Sebuah luapan sederhana tentang kebencian
Kuartet yang hampa suara, sebuah sajak yang tanpa nada. Seorang penyair yang bisu mulutnya, seorang pelukis yang buta matanya. Seorang pianis yang kehilangan tangannya dan seorang atlet yang buntung kedua kakinya. Hal yang sangat mustahil, apakah bisa kita jalani? Bertanyalah pada dirimu sendiri, karena masalahnya ada pada dirimu sendiri. Hal mustahil bisa menjadi tidak mustahil jika engkau yakin. Segalanya pasti punya solusinya masing-masing. Berjuang dan berdoa pada tuhan yang maha kuasa, maka semoga saja apa yang kau inginkan menjadi terkabul.
***
Suara heels menggema di lantai kayu yang telah usang. Tubuhnya lentur bergerak kesana-kemari, keindahan dari seorang penari. Suaranya merdu, membuat siapapun terpikat untuk mendekat dan itulah keindahan seorang diva. Lalu keindahan apa yang aku miliki? Tak ada… Aku memang orang yang menyedihkan, hanya bisa duduk menatap mereka dengan keindahannya masing-masing. “Malangnya diriku ini, tak bisa menyanyi tak bisa menari tak bisa melukis. Apa yang bisa kubanggakan sebagai anak gadis? Memasak juga tidak enak, jahitan ku juga buruk.”
***
Mata terpejam, melihat dunia di bawah alam bawah sadar. Bertemu dengan mereka, mereka yang sangat kucintai, mereka yang sudah pergi menghadap tuhan. Teringat disaat mereka mengelus lembut rambutku dan menyanyikan lagu tidur. “Tidurlah duhai tuan puteriku, tidurlah dan bawa mimpimu ke kenyataan.” Karena cinta ini tak akan hancur dimakan oleh sang waktu. Karena peluk hangat ini tak akan beku oleh dinginya hidup.
***
Memangnya menangis itu dilarang ya? Kalau menurut kalian bagaimana? Menurutku pribadi menangis itu akan membawa kalian ke jurang kekalahan, dan berita buruknya aku ini sering menangis. Kata mereka menangis saja, segala masalah pasti akan cepat terselesaikan. Terselesaikan apanya? Menangis malah memperburuk suasana. Mereka semua pembohong, mereka tidak paham diriku yang sebenarnya.
***
Kata mereka ceritakan saja semuanya, mereka akan membantu. Tapi kenyataanya begitu pahit, ketika aku mengatakannya mereka malah memperburuknya dan sejak saat itulah aku tak mau cerita lagi. Kebiasaan memendam perasaan tak berdampak buruk toh, buktinya sampai saat ini aku masih hidup dengan normal. “Pembohong besar, itulah mereka, ular yang licik dan kejam.” Mereka salah tentang segalanya, mereka tak pernah paham diriku yang sebenarnya. Mereka semua hanyalah sampah brengsek. Namun sebrengsek apapun mereka tanpa mereka aku tak bisa hidup. Menyebalkan sekali ya….
***
Saat membuka mata, kembali kutatap dua insan indah itu, sebal rasanya. Ingin ku menangis tapi aku malu, aku tak mau kelihatan lemah di mata mereka. Mengapa mereka begitu berbakat sedangkan aku tidak? Melihatku yang muram saja mereka berteriak dan mengajak ikut gabung, katanya sangat mengasyikkan, mengasyikkan? Apanya? Kalian yang menikmati sedangkan aku tidak! Mau tak mau aku tersenyum dan menanggapi ajakan mereka, aku mulai bergabung.
***
Sial sekali hidupku ini, berteman dengan orang berbakat. Rasanya ingin mati saja, aku ingin melepaskan segala sakit di hatiku, aku tak pernah dan tak akan menceritakan masalahku. Aku ingin tersenyum lebar dengan air mata mengalir. Aku ingin menggapai lautan serotonin, berenang di dalamnya, Karena hatiku bukan terbuat dari titanium, hatiku juga bisa terluka. Sekalipun aku baik baik saja tapi itu terasa begitu sakit didalam sana. Aku selalu menangis akan hal kecil, selalu menutupi kisah hidupku. Jadi yang mana yang benar? Aku juga tak tahu karena aku pembohong besar, bahkan aku tak tahu aku sedang berbohong atau sedang mengatakan kebenaran. “Rembulan yang baik berilah cahaya dalam kelamnya malam dan kelamnya kehidupan. Matahari yang perkasa berilah kehidupan dalam hampanya dunia dan hampanya jiwa.”
***
Duduk bersamanya di bawah naungan rembulan di malam yang dingin. “Hei menurutmu hidup itu indah tidak?” Sang gadis berseru pada lelaki yang berbaring terlentang di sampingnya. “Indah kok” “Indah dari mana, kamu memandangnya seperti apa?” “Jangan pandang sisi buruknya saja, pandanglah juga sisi baiknya.” Mendengar pernyataan sang lelaki, sang gadis terkejut, matanya membelalak, diam segalanya menjadi sunyi. Sang gadis menghela nafas, nafasnya berat. Ia menatap langit dan tersenyum. “Kamu benar aku selalu memandang dunia dari sisi buruknya segalanya punya sisi kebaikan juga” “Termasuk kamu.” Mendengar pernyataan sang lelaki wajah sang gadis langsung memerah. Mereka saling pandang lalu tersenyum dan tertawa.