Baca dong
Di sebuah kota kecil yang selalu berkabut saat pagi, tinggal seorang remaja bernama Alaan. Ia bukan anak istimewa tidak jago olahraga, tidak populer, dan tidak punya banyak teman. Tapi Alaan punya satu kebiasaan aneh: ia suka mengumpulkan jam rusak.
Di kamarnya, ada rak penuh jam tangan, jam dinding, bahkan jam alarm yang tak lagi berdetak. Ia bilang, “Jam rusak menyimpan waktu yang tak pernah selesai.”
Suatu sore, Alaan menemukan jam tangan tua di pasar loak. Bentuknya antik, dengan angka romawi dan tali kulit yang sudah retak. Penjualnya bilang, “Kalau jam ini berdetak, jangan dipakai sembarangan.”
Alaan tertawa. Jam rusak, kok bisa bahaya?
Tapi malam itu, saat ia mencoba memperbaiki jam tersebut, jarumnya bergerak. Detik pertama berdetak, dan tiba-tiba... waktu berhenti.
Semua suara lenyap. Lampu kamar redup. Dan Alaan mendapati dirinya berdiri di lorong panjang, penuh pintu-pintu tua. Di setiap pintu, ada label waktu: “1 Januari 2005”, “1 Januari 2020”, “1 Januari 2040”.
Alaan menyadari: jam itu bukan sekadar jam. Itu portal waktu.
Ia membuka satu pintu: “12 Desember 2020”. Tiba-tiba ia berada di ruang tamu rumahnya, melihat ibunya menangis di depan televisi. Ia ingat hari itu hari ayahnya meninggal karena kecelakaan.
Alaan ingin bicara, ingin mencegah. Tapi tubuhnya tak bisa disentuh, suaranya tak terdengar. Ia hanya penonton waktu.
Kembali ke lorong, ia mencoba pintu lain: “1 Januari 2040”. Ia melihat dirinya sendiri, dewasa, duduk di ruang kerja penuh layar hologram. Tapi wajahnya dingin, matanya kosong. Ia sukses, tapi kesepian.
Alaan panik. Ia kembali ke lorong dan mencoba pintu acak: “3 Maret 2005”. Ia melihat dirinya kecil, bermain dengan ayahnya di taman. Tawa, pelukan, kebahagiaan murni.
Saat ia hendak kembali ke masa kini, jam di tangannya berdetak cepat. Lorong mulai runtuh. Pintu-pintu berguguran. Ia berlari, mencari pintu bertuliskan “Sekarang”.
Tapi tak ada.
Ia menutup mata, memutar jarum jam ke tengah pukul 12.00. Dan tiba-tiba, ia terbangun di kamarnya. Semua jam rusaknya berdetak. Tapi jam antik itu... hilang.
Sejak hari itu, Alaan berubah. Ia tak lagi mengumpulkan jam rusak. Ia mulai menulis cerita tentang waktu, tentang pilihan, tentang momen yang tak bisa diulang.
Dan kadang, saat malam sunyi, ia mendengar detak jam antik itu... seolah mengingatkan: waktu bukan untuk dikendalikan, tapi untuk dihargai.