentang ciri-ciri guru ini.
***
Minggu pagi. Hujan. Aku duduk di salah satu bangku taman sekolah, membiarkan hujan yang semakin deras itu membuat diriku basah. Aku kedinginan, tentu saja. Tapi, hatiku terasa lebih dingin. Pertanyaan besar itu selalu menghantuiku. Kenapa aku meninggalkan Ai? Rasanya aku ingin mengulang kejadian itu, hingga aku tidak merasa sangat bersalah seperti ini.
Tubuhku sudah sepenuhnya terkena hujan, basah kuyup. Aku tidak memedulikannya, kalimat Diqi terus terngiang di kepalaku. Aku sempat bertanya, kenapa aku tidak mengerti cermin di depanku malam itu.
“Kau tidak peka. Kau hanya egois berusaha merasakan emosi seseorang. Dan kau tidak akan tahu, apa yang terjadi jika orang itu terlebih dahulu menatapmu..
Kau menatapnya, tapi bukan berarti kau tidak ditatap olehnya. Lantas, kenapa kau berusaha untuk merasakan seluruh emosi orang itu? Karena, cermin telah membuatmu menatapnya..
Zuhri, ketika kau menatap cermin. Cermin itu sebenarnya menatap dirimu terlebih dahulu, dan kau saja yang tidak menyadarinya. Ketahuilah Zuhri, cermin telah menatapmu..”
Lantas, apa maksud tatapan Ms. Kia hari itu? Tubuhku menggigil, kesadaranku mengharuskanku segera pergi ke asrama secepat mungkin. Hujan telah turun begitu deras, tapi kakiku tidak mau beranjak dari bangku taman. Aku sudah terlanjur basah, jadi buat apa berlari ke asrama jika hasilnya nanti tetap akan sama? Aku hendak segera meninggalkan tempat ini, tapi kakiku lagi-lagi seperti enggan pergi dari sini. Aku menghela nafas, menatap langit. Aku akan duduk di sini sebentar lagi saja, batinku.
Ketika aku kembali termenung, aku melihat sebuah benda berwarna pink dari kejauhan. Benda itu mendekat. Dan setelah menatap dengan jelas, benda itu adalah payung. Siapa coba yang hendak ke taman ini yang terletak di belakang sekolah pada hujan yang sangat deras ini? Aku berusaha menatapnya dengan lebih seksama, dan meskipun ragu, aku tahu siapa yang datang.
Ms. Kia..
Sepertinya ini saat yang tepat untuk langsung bertanya kepadanya..
Bersambung ke - Dia Bersitatap dengan Cermin