Kisah Aini: Lysa (Cerpen)

Nantikan kisah-kisah lainnya!


Bagaimana mengatasi seorang teman yang awalnya selalu riang, ceria, dan bahagia. Tapi ia tiba-tiba mendadak menjadi murung, pendiam dan sedih?


***


“Namaku Lyra Sakura, kalian bisa memanggilku Lysa. Dan aku, paling gak suka kalau ada orang yang manggil aku putri.”

Aini masih ingat sekali, bagaimana Lysa memperkenalkan dirinya di kelas. Seseorang yang wajahnya, parasnya layak disamakan dengan putri. Bahkan meskipun dia sekarang hanya memakai baju seragam sekolah biasa. Wajahnya itu, tetaplah wajah seorang putri.

Justru kalimat terakhir Lysa itu, yang mengganggunya.. 


***


“Kembalikan!” Lysa mengejar Avivah, berusaha mengambil kembali gelang yang diambilnya. “Aku bilang, kembalikan!” Tangan Avivah berhasil dicengkeram oleh Lysa. Meskipun tubuh Lysa lebih kecil dari Avivah, cengkeram tangannya sangat kokoh. Ia mengambil paksa gelang yang diambil Avivah itu.

 Lysa segera memakai gelang itu di tangannya, lalu melangkah pergi meninggalkan Avivah.

Avivah hanya terdiam, melihat punggung temannya itu menjauh.

“Sebenarnya, apa spesialnya sih gelang itu?” Aini berbisik, sejak tadi ia sudah berada di belakang Avivah. Avivah sedikit kaget dengan kemunculan Aini, lalu menghela nafas pelan.

Avivah hanya menggeleng pelan, ia rindu dengan Lysa yang dulu.


Sudah seminggu sejak kepulangan putri (putra-putri bergantian pulang setiap minggunya). Dan Aini masih belum tau, mengapa Lysa tiba-tiba berubah. Dan yang paling mengganggunya, Lysa tiba-tiba memakai gelang. Hampir setiap saat, ia menatap gelang itu. Dalam hati Aini bertanya-tanya, sebegitu spesialnya kah gelang itu? Sampai-sampai Lysa tidak punya waktu, untuk sekedar menyapanya.


***

Hingga pada malam harinya..

Aini melihat Lysa, matanya masih sembab. Sepertinya, ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. Seluruh keluh-kesahnya, seluruh kisahnya.. Ia yakin, Lysa mendatanginya akibat kejadian tadi pagi. Entah apa yang Lysa pikirkan..


Pagi itu..

“Selamat datang Lilia, senang melihatmu sudah sembuh kembali.” Mr Rizky menyapa Lilia yang duduk di kursi belakang. Meskipun belum sepenuhnya sembuh, Lilia tetap masuk sekolah dengan memakai jaket bermotif pohon sakura. Campuran antara putih dan pink, selera warna yang bagus.

Akhir-akhir ini ia memang sakit, menggigil. Sudah dua minggu dia tidak masuk sekolah. Maka tidak heran melihat guru-guru menyapanya di kelas.

“Oh iya! Kamu tahu tidak Aini? Abangmu kemana akhir-akhir ini? Teman sekamar nya sering melihatnya keluar pada malam hari, lalu kembali sekitar jam tiga pagi.” Mr Rizky menatap Aini, kacamatanya berkilau gagah. Mr Rizky memang guru yang mentalnya sekuat baja (begitulah pendapat Aini).

Yang cewek saling tatap dengan teman sebangku nya, yang laki-laki saling berbisik satu sama lain.

Sekolah kita memang satu gedung dengan yang putra, hanya asramanya saja yang tidak satu gedung. Satu gedung buat putri, satunya lagi buat yang putra(totalnya tiga gedung). Kakak kelas kita, putra dan putri pisah. Sedangkan kita, anak SMP digabung satu kelas putra dan putri. Maklum, sekolah baru. Kita angkatan kedua disini.

Dan kita, anak kelas 7 putri, tidak akan menyia-nyiakan kabar terbaru tentang asrama putra. Apalagi kabar tentang salah satu abang temannya yang menghilang pada malam hari, sungguh diluar dugaan. Aini hanya menutup kupingnya mendengar suara-suara yang sangat-sangat berisik itu (yang putri, masak iya yang cowok?), bertanya dengan penuh rasa ingin tahu.

Aini hanya menghela nafas, menyesal telah memberitahu bahwa abangnya juga satu sekolah dengannya.

Eh, ada satu orang yang menunduk di tengah keramaian di kelas 7A (selain Lilia dan sebagian kecil temannya yang hanya tersenyum melihat kelakuan teman-teman lainnya yang berisik). Di tengah keriuhan itu, Lysa menunduk. Aini berusaha melihat lebih jelas wajahnya. Sontak, ia terdiam. 

Seorang teman yang biasanya selalu tersenyum, tertawa. Kini sedang menangis terisak.


***


“Aini, maukah kau mendengarkanku?” Lysa menatap Aini, tersenyum. Ada sesuatu yang terpendam di balik senyumnya itu. Bekas tangis tadi pagi masih terlihat. Sungguh menyedihkan, melihat wajah seorang putri terlihat habis menangis.

Meskipun hampir setiap hari Lysa berbicara kepada teman-temannya, tapi kali ini intonasinya sungguh berbeda dari yang biasanya. Intonasi kali ini, terasa begitu suram.

“Hampir setiap malam kamu curhat ke aku kan? Malam ini, bolehkah aku yang bercerita?”

Aini terdiam, sepertinya Lysa benar-benar hendak mengungkapkan sesuatu yang selama ini telah ia pendam. Aini mengangguk, tersenyum.

 Malam ini, biarlah ia menjadi pendengar yang baik.



43
23.7K
Anekdot: Sekolah Inter

Anekdot: Sekolah Inter

1706535160.jpg
frey✩
1 year ago
Time’s Role as The Catalyst of Change

Time’s Role as The Catalyst of Change

https://lh3.googleusercontent.com/a/AAcHTtebFtNMQHBVPm_nTy9c-BLN7W8Ju7AWS0Rh83wD6mA_=s96-c
Hayzalia
1 month ago
LUCKY VICKY

LUCKY VICKY

https://lh3.googleusercontent.com/a/AAcHTtfeCfIpCmTFJNkMF-m9B58WEnZ3nw9CZDNOy9o2UJLWqA=s96-c
Fifahaulia
3 weeks ago
Niaga Di Atas Air

Niaga Di Atas Air

1725002506.jpeg
Nur
1 year ago
Media Sosial: Sarana Mencintai Tanah Air di Masa Modern

Media Sosial: Sarana Mencintai Tanah Air di Masa Modern

https://lh3.googleusercontent.com/a/AEdFTp5cJpdCIp1sCfDRB_QA1EnReZg4M2sOkUWZjVha=s96-c
M. Rifkyy
6 months ago