Hayzalia 3 months ago
Eclipse #bahasa

Lagi-Lagi

Dalam dekap cahaya ia percaya.


Lagi-lagi kudapati diriku berada di rooftop, termenung sendirian di bawah langit senja berkelir jingga, setelah pada pertemuan terakhir aku berjanji tidak akan berada di sini lagi.

Aku menatap lukisan Sang Maha Kuasa di langit senja; sangat indah hingga aku tak bisa berkata-kata. Perpaduan dan gradasi warna yang sempurna, dengan awan putih bak kapas yang mengambang di sekelilingnya. Semilir angin menambah suasana sendu di kala matahari sejajar dengan horizon.

Aku tersenyum lebar seakan dunia tak lagi bisa menyakiti. Seakan hidup yang aku jalani selalu berbaik hati memberiku sedikit dari keajaibannya. Seakan semua telah usai, padahal pada kenyataannya baru dimulai. 


Entah mengapa aku menyukai senja. Tidak, tidak, bukan karena kejadian traumatis–ya walau kadang iya. Aku juga bukan anak yang setiap hari diajak melihat senja sambil merenungi kehidupan dikala kecil. Bukan, bukan karena apapun. 

Tapi, ... aku baru percaya kata orang-orang bahwa punya atau tidaknya, pernah atau tidaknya kita mengalami kejadian spesifik yang terjadi diiringi senja, ia akan selalu punya cara untuk menguak kenangan terdalammu dan kenangan paling menyakitkan yang telah dipendam dalam-dalam. Ia memiliki magis yang kuat tak terkatakan. Ia menembus relung hati, relung pikiran dan waktu hingga sampai ke titik terdalam, titik di mana kau sembunyikan semua rasa sakit dari masa lalu maupun masa kini erat-erat. Ia dengan mudahnya membawa semua yang telah kau kubur ke permukaan, seakan itu bukan apa-apa. Dan inilah yang dimaksud sebagai “Kutukan Senja”.


Perlahan aku robek dari dalam. Merasakan semua kenangan menyakitkan itu berkelebat dalam kepala. Namun, entah mengapa aku seakan tersihir untuk hanya fokus pada keindahan sang senja dan membiarkan rasa itu menggerogoti habis bentengku. 

Angin sore bertanya padaku, “Sebenarnya apa yang kau dambakan? Untuk ada? Apa yang telah hilang darimu dan ingin kau ambil lagi kalau bisa? Atau apa langkah yang kau dambakan dirimu berani mengambilnya tidak peduli dunia akan berkata apa?”


Dalam senyap aku mati-matian berusaha untuk menahan jawaban dari hati menyebalkan itu,


“Aku ingin mengambil tiga langkah ke depan. Ya, tiga langkah ke depan dan kau akan terjun bebas, bersamaan dengan bebasnya kau dari segala masalahmu” 


S****n.


Aku hanya mendambakan kebebasan dalam diriku, b***h. Tidak sampai seperti itu. Walau kadang kau ada benarnya.


Atau…bukan itu yang sebenarnya aku dambakan? 


Oh ya. Aku ingat aku mendambakan sesuatu yang tidak mungkin. 


Aku ingin menuntaskan rindu masa lalu itu, sebelum semua pelukan berubah menjadi jeda menyakitkan


Benar-benar kacau.


Akhirnya aku terduduk, pasrah dengan alur yang senja ini bawa kepadaku. Kudengar tawa riang mereka, bercanda ria di ulang tahunku yang ketujuh belas. Kue itu masih terasa manis, walau agak gosong karena mereka lupa mengeluarkannya dari oven. Hangatnya pelukan mereka membuatku lupa bahwa mereka tidak sedarah. Asrama menjadi tempat yang sangat menyenangkan bagiku sejak bertemu mereka. Foto kebersamaan itu masih kusimpan erat di lemari, kupajang dalam pigura kaca. Mengingatkanku bahwa aku pernah memiliki mereka sebelum semuanya tak lagi sama.



“Lia? Kamu ngapain di sana?” 


Ah, jadi gagal estetik, batinku. Kualihkan pandangan, mencari sumber suara. Mataku bersitatap dengan sang pemilik suara, yaitu salah seorang pembina asrama, yang berdiri di depan pintu rooftop sekarang. Abla, begitu aku memanggilnya, berjalan mendekat dan mengikuti teladanku, duduk seperti gelandangan tak tahu arah. Aku hanya melontarkan senyum datar padanya, menertawakan diriku sendiri atas monolog senja barusan. 

“Sedih amat kamu. Lagi mikirin apa? Ya, Abla paham, kok. Sebagai yang pernah jadi remaja overthinker kayak kamu, Abla paham. Tapi apa gitu lho, yang sekarang banget kamu renungin?” 

