Dia Menatap Cermin (Cerpen)

Cerpen pertama dari trilogi "Dia Menatap Cermin"


Janganlah kau menatap cermin, jadilah kau yang ditatap olehnya.


“Bukti, apa kau mempunyai bukti?” Aku terdiam, bukti? “Percuma, kau harus mempunyai bukti jika kau mencintainya.” Keringat dingin mulai membanjiri tubuhku, menggigil. “Siapa kau?” Dia tersenyum. “Kau selama ini telah menatapku begitu lama, kurasa kau harus mengetahui hakikat sebuah tatapan..”

Aku terbangun, apa maksudnya itu?


***


Pindah. Cuma itu yang terpikirkan olehku untuk menghilangkan rasa sakit yang begitu mendalam. Tanpa ba bi bu lagi, minggu depan aku sudah pindah sekolah. Aku menyempatkan pergi ke sekolah lamaku untuk ke terakhir kalinya, bertemu dengan teman-temanku yang entah kapan kita akan bertemu lagi. Bagaimanapun juga, aku akan bersekolah asrama.

Aku memasuki sekolah itu, sepi. Hari Minggu. Aku meminta izin kepada satpam untuk meminjamkan kunci, mengecek kelas 10A. Lalu menyusuri kelas itu, mengecek bawah meja sekali lagi lalu pergi meninggalkan kelas. Memang mendadak. Tapi, mau bagaimana lagi? 

Aku meninggalkan kelas, pergi ke halaman lalu memandang sekolah itu. Tidak besar tapi tidak juga kecil. Aku menghela nafas bersiap meninggalkan gerbang sekolah, lalu teriakan itu menghentikanku. “Zuhri! Kau tidak akan pamit padanya terlebih dahulu?” Setengah berteriak, Kiki berlari ke arahku. Aku mendengus, tidak menjawab. “Setidaknya kau bilang padanya bahwa kau ingin pergi, bahwa kau..” “Cukuup!” Aku memotong. Kiki terdiam, menghela nafas pelan. Sepertinya tidak akan ada negosiasi terkait dengan masalah yang satu ini.

Aku berjalan menjauh, pergi meninggalkan Kiki yang hanya menatapku dari belakang. Sepertinya ini perpisahan yang masih membuat sesuatu yang mengganjal di hati..


***


Aku mengangguk dalam hati, setidaknya itu sedikit berhasil. dua minggu yang lalu, orang tuaku dikejutkan oleh permintaanku, ingin sekolah asrama jauh dari rumah. Mereka menanyakan alasanku, aku menjawab asal. Lantas kedua orang tuaku berunding, besoknya aku langsung dapat kabar harus mengerjakan tes. Kemampuan otakku berpikir memang tidak terlalu pintar, walau aku bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Keahlianku memang di bidang olahraga. Kiki mengomentari dengan berkata fisikku yang luar biasa, ditambah ganteng pula. Dengan cepat aku akan menjadi pusat perhatian. Tapi, siapa peduli?

Lulus. Seminggu sebelumnya aku sudah bersiap-siap. Menyiapkan satu koper kecil dan tas sekolah. Cukup sedikit memang, tapi yang aku inginkan hanyalah melupakannya. Aku pamit kepada ibuku, lalu beranjak ke atas mobil. Ayahku menyalakan mesin, lalu pergi meninggalkan rumahku.

Ketika kita telah sampai disana, aroma khas cat baru masih tercium. Pajangan dinding, dan begitu pula debu-debu yang masih terlihat. Kepala sekolah menatapku, berbicara dengan ayahku sebentar, lantas mengangguk dan mengajak kita berkeliling sekolah baru itu. Setelah pamit dengan ayahku, Aku langsung menuju asrama putra.


***


“Assalamualaikum teman-teman, hari ini kita kedatangan murid baru..” Mr Rizky sepertinya memulai pelajaran hari ini dengan penuh kejutan. Diqi telah menantikannya selama ini, murid baru. El mendengus tidak peduli. Aku memasuki kelas, menyapu seluruh ruangan. “Perkenalkan dirimu pada teman temanmu.” Mr Rizky mempersilahkan. “Assalamualaikum, saya murid pindahan. Panggil saja Zuhri, senang bertemu kalian.”

Aku adalah angkatan pertama, sebut saja begitu meskipun aku murid pindahan. Dengan semua keterbatasan sekolah baru, lapangan olahraga tidak ada meskipun ada rute untuk lari pagi, atau murid SMP nya digabung putra dan putri, guru putra masih mengajar kelas putri dan begitupun sebaliknya. 

Pada awalnya, aku menjadi pusat perhatian mau dari kalangan cowok ataupun cewek. Banyak yang ingin berteman denganku, aku mengangguk. Memperlihatkan diriku yang sebenarnya, meskipun tidak ada yang tahu kisah di balik mukaku.


