VENITA SI INTROVERT
Hari yang baru dimulai lagi di kehidupan Venita, seorang gadis berusia 14 tahun yang kini duduk di bangku kelas 2 SMP. Pagi itu, pukul 05.00 pagi Venita bangun untuk melaksanakan salat subuh. Setelah melaksanakan salat subuh, ia bersiap untuk berangkat sekolah. Seperti biasa, Venita berpamitan kepada orang tuanya dan berangkat sekolah dengan berjalan kaki karena jarak sekolah dan rumahnya yang tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu sekitar 5 menit untuk bisa sampai sekolahnya.
“Aku berangkat sekolah dulu, Bu” kata Venita dengan nada yang sedikit lemas.
“Baiklah Nak, kamu mau berangkat sendirian lagi?”, tanya Ibu.
“Iya, Bu”.
“Sesekali berangkatlah dengan Rara, dia kan sangat baik kepadamu”, kata Ibu.
“Tidak Bu, aku lebih suka berangkat sendirian.”
“Ya sudahlah jika itu yang kamu mau,” kata Ibu terheran-heran dengan sikap anaknya.
Setiap hari, Venita selalu berangkat sekolah sendirian, padahal ia memiliki teman bernama Rara, yang rumahnya tepat di sebelah rumahnya Venita. Venita adalah anak yang sangat tertutup, dan tidak suka bersosialisasi. Ia tak menyukai keramaian. Ia lebih menyukai melakukan apapun sendiri padahal tidak semua pekerjaan dapat ia kerjakan sendirian. Pernah di suatu waktu, ia mendapat tugas kelompok untuk membuat miniatur rumah yang menggunakan listrik paralel. Itu adalah tugas yang lumayan rumit dan membutuhkan kerja sama tim agar hasil yang didapat juga lebih maksimal dan memuaskan. Tetapi pada saat itu, venita memilih untuk mengerjakannya sendiri dan akhirnya ia tidak dapat menyelesaikan tugasnya itu. Selain itu, ia juga merugikan kelompoknya karena tugas yang seharusnya dikerjakan bersama, malah ia kerjakan sendiri.
Pada hari itu di sekolah, pelajaran dimulai seperti biasa. Pagi itu, pelajaran yang pertama di kelas Venita adalah Bahasa Indonesia dan Pak Udin menjelaskan mengenai teks anekdot. Di dalam materi teks anekdot tersebut, terdapat materi mengenai komik strip, maka dari itu Pak Udin meminta murid-muridnya untuk membuat komik strip sebagai tugas mereka.
“Baiklah anak-anak, tugas kalian untuk materi kali ini adalah membuat komik strip dan dibuat secara berkelompok, saya akan membagikan kelompoknya”, perintah Pak Udin kepada murid-muridnya.
“Baiklah, Pak,” sahut murid-muridnya.
Kemudian, Pak Udin membagikan kelompok, di mana satu kelompok terdiri dari tiga anak.
Kebetulan sekali, Venita mendapatkan anggota kelompok yaitu Rara dan Sofi. Setelah membagi kelompok, Pak Udin mempersilakan para murid untuk bergabung bersama kelompoknya dan mendiskusikan mengenai tema apa yang akan mereka gunakan untuk membuat komik strip. Rara, Sofi, dan Venita berkumpul di mejanya Rara untuk membahas tugas tersebut.
“Baiklah Sofi,Venita, apakah kalian mempunyai ide untuk tugas ini?” kata Rara.
“Kalau menurutku sih, kita membuat komik strip tentang pem-bully-an, baru-baru ini di sekolah kita kan sedang ada kasus pem-bully-an, nah cocok tuh buat menyadarkan para pelaku bully,” usul Sofi.
“Wah ide yang sangat bagus,” kata Rara menanggapi ide dari Sofi.
“Kalau ide dari kamu bagaimana Ven?” Tanya Sofi kepada Venita.
“Ide? Aku belum memiliki ide,” kata Venita.
“Oh, begitu ya, tidak apa apa, kamu bisa memikirkannya lagi. Kalau aku, setuju dengan idenya Sofi.” Rara berpendapat.
Setelah diskusi yang lumayan panjang dan rumit,akhirnya mereka bertiga memutuskan untuk membuat komik strip dengan tema yang diusulkan oleh Sofi, yaitu bully.
Mereka memutuskan untuk mengerjakan tugas tersebut di rumahnya Rara pada pukul empat sore sepulang sekolah.
Jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Anak-anak di SMP tersebut bergegas mengemasi barang mereka untuk pulang ke rumah masing-masing.
Seperti biasa, Venita selalu pulang ke rumahnya sendirian, sama seperti saat ia berangkat sekolah. Saat Venita berada di gerbang sekolah, seseorang berteriak memanggil namanya dan berkata
“VENITAA!! Nanti sore jangan lupa ya, pukul 4 kita berkumpul di rumahku untuk mengerjakan tugas”. Ternyata orang itu adalah Rara yang sedang berjalan bersama Sofi.
Venita hanya mengangguk mengiyakan Rara.
Di perjalanan pulang, Rara dan Sofi membicarakan mengenai diskusi mereka tadi di kelasnya Pak Udin.
“Rara, tadi kamu sadar tidak sikapnya Sofi saat kita berdiskusi tentang tugasnya Pak Udin?” Kata Sofi.
“Aku kira hanya aku yang merasakannya, kamu merasa kalau dia tidak ingin bekerja sama `kan?”
“Iya Ra, aku juga pernah dengar dari teman sekelas kita, dia pernah satu kelompok dengan Venita. Saat itu mereka juga sudah janjian berkumpul di satu tempat untuk mengerjakan tugas, tetapi Venita tidak datang dan malah mengerjakan tugasnya sendirian”.
“Benarkah? Mungkin kali ini dia tidak akan begitu lagi?” Kata Rara dengan nada yang percaya diri.
Pada pukul 4 sore, Sofi sudah tiba di rumahnya Rara. Tetapi ia tidak melihat Venita. Akhirnya, mereka berdua memutuskan untuk bermain video game terlebih dahulu sembari menunggu Venita datang. Setelah 15 menit menunggu, Venita tidak datang juga.
“Rara, bagimana ini, kemana Venita?” tanya Sofi.
“Aku juga tidak tau nih, bagaimana kalau kita panggil ke rumahnya?”
“Baiklah kalau begitu, rumah Venita tidak jauh dari sini kan?”
“Tidak jauh, kita hanya perlu berjalan sebentar,” kata Rara.
Sesampainya di rumah Venita, Rara dan Sofi bertemu dengan ibunya Venita.
“Eh, ada neng Rara dan neng Sofi, ada apa ke sini sore-sore?” Tanya ibu Venita.
“Hehe, begini Tante, tadi di sekolah, Rara, Sofi, dan Venita ada tugas kelompok, kemudian kami sudah membuat rencana berkumpul di rumah Rara untuk mengerjakannya. Rara dan Sofi sudah menunggu Venita beberapa lama, tetapi ia tidak kunjung datang Tante,” kata Rara menjelaskan.
“Oh begitu, sebentar ya, Tante panggilkan dulu Venita”.
“Baik, Tante.” kata Rara dan Sofi bersamaan.
Di dalam rumah, ibunya Venita mengetuk pintu kamar anak semata wayangnya itu.
“Venita, boleh Ibu masuk sebentar?” tanya ibu Venita dengan nada lembut.
“Masuk saja Bu, tidak dikunci,” kata Venita.
“Di luar ada Rara dan Sofi tuh, sebaiknya kau temui mereka, sepertinya ada yang penting”.
“Baiklah”. Kata Venita dengan nada datar.
Setelah itu, Venita. Rara dan Sofi membicarakan mengenai tugas kelompok mereka. Dan benar saja, ternyata Venita telah mengerjakan tugasnya sendirian. Lebih tepatnya, ia tidak ingin banyak bertemu dengan orang-orang. Rara yang merasa kesal, akhirnya berkata kepada Venita.
“Kamu ini bagaimana sih? Bukannya tadi kita sudah berjanji untuk mengerjakannya bersama-sama?” Rara berkata dengan nada kesal.
“Aku tidak bilang setuju pada saat kita mendiskusikannya, lagipula aku sudah selesai mengerjakan tugasku.” Kata Venita dengan sikapnya yang dingin.
“Kamu tidak boleh begitu, hasilnya akan lebih maksimal jika kita bekerja sama mengerjakannya”
“Iya, benar apa yang dikatakan Rara”. Kata Sofi menyetujui perkataan Rara.
