Tersimpan sejak 7 Oktober 2015, catatan rasa ini dibuka kembali dan disempurnakan di masa kini, 7 Oktober 2025.
Einstein pernah bermimpi tentang waktu— bukan sebagai jam yang berdetak, melainkan sebagai roh yang menari di antara ruang dan kesadaran manusia. Dalam mimpinya, waktu menjelma burung kecil, yang bisa hinggap di telapak tangan dan bernyanyi tentang masa depan. Kadang ia menjelma air, mengalir lembut di antara kasih seorang ibu dan tawa anaknya. Kadang ia berdiri sejajar antara masa lalu dan masa depan, menyentuh keduanya dengan jari yang sama, membiarkan keduanya bertemu dalam satu helaan napas. Namun di hadapan sepasang kekasih yang saling menatap, waktu berhenti. Ia menundukkan kepala, karena di dalam cinta, tak ada ruang bagi detik untuk berlalu. Dan orang-orang bijak berkata, mungkin itu hanya mimpi seorang ilmuwan. Namun tidakkah mimpi adalah bentuk lain dari kebenaran yang tak sanggup diucapkan oleh nalar? Maka aku percaya— bahwa waktu sesekali berlaku curang: kadang melambat di tengah kebahagiaan, kadang berlari di bawah duka, kadang membeku di antara doa yang tak sempat selesai. Siapa yang tahu? Mungkin dunia telah berputar ribuan kali, sementara kita masih duduk, membicarakan hal-hal kecil yang membuat hidup terasa besar. Mungkin bintang-bintang telah berpindah tempat, sementara tawa kita tetap bergema di langit yang sama. Mungkin hujan telah turun berjuta kali, hanya untuk menyaksikan langkah-langkah kita menuju puncak perjalanan yang tak ternama. Dan pada suatu senyap, kita berkata: “Kami bersamamu, kawan—meski langit pun menentangmu.” Dan waktu, yang diam-diam mendengar, menyimpan ucapan itu dalam lipatan abad. Sebab di antara detik yang fana, kita telah menanam keabadian. Setiap senyum adalah gugusan bintang, setiap langkah adalah galaksi kecil yang berputar mencari makna. Hingga kelak, ketika Sang Pemilik Waktu memanggil nama kita satu per satu, ia akan memulangkan semua yang pernah kita pinjam: tawa, air mata, dan jeda yang tak terhitung. Dan barulah aku mengerti hari ini— bahwa panas takkan tahu dirinya tanpa dingin, gelap takkan tahu artinya tanpa terang, dan perpisahan takkan berarti tanpa pernah ada pertemuan yang menggetarkan. Waktu-waktu kita… bukan sekadar perjalanan, melainkan semesta kecil yang lahir, hidup, dan akan terus berdenyut di dalam ingatan.