***


Aku keliru jika menyebutkan tidak ada yang mengetahui kisahku. Ditambah lagi semenjak hari itu, teman sebangkuku. El. Yaa, bisa disebut dia iri kepadaku. Astaga, aku bahkan tidak tahu kenapa dia begitu dingin kepadaku selama ini. Tapi, yang lebih mengherankan. Semenjak hari itu, aku merasakan seseorang yang penting telah datang di kehidupanku. Berikut adalah rinciannya.

Hari hari terus berlalu, tapi aku mulai merasa ada yang memperhatikanku. Bukan, yang ini tidak seperti biasanya. Aku bahkan bisa merasakan sebuah tatapan yang berbeda setiap kali ia melihatku. Tatapan yang tidak menganggapku sebagai murid, tapi sebagai seseorang yang merasa dekat denganku. Kuberitahu kau, kasus ini tidak seperti biasanya (walau aku belum tau siapa yang menatapku). Karena aku merasa yang menatapku adalah seorang guru..

Sebelum aku melanjutkan, aku hendak memberitahumu terlebih dahulu. Disamping semua yang Kiki deskripsikan tentang diriku, aku mempunyai satu bakat hebat lainnya. Walaupun tidak bisa dibilang ini adalah indra ke-6 ku apalagi yang ke-7. Aku bisa merasakan tatapan seseorang, karena itulah aku bisa merasakan tatapan yang biasa ataupun tidak.


***


“Kia! Kia!” Lamunannya terhenti. “Kau hari ini akan mengajar kan?” Kia mengangguk, menaikkan sebelah alisnya. Memangnya kenapa? “Kau tahu sekarang jam berapa hah?!” Buru-buru ia melihat jam, lantas keluar dari ruangan guru putri. Berjalan menyusuri koridor. Selama perjalanan ke kelas itu, ia berusaha menenangkan hatinya yang sejak tadi, entah kenapa merasa tidak sabar atau bisa dibilang gelisah. Campur aduk.

“Assalamualaikum.” Ucap Ms Kia sambil tersenyum, tidak ada jawaban (Selain aku yang tadinya hendak menjawab jadi juga ikut terdiam). Astaga! Begitu tersohornya kah suaranya hingga tidak ada yang bisa menjawabnya? Aku heran melihat teman-temanku bungkam. “Kenapa? Suara Ms tidak kedengaran kah? Sekali lagi ya, Assalamualaikum.” Masih dengan tersenyum, Ms Kia mengulang salamnya kembali. Tidak sampai sedetik. “WAALAIKUMSALAM MS!” Ramai betul kelas kita sampai-sampai aku yakin bahwa ruang guru putra disebelah mendengarnya.

Aku mengeluh dalam hati, kenapa semua temanku menjadi super aktif sekali dalam pembelajaran kali ini? Tidak terkecuali El, dia bahkan bisa kukasih nilai A+ kali ini. Padahal guru itu hanya menggantikan guru yang sedang tidak berkesanggupan untuk hadir. Alasan guru-guru lainnya apalagi kalau sedang sibuk. Walau aku tidak merasa guru itu dipaksa untuk mengajar kelas kita. 

Tapi, hei. Lihatlah, ada satu orang yang selama ini paling bersemangat di setiap kelas, menunduk dalam. Sedikit menunduk, aku menatap bola matanya dan seketika itu aku tersadar, bahwa tatapan orang itu sungguh spesial. Aku tau ia akan menjadi temanku nantinya. Ya, siapa lagi kalau bukan Diqi.

Tapi, yang paling membuat hatiku berdetak lebih cepat bukanlah itu semua. Melainkan aku merasakan tatapan yang begitu dekat di hatiku, dan itu membuatku semakin gelisah. Karena aku sudah mengetahui bahwa Diqi mempunyai mata yang mirip denganku, aku rasa aku harus menceritakannya ke orang yang tepat.


***


Belum, bahkan belum sempat aku menceritakannya ke Diqi, kecurigaanku semakin terbukti.

“Ms sudah sampai disini dulu, jika ada pertanyaan silahkan hubungi via email. Assalamualaikum.”

Setelah ini pelajaran matematika. “Assalamualaikum teman-teman!” Suara lantangnya terdengar membahana keseluruh ruangan kelas, Mr Rizky berdiri tegap seperti biasanya. “Nampak senang saya lihat kalian semua hari ini, kalau begini tiap hari, rasanya saya akan membuat ulangan setiap hari.” Dengungan tidak setuju langsung terdengar, tapi hanya sebentar karena tiba tiba pintu kelas di ketuk. Mr Rizky membuka pintu dan terkejut melihat Ms Kia, muka Mr memerah disertai sorakan teman-teman. Aku melihat bola mata Mr dan sepertinya aku mulai memahami potongan potongan cerita di sekolah ini. “Saya izin mengambil Zuhri sebentar ya pak.” Ia mengedipkan sebelah matanya, buru buru Mr Rizky menggelengkan kepalanya menyadarkan diri karena dari tadi tak lepas memerhatikan Ms. Kia, lantas memanggilku. Aku berjalan ke arah pintu, dan aku merasakan tatapan El yang menusuk sekali lagi.