Tanya sendiri, jawab sendiri. Abla, Abla. Aku terkekeh dalam hati. Kutatap wajah yang familiar dalam dua tahun terakhir itu, yang menjadi salah satu bagian dari foto di dalam pigura. Padanya kumenyimpan banyak kenangan. Ia pasti mengerti sekali apa yang tengah terjadi. Ia selalu ada ketika badai internal itu menghantam. Mencarikan solusi, bukan menghakimi. 

Tidak perlu aku menjawab pertanyaannya. Dengan lunglai, kurebahkan kepalaku di bahunya, menunggu badai itu berdifusi antara aku dan Abla. Ia balas dengan pelukan lembut. Burung-burung turut menghiasi momen hangat tersebut.


“Lihat burung-burung itu. Terbang terus, mengembara sepi. Mendekati horizon dan ilusi yang ditampakkannya, meski sejatinya mereka tak mendekati segalanya. Tapi apa? Cahaya itu, cahaya senja yang indah itu, menjadi harapan mereka bahwa di ujung sana terdapat sesuatu yang bersinar. Sama sepertimu sekarang. Apapun masalahmu, yang kamu belum dapat lihat ujungnya, sudah berusaha apapun itu namun yang diharapkan tak kunjung nyata, maka pandanglah senja itu. Rasakan aliran harapan yag dipancarkannya seiring ia menutup hari dengan sempurna. Bahwa masih ada esok hari untuk mencoba, Li. Bahwa semua belum berakhir kalau belum indah.” Abla menunjuk ke matahari yang sebentar lagi ditelan horizon. 

“Meski dengan semua badai itu keluar dari tempatnya, membawa arus emosi yang kuat setiap kali aku menikmati keindahannya? Bukannya itu malah membawaku pada fase-fase tidak stabil sebagai remaja?” Aku bertanya, masih skeptis. 


Abla mengedikkan bahu, “Setidaknya itu sepadan dengan ilusi ketenangannya, kan?” 


Aku termenung. Pipiku diwarnai larik cahaya oranye itu, seiring kata-kata Abla menyengat ujung pikiranku. Semua yang diinginkan perlu pengorbanan. Aku percaya hal itu. Namun, apa yang disampaikan Abla jadi sesuatu yang baru untukku, walau dengan arti yang sama. 

“Berhentilah sejenak. Fase-fase tidak stabilmu bukan sesuatu yang salah, Li. Lepaskan, biarkan semua itu ikut tertelan oleh matahari yang tenggelam. Kalau perlu mengulang semua dari awal lagi, lakukan saja. Toh burung-burung itu pada akhirnya akan kembali ke dahan dan mencoba lagi di senja hari berikutnya.” Abla membiarkanku menatapnya, melihat sorot mata ketulusannya. Menutup hariku dalam alir harapan yang dibawanya.



Lagi-lagi kudapati diriku berada di rooftop, termenung dibawah langit senja berkelir jingga. 

Aku menatap lukisan Sang Maha Kuasa di langit senja; sangat indah hingga aku tak bisa berkata-kata. Perpaduan dan gradasi warna yang sempurna, dengan awan putih bak kapas mengambang di sekelilingnya. Semilir angin menambah suasana sendu di kala matahari sejajar dengan horizon.

Aku tersenyum lebar seakan dunia tak lagi bisa menyakiti. Seakan hidup yang aku jalani selalu berbaik hati memberiku sedikit dari keajaibannya. Seakan semua telah usai, padahal pada kenyataannya baru dimulai. 

Ya, semua telah usai,


.... untuk kembali dimulai. Sepenat-penatnya, selelah-lelahnya.



8
114
Clagiva

Clagiva

https://lh3.googleusercontent.com/a/AAcHTtet6ELyO0wwyKbhPRqKalL1N6kMGKHX2C5l_f-AFeOFfg=s96-c
gsyya
1 year ago
Si Bader

Si Bader

1744212633.png
KRaKanZ.
2 years ago
Bersama kita jaga Indonesia!

Bersama kita jaga Indonesia!

1714290832.png
Azhnrkhlf
1 year ago
Caesar Cipher: Cikal Bakal dari Segala Metode Enkripsi

Caesar Cipher: Cikal Bakal dari Segala Metode Enkripsi

https://lh3.googleusercontent.com/a/AEdFTp5cJpdCIp1sCfDRB_QA1EnReZg4M2sOkUWZjVha=s96-c
M. Rifkyy
1 year ago
Kisah Sejarah tentang Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte

Kisah Sejarah tentang Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte

1707266435.jpeg
✯♥ᛋᛋ𝔄v𝖎𝖓𝔬ᛋᛋ♥✯
1 year ago