“Sudahlah, kalian kerjakan saja berdua” Kata Venita.
“Baiklah kalau begitu, aku akan buktikan jika bekerja sama hasilnya akan lebih baik,” kata Rara.
Pada akhirnya, Rara dan Sofi memutuskan untuk kembali ke rumahnya Rara dan mengerjakan tugas dari Pak Udin dengan sungguh-sungguh.
Hari yang baru dimulai kembali. Seperti biasa Venita, Rara, dan Sofi bersiap untuk berangkat sekolah di rumah mereka masing-masing. Melakukan rutinitas mereka di rumahnya masing-masing. Suara ribut anak-anak memenuhi ruang kelas pada pagi itu. Apalagi penyebabnya kalau bukan membicarakan soal tugas dari Pak Udin. Mereka saling menunjukkan karya kelompok masing-masing dan saling memuji. Termasuk Rara dan Sofi, yang memuji komik strip milik kelompoknya Vina, Vini, dan Vani si kembar tiga yang ada di sekolah itu. Rara tertawa karena kelakuan mereka, membuat komik strip dengan menggunakan karakter Upin dan Ipin.
Pada saat itu, Venita yang tak sengaja mendengarkan percakapan teman-temannya, baru menyadari bahwa ternyata Pak Udin meminta semua murid untuk mewarnai komiknya masing-masing, sedangkan Venita hanya membuat gambar dari komik itu, tidak berwarna, hanya sebatas garis hitam putih dari goresan pensilnya. Ia merasa panik pada pagi itu, tapi tidak ada cara yang dapat ia lakukan, bel tanda masuk sekolah sudah berbunyi.
Pelajaran pada hari itu, tepatnya hari Rabu, dimulai dengan Bahasa Indonesia, sama dengan hari Senin. Pak Udin meminta murid-muridnya untuk maju ke depan satu persatu mempresentasikan hasil komiknya masing-masing. Rara dan Sofi sangat bangga dengan komik yang mereka kerjakan. Mereka membuat komik yang bertemakan kejujuran. Komik yang mereka buat sangat eye catching, menarik, dan berwarna. Venita yang melihatnya merasa menyesal. Pak Udin yang merasa bahwa anggota kelompok mereka kurang satu orang, bertanya kepada Rara dan Sofi.
“Rara, Sofi, anggota kelompok kalian satu lagi ke mana?” tanya Pak Udin.
“Satu orang lagi itu Venita, Pak. Ia sudah mengerjakan komiknya sendiri.” kata Sofi.
“Loh, Venita? Kenapa kamu mengerjakannya sendiri? Boleh bapak lihat komikmu?” tanya Pak Udin keheranan.
“I-ini Pak,” kata Venita terbata-bata.
“Loh? Kenapa tidak ada warnanya? Kemarin kan saya sudah bilang komiknya harus diberi warna?!”
“Maaf, Pak”. Kata Venita
“Kemudian, kenapa kamu mengerjakannya sendiri? Jika dikerjakan bersama-sama kan hasilnya akan lebih maksimal, lihatlah komiknya Rara dan Sofi, sangat menarik. Jika kamu bekerja sama dengan mereka, pasti hasilnya akan lebih bagus lagi”. Kata Pak Udin menasihati Venita.
“Iya, Venita. Kita ini makhluk sosial, kita tidak bisa selalu bekerja sendiri kita membutuhkan orang lain. Apalagi, jika kita bekerja sama, pekerjaan akan terasa lebih mudah dan lebih ringan.” kata Rara.
“Benar Venita, lagi pula menyenangkan bekerja bersama,” kata Sofi menambahkan.
Akhirnya, Venita sadar dengan kesalahannya dan meminta maaf kepada Rara, Sofi, dan Pak Udin. Pada tugas berikutnya, Venita mendapat anggota kelompok Rara dan Sofi lagi. Tetapi kali ini mereka diberi tugas untuk membuat miniatur rumah dengan jaringan listrik paralel di pelajaran Fisika. Kali ini, Venita Bekerja sama dengan Rara dan Sofi. Hasil dari Tugas yang mereka kerjakan sangat bagus. Bu Sinta, guru Fisika mereka, memberikan nilai tertinggi kepada kelompok mereka.
TAMAT