Tinggi ku dengan Ms itu sepantaran, bagaimana aku tidak bisa menyimpulkan begitu? Ketika aku keluar kelas dengan perasaan heran, tiba-tiba tangannya menarik tanganku. Dan kesimpulan salah satuku adalah tinggi kita hampir sama. Di ujung koridor, ia melepaskan tanganku. “Gimana rasanya sekolah baru?” Tanyanya. Basa-basi, aku tahu itu. 

Dia mencoba beradu mata denganku, memerhatikan dengan menatap mataku. Aku menatap balik matanya, tidak peduli. Setelah lama bertatap-tatapan seperti itu, Ms menundukkan mukanya, kalah kuat dengan mataku. “Langsung ke intinya aja Ms.” Aku menjawab balik, tepat sasaran. Ia mengatur nafasnya kembali, lantas menghela nafas menguatkan hatinya. “Kau kenal Ai?”

Seketika semua kejadian itu seperti datang kembali, membuka rekaman-rekaman masa lalu. Seperti tau, Ms itu hanya terdiam menunggu. Tapi pada akhirnya ia hanya berkata. “Mulai saat ini, panggil saya Kia aja ok? Khusus kamu kok!” Ia tersenyum kembali, sebelum akhirnya meninggalkanku sendiri.


***


Sejak saat itu, aku mulai sering menatap cermin di balkon kamarku. Di bawah cahaya remang-remang rembulan, udara dingin menerpa wajahku, dingin menusuk tulang. Aku tidak peduli, angin malam memainkan rambutku. Sungguh, betapa sakitnya perasaan ini. Membuatku semakin lama semakin terjatuh semakin dalam.

Frustasi. Itulah yang paling kurasakan setiap menyendiri. Ditambah lagi, ketika aku menemukan sebuah cermin tua di balkon itu.

Malam itu..

Aku merasa perlu berbicara kepada Diqi. Ya, hanya itu satu-satunya jalan. Entah kenapa aku merasa ada sesuatu tentang temanku itu. Dia seperti menyimpan sesuatu, sama sepertiku. Bedanya, kali ini aku benar benar membutuhkannya.

Diqi telah terlelap, aku menyesal sekaligus mengutuk diriku sendiri. Setelah kejadian tadi, aku merasa perlu menumpahkan rasa ini ke seseorang yang aku percayai. Dengan lelah, aku menuju balkon. Memperhatikan rembulan yang hampir sempurna, ditambah awan-awan menghiasinya. Hingga aku merasa ada cahaya terpantul ke arah mataku dari samping balkon.

Itu adalah cermin tua, ia memantulkan sinar rembulan. Ketika aku memegangnya, aku melihat ke arah cermin. Ketika melihat cermin itu, aku melihat sesosok diriku. Aku menatap bola matanya, dan aku tidak bisa mengerti arah tatapan cermin itu. Dan itulah kelemahan terbesarku. Kenapa? Kenapa? Aku mengerti tatapan orang lain, tapi aku sendiri tidak bisa mengartikan tatapanku? Cermin itu terjatuh, pecah. Aku merapikannya dengan sisa sisa kekuatanku. Sungguh, aku lelah..

Aku sadar, selama ini ketika aku ditatap seseorang. Orang tidak akan bisa menebak bola mata egoisku itu. Sama denganku, aku tidak akan pernah bisa mengerti tatapanku itu. Maafkan aku Ai. Kau benar, akulah orang yang selama ini terlalu egois..


Bersambung ke - Dia ditatap cermin





50
563
Kucing

Kucing

1691587270.jpg
Andreans
1 year ago
Retak

Retak

https://lh3.googleusercontent.com/a/AAcHTtebFtNMQHBVPm_nTy9c-BLN7W8Ju7AWS0Rh83wD6mA_=s96-c
Hayzalia
3 months ago
Catur

Catur

https://lh3.googleusercontent.com/a/AEdFTp5cJpdCIp1sCfDRB_QA1EnReZg4M2sOkUWZjVha=s96-c
M. Rifkyy
1 year ago

Klasifikasi Hewan dan Tumbuhan

Ujian STEAM

1730847539.jpg
Mqnun Amn
8 months ago
Untuk Mengejar Sebuah Impian Harus Ada yang Dikorbankan

Untuk Mengejar Sebuah Impian Harus Ada yang Dikorbankan

1714290832.png
Azhnrkhlf
1 